Title : Experience Of Jewel
Genre : Tragedy, Friendship, Inspiratif, Melodrama.
Story by : Chikafusa Chikanatsu
Ini Merupakan Kisah Fiktif.
Pukul dua belas malam, disaat orang orang beristirahat memulihkan stamina, Diasta justru melangkahkan kakinya keluar rumah untuk berjalan jalan. Malam adalah surga baginya, dimana tidak banyak orang yang berlalu lalang dijalan. Semakin gelap cahaya yang dilaluinya maka semakin nyaman pula keberadaan Diasta, lebih baik aku sendiri daripada keberadaanku diketahui dan membuat kacau oleh sosok ku, pikirnya.
Terasa nyaman sekali, sepi dan tenang. Hanya ada hempasan angin yang menerpa kulitku, serta jangkrik yang terus bersuara. Dibawah pohon besar di daratan tinggi ini aku duduk bersimpuh memandang kota yang membentang luas dibawah sana. Semuanya Terasa kecil sekali jika dipandang dari sini. Apakah aku sama kecilnya dimata orang orang? Andai saja semua orang saling menjagai dan menghargai perasaan orang lain, mungkin aku tidak akan pernah menyendiri seperti ini. Tapi tak apa, aku sudah mulai terbiasa menerima omongan rendahan dari mereka.
Tiba tiba saja datang sesosok wanita yang paling aku kagumi, Dia Kinal, lagi lagi dia dan hanya dia yang sudah menemani ku ditengah malam ini. Padahal aku tidak pernah menyuruhnya untuk menemaniku, namun ia selalu hadir disisiku. "Malam!" Sapanya padaku. Aku tersenyum membalasnya.
"Lagi lagi kamu disini, apa kamu tidak takut sendirian dibawah pohon besar ini?"
Aku menggeleng manja. "Aku tidak takut, sebab pasti selalu ada kamu yang selalu menamaniku. Seperti saat ini." Kata ku manis.
"Kenapa? Kenapa hanya aku seorang yang membuatmu tidak pernah menghindar? Apa kamu tidak mau mencari teman lain?" Aku menggeleng lagi sambil tersenyum. "Aku tidak berani menghampiri orang yang belum aku kenal."
"Besok adalah hari pertama mu masuk kuliah, ruangan kita berbeda. Apa tidak apa apa jika aku tidak ada disisimu?" Mendengar omongan Kinal membuat wajah Diasta mununduk layu. "Aku akan mencoba kuat, apapun yang terjadi ..."
"Apa kamu ingin ikut aku jalan jalan?" Ajakku pada Kinal.
Ditengah malam yang gelap mereka berdua berjalan bersama, melewati komplek perumahan, sekolah dan berakhir disebuah stasiun kereta api. Suasananya sungguh hening, semakin melangkah kedepan maka akan semakin terdengar suara wanita menangis yang terdengar samar samar. Seketika tubuh Kinal bergidik mendengar suara tersebut. "Kenapa kita kesini? Disini sepi, aku takut." Katanya pada Diasta. Diasta menengok pada salah satu kursi diruang tunggu loket. Dijarak 20 meter mereka melihat sesosok wanita remaja dengan rambut sepinggang serta poni yang menutupi seluruh wajahnya. Wanita misterius itu terus menangis tersedu sedu.
"Kamu lihat wanita yang ada dihadapan kita? Aku selalu melihatnya setiap hari. Aku ingin sekali menghampirinya dan menenangkan hatinya yang mungkin sedang buruk. Namun aku tidak berani, aku takut dia akan pergi setelah melihat ku."
Kinal membalas dengan wajah Ciut. "Apa apaan sih, kamu? Justru akulah yang sungguh ketakutan memandanginya, apalagi menghampirinya. Jantungku bisa copot."
Diasta terus memohon pada Kinal. "Tidak bisakah kamu menghampirinya? Kenapa perasaanku selalu tidak tenang setiap melihat wanita itu menangis." Kinal menarik pergelangan tangan Diasta. "Ayo kita pergi darisini, aku sungguh takut."
Disaat perjalanan pulang, Kinal berceloteh menyimpulkan apa yang mereka lihat barusan. "Jangan, jangan. Rumor tentang Hantu jarum penunggu stasiun itu memang benar adanya. Kamu tau, kan?" Lantas Diasta menggelengkan Kepalanya. "Jadi kamu tidak tahu? Cerita itu sungguh populer dikawasan stasiun dan mulai merambat ke kota." Diasta mulai penasaran. "Bagaimana kisahnya?" Kinal memasang wajah serius. "Tiga minggu yang lalu telah terjadi penabrakan maut distasiun. Mereka berdua, Ibu dan anak, saat itu sedang menunggu kereta datang. Mereka berdua baru saja selesai menambal rok sekolah anaknya yang robek, mereka bukan dari kalangan orang kaya, mereka miskin. Bahkan duit seribu pun mereka sulit mendapatkannya."
"Lantas apa hubungannya?" Tanya Diasta semakin penasaran.
"Biaya menjahit rok anaknya menghabiskan sekiranya lima ribu rupiah. Ibu dan anak itu menunggu dalam posisi yang bisa dibilang terlalu dekat dengan jalur lintas kereta. Saat kereta mulai datang, tiba tiba saja ada yang menyenggol lengan anak itu yang menyebabkan plastik berisikan rok nya itu terjatuh ke lintasan kereta. Tanpa sadar anak remaja itu dengan cepat turun kelintasan dan mengambil plastik berisi pakaiannya. Ia lupa bahwa ada kereta yang sedang melintas saat itu, terjadilah tabrakan maut yang menyebabkan tubuhnya hancur terlindas." Kata Kinal melanjutkan tanpa kasihan, terdengar kejam.
Diasta berpura pura takut setelah omongan Kinal barusan, ia tahu bahwa cerita itu tidak cocok. Diasta sudah melihat wanita yang ada distasiun itu sejak 2 bulan yang lalu, lantas cerita yang barusan kinal beritahu terjadi tiga minggu yang lalu. Dengan wajah jahilnya Diasta membalasnya. "Oh jadi cerita yang itu, ya? Aku pernah dengar. Tapi tunggu, apa kamu tidak takut dengan kutukannya?" Kinal keheranan. "Apa maksud kamu?" Diasta melanjutkan lagi. "Jadi kamu tidak tahu? Katanya, orang yang sudah menyebarkan berita itu tanpa memberinya bunga melati dilintasan tempat terjadi tabrakan, maka dia akan mendatangimu sambil membawa ribuan jarum yang siap menusuk nusuk tubuhmu itu." Diasta berhasil membuat Kinal ketakutan. "Apa itu benar?"
'Benar! Dia juga akan muncul dicermin kamar mandimu, bawah kasurmu, atau mungkin didalam lemari pakaianmu. Aku jadi takut, aku pulang dulu, ya." Kata Diasta sambil berlari menuju rumahnya. Kinal berteriak ketakutan sambil mengejar Diasta. "Tunggu aku, aku takut. Aku menginap dirumahmu, ya?"
Keesokan harinya disebuah kampus, pagi hari. Ini merupakan hari pertama Diasta masuk perguruan tinggi. Disudut pojokan ruangan belajar aku berdiam diri dengan wajah tidak bersemangat menunggu dosen. Aku tahu bahwa tujuan utama ku disini adalah untuk menuntut ilmu, namun tetap saja aku merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitarku. Mata mata kebencian itu kembali datang. Tidak ada yang berubah disini, aku kira semakin dewasanya manusia, maka akan semakin menjagai atau menghormati perasaan orang lain, ya walaupun ada, namun jumlahnya tidak banyak. Omongan omongan pedas masih saja menghantuiku.
Baru beberapa menit saja diriku sudah menciut, salah satu dari mereka datang menghampiriku dengan angkuhnya, ia memandang dekat wajahku. "Apa tujuan utama mu masuk perguruan tinggi? Walaupun kamu mendapatkan nilai bagus, itu tidak berarti sama sekali. Sekretaris? Jurnalis? Atau mungkin seorang pemandu wisata? Apa diantara profesi itu ada yang kamu impikan? Aku ragu kamu akan dipergunakan. Janganlah menghabis habiskan uang dengan percuma."
Aku masih bisa bersabar mendengarnya. Namun salah satu dari mereka tetap saja mengolok ngolokku. Datang lagi satunya dan berbisik padaku. "Aku beritahu hal yang paling penting dalam dunia pekerjaan, yakni kecantikan dan tubuh yang seksi. Itu sangat berbanding terbalik denganmu saat ini. Orang cantiklah yang paling dicari. Lebih baik kamu buka usaha warung kecil kecilan saja dirumah, ya?" Cemoohnya.
Aku mencoba tersenyum lalu membalasnya dengan nada rendah. "Terima kasih sarannya." Mereka tidak berhenti sampai disitu, bahkan salah satu dari mereka ada yang menyinggung keberadaanku dari jauh. "Setidaknya, kita akan punya bahan lawak disini. Yah, lumayan daripada bengong."
Aku tahu bahwa yang dimaksud dirinya adalah aku. Mereka bisa menertawakanku atau mungkin mengolok ngolok
keberadaanku dengan melihat fisik ku. Aku tahu bahwa luka bakar yang kuterima disebagian wajah dan leher memang sulit sekali hilang. Mereka yang tidak sempurna pasti akan menjadi bahan perbincangan. Tepat disebelah tempat ku duduk, seorang wanita berambut pendek terbangun dari tidurnya, ia datang menghampiriku. "Kamu begitu lemah hingga orang orang disekitarmu mampu menginjak harga dirimu. Tidak ada perlawanan, kamu hanya membalasnya dengan senyum palsu. Sampai kapan kamu akan seperti itu? Kalau aku ada diposisimu, aku akan balik menginjak mereka. Aku rasa aku tidak akan bisa tidur nyenyak jika kamu duduk disebelahku." Katanya. Wanita itu kembali tidur dimeja belajarnya.
Aku merasa dia ada dipihakku saat itu. Ia berusaha membuatku kuat dengan omongannya barusan, tetapi kenapa aku tidak melihat wajah tulusnya? Aku terus memandang kearahnya. "Siapa namamu?" Kataku malu terbata bata. Ditempatnya duduk, lantas ia menjawabnya dengan mata yang masih terpejam. "Jangan girang. Aku tidak ada dipihak siapapun, aku hanya benci melihat orang lemah sepertimu."
Aku merasa sedikit terpukul oleh omongannya. Apakah aku memang selemah itu? Sehingga orang dengan mudahnya merendahkanku? Lantas aku menjelaskan apa yang aku rasakan padanya. "Aku juga pernah melawan mereka. Namun jumlah mereka terlalu banyak. Semakin aku melawan, maka hatiku akan semakin terluka. Mereka malah bertambah kesal jika aku melawan, dan omongan omongan pedas datang menghampiriku. Saat itulah aku mulai menangis. Aku sadar bahwa aku tidak bisa melawan mereka, mereka sepihak, mereka satu pemikiran yang sama, mereka satu tujuan. Aku diperlakukan seperti boneka yang bisa dipermainkan sesuka mereka, kapan saja saat mereka bosan."
Wanita itupun terbangun dari sandarannya, ia menghampiriku dan menyodorkan tangannya padaku. "Namaku Ghaida Farisya."
Diruang dapur apartemennya Dhike senyum senyum membuatkan Jus antara perpaduan Buah dan sayuran. Keceriaan wajahnya kembali tumbuh berkat kesadaran Ayu. Setidaknya kesehatan Ayu sudah mulai ada kemajuan dari sebelumnya. Ayu bisa sedikit menggerakkan kepalanya, menggangguk maupun menggeleng. Wajar, Semua syaraf ototnya kaku akibat tidak sadarkan diri selama berbulan bulan dirumah sakit. Dhike melirik jam tangannya, sudah hampir jam sepuluh pagi, Dhike mempercepat gerakannya.
Sesampainya dirumah sakit, Dhike menyapa Ayu. "Pagi." Dengan Senyumnya. Dhike segera menaruh tas bawannya ke meja dan mengambil Jus yang ia taruh didalam botol plastik lengkap dengan sebuah sedotan. Ayu memang masih tidak sanggup mengunyah makanan padat, ia hanya bisa minum. "Tada! aku harap kamu suka rasa dari jus ini." Katanya sambil menempatkan sedotan ke mulut Ayu.
Dhike mengambil remote Tv untuk menyalakannya, Film kesukaan Ayu sepertinya sudah dimulai. Dhike menoleh pada Ayu sambil mengelus rambutnya. "Kemarin malam Ibumu datang menemuiku. Ia memintaku untuk merawatmu dengan baik. Ibumu sedang melakukan perjalanan dinas ke luar negeri, maka dari itu Ia tak sempat menengokmu, walau dirimu sudah siuman. Aku harap kamu tidak kecewa karenanya. Kamu rindu, kan?"
Ayu menggangguk perlahan. Tidak sengaja, Kawanan Melody muncul disela sela iklan tv, Ayu tercengang. Dhike menjelaskan. "Mereka semua lulus dalam Audisi itu. Mereka semakin populer, kan?"
Lantas lengan Ayu bergerak perlahan meraih tangan Dhike, tangannya yang hangat memegang erat tangan milik Dhike dengan perasaan sedih. Dhike sadar bahwa Ayu sedang mengasihani dirinya tentang Audisi tersebut. Namun, Dhike akan bersikap tegar dihadapannya. "Sebenarnya, aku juga lulus dalam Audisi itu. Namun, aku sadar bahwa aku tidak terlalu memimpikannya. Jadi jangan terlalu merasa bersalah jika aku menolak masuk dalam Idol group tersebut karena mu. Itu semua tidak benar. Menjagamu untuk lebih sehatlah yang membuatku merasa nyaman, seolah olah aku sudah mengerjakan tugasku dengan baik. Entahlah, dorongan itu selalu datang dalam diriku."
***
Diruangan make-up sebuah pertunjukan, Sonya, Jeje serta Shanju bersama sama diruangan itu untuk mendandani penampilannya. Sonya dan Jeje duduk bersebelahan, lengkap dengan seorang penata rias yang siap menyulap penampilan mereka dalam sekejap. Namun tidak dengan Shanju, ia malah duduk di sofa ruang tunggu dengan wajah yang murung. Jeje menyikut nyikut lengan Sonya dengan mata melirik Shanju keheranan. "Dia kenapa? Sudah 3 hari ini wajahnya murung terus." Sonya mengangkat kedua bahunya.
Setelah pentas selesai, mereka bertiga bersama sama berkumpul disatu ruangan santai. Suasananya sangat cocok untuk berbincang bincang, ditemani secangkir teh hangat. Saat itu juga sedang ada kehadiran Cleo disana. Lagi lagi wajah Shanju menunjukkan kemurungannya, entah apa yang ada dipikirannya. Tingkah Shanju yang begitu pendiam membuat Jeje geram untuk segera menanyakannya. "Kamu kenapa, sih?" Sonya pun ikut serta menanyakannya. "Iya, sudah beberapa hari ini mukamu mendung begitu. Ada apa?"
Shanju menghela nafas, sepertinya ia akan membagikan masalah yang ia pendam pada kawannya. "Jadi seperti ini rasanya jika dibenci oleh orang banyak. Beberapa hari ini aku banyak sekali menerima omongan omongan pedas dari para fans yang membenciku. Mereka tidak suka melihat penampilanku." Kata Shanju berterus terang.
"Yang seperti itu jangan diambil pusing, cukup kamu tingkatkan saja penampilanmu saat pentas." Jawab Cleo singkat.
"Namun, aku merasa peran Fans begitu penting. Aku begitu ambruk saat tahu banyak dari mereka yang membenciku. Aku sungguh tidak bersemangat melanjutkan dunia hiburan lagi. Rasanya aku ingin menyerah." Keluh Shanju.
"Memang seperti itulah dunia hiburan. Kita membuat karya seni, lantas yang menilai seni kita adalah mereka yang melihat, berkomentar serta berpendapat, yakni para penggemar sendiri. Jika kita tidak mendapat dukungan oleh para penggemar, untuk apa dilanjutkan, benar kan?" Kata Jeje.
Namun sepertinya Jeje salah dalam mengambil penjelasan, bukannya menenangkan perasaan Shanju, malah bertambah parah. Shanju pun berkomentar dengan wajah jengkelnya memandangi Jeje. "Kalo begitu, dengan tidak adanya dukungan pada diriku, lalu aku harus berhenti? Seperti itu kah yang kamu maksud?"
"Benar!" Jawab Jeje keceplosan.
Sonya memukul lengan Jeje setelah ucapannya. "Bukan begitu, Ju. Benar kata kak Cleo barusan, jika penampilanmu buruk, cukup tingkatkan saja penampilanmu dengan berlatih. Lagipula Haters dikalangan artis hiburan itu sudah biasa. Mereka yang tidak tahu kerja keras dalam membuat suatu karya seni hanya bisa meledek, menghina serta merendahkan. Mereka iri, tidak ingin mengakui keberadaan karya kita. Sudahlah, tidak usah diambil pusing yang begituan. Kita juga terjun didunia hiburan ini bukan sekedar ingin tenar, melainkan ini sama saja kita bekerja mencari uang, benar kan?" Cleo menggangguk cepat, ia sangat setuju ucapan Sonya barusan. "Benar! Tumben otakmu bekerja, Son." Sonya menoleh pada Cleo. "Jadi, selama ini otakku tidak bekerja, ya?" Tanyanya dengan wajah polos, lantas Cleo hanya cengar cengir.
Bersambung ...
Follow kami di Twitter @JKT48fanfiction
Jika kalian mempunyai Pertanyaan bisa kirimkan ke alamat Email Parahesitisme@gmail.com
Copyright © JKT48 NOVEL
Genre : Tragedy, Friendship, Inspiratif, Melodrama.
Story by : Chikafusa Chikanatsu
Ini Merupakan Kisah Fiktif.
Pukul dua belas malam, disaat orang orang beristirahat memulihkan stamina, Diasta justru melangkahkan kakinya keluar rumah untuk berjalan jalan. Malam adalah surga baginya, dimana tidak banyak orang yang berlalu lalang dijalan. Semakin gelap cahaya yang dilaluinya maka semakin nyaman pula keberadaan Diasta, lebih baik aku sendiri daripada keberadaanku diketahui dan membuat kacau oleh sosok ku, pikirnya.
Terasa nyaman sekali, sepi dan tenang. Hanya ada hempasan angin yang menerpa kulitku, serta jangkrik yang terus bersuara. Dibawah pohon besar di daratan tinggi ini aku duduk bersimpuh memandang kota yang membentang luas dibawah sana. Semuanya Terasa kecil sekali jika dipandang dari sini. Apakah aku sama kecilnya dimata orang orang? Andai saja semua orang saling menjagai dan menghargai perasaan orang lain, mungkin aku tidak akan pernah menyendiri seperti ini. Tapi tak apa, aku sudah mulai terbiasa menerima omongan rendahan dari mereka.
Tiba tiba saja datang sesosok wanita yang paling aku kagumi, Dia Kinal, lagi lagi dia dan hanya dia yang sudah menemani ku ditengah malam ini. Padahal aku tidak pernah menyuruhnya untuk menemaniku, namun ia selalu hadir disisiku. "Malam!" Sapanya padaku. Aku tersenyum membalasnya.
"Lagi lagi kamu disini, apa kamu tidak takut sendirian dibawah pohon besar ini?"
Aku menggeleng manja. "Aku tidak takut, sebab pasti selalu ada kamu yang selalu menamaniku. Seperti saat ini." Kata ku manis.
"Kenapa? Kenapa hanya aku seorang yang membuatmu tidak pernah menghindar? Apa kamu tidak mau mencari teman lain?" Aku menggeleng lagi sambil tersenyum. "Aku tidak berani menghampiri orang yang belum aku kenal."
"Besok adalah hari pertama mu masuk kuliah, ruangan kita berbeda. Apa tidak apa apa jika aku tidak ada disisimu?" Mendengar omongan Kinal membuat wajah Diasta mununduk layu. "Aku akan mencoba kuat, apapun yang terjadi ..."
"Apa kamu ingin ikut aku jalan jalan?" Ajakku pada Kinal.
Ditengah malam yang gelap mereka berdua berjalan bersama, melewati komplek perumahan, sekolah dan berakhir disebuah stasiun kereta api. Suasananya sungguh hening, semakin melangkah kedepan maka akan semakin terdengar suara wanita menangis yang terdengar samar samar. Seketika tubuh Kinal bergidik mendengar suara tersebut. "Kenapa kita kesini? Disini sepi, aku takut." Katanya pada Diasta. Diasta menengok pada salah satu kursi diruang tunggu loket. Dijarak 20 meter mereka melihat sesosok wanita remaja dengan rambut sepinggang serta poni yang menutupi seluruh wajahnya. Wanita misterius itu terus menangis tersedu sedu.
"Kamu lihat wanita yang ada dihadapan kita? Aku selalu melihatnya setiap hari. Aku ingin sekali menghampirinya dan menenangkan hatinya yang mungkin sedang buruk. Namun aku tidak berani, aku takut dia akan pergi setelah melihat ku."
Kinal membalas dengan wajah Ciut. "Apa apaan sih, kamu? Justru akulah yang sungguh ketakutan memandanginya, apalagi menghampirinya. Jantungku bisa copot."
Diasta terus memohon pada Kinal. "Tidak bisakah kamu menghampirinya? Kenapa perasaanku selalu tidak tenang setiap melihat wanita itu menangis." Kinal menarik pergelangan tangan Diasta. "Ayo kita pergi darisini, aku sungguh takut."
Disaat perjalanan pulang, Kinal berceloteh menyimpulkan apa yang mereka lihat barusan. "Jangan, jangan. Rumor tentang Hantu jarum penunggu stasiun itu memang benar adanya. Kamu tau, kan?" Lantas Diasta menggelengkan Kepalanya. "Jadi kamu tidak tahu? Cerita itu sungguh populer dikawasan stasiun dan mulai merambat ke kota." Diasta mulai penasaran. "Bagaimana kisahnya?" Kinal memasang wajah serius. "Tiga minggu yang lalu telah terjadi penabrakan maut distasiun. Mereka berdua, Ibu dan anak, saat itu sedang menunggu kereta datang. Mereka berdua baru saja selesai menambal rok sekolah anaknya yang robek, mereka bukan dari kalangan orang kaya, mereka miskin. Bahkan duit seribu pun mereka sulit mendapatkannya."
"Lantas apa hubungannya?" Tanya Diasta semakin penasaran.
"Biaya menjahit rok anaknya menghabiskan sekiranya lima ribu rupiah. Ibu dan anak itu menunggu dalam posisi yang bisa dibilang terlalu dekat dengan jalur lintas kereta. Saat kereta mulai datang, tiba tiba saja ada yang menyenggol lengan anak itu yang menyebabkan plastik berisikan rok nya itu terjatuh ke lintasan kereta. Tanpa sadar anak remaja itu dengan cepat turun kelintasan dan mengambil plastik berisi pakaiannya. Ia lupa bahwa ada kereta yang sedang melintas saat itu, terjadilah tabrakan maut yang menyebabkan tubuhnya hancur terlindas." Kata Kinal melanjutkan tanpa kasihan, terdengar kejam.
Diasta berpura pura takut setelah omongan Kinal barusan, ia tahu bahwa cerita itu tidak cocok. Diasta sudah melihat wanita yang ada distasiun itu sejak 2 bulan yang lalu, lantas cerita yang barusan kinal beritahu terjadi tiga minggu yang lalu. Dengan wajah jahilnya Diasta membalasnya. "Oh jadi cerita yang itu, ya? Aku pernah dengar. Tapi tunggu, apa kamu tidak takut dengan kutukannya?" Kinal keheranan. "Apa maksud kamu?" Diasta melanjutkan lagi. "Jadi kamu tidak tahu? Katanya, orang yang sudah menyebarkan berita itu tanpa memberinya bunga melati dilintasan tempat terjadi tabrakan, maka dia akan mendatangimu sambil membawa ribuan jarum yang siap menusuk nusuk tubuhmu itu." Diasta berhasil membuat Kinal ketakutan. "Apa itu benar?"
'Benar! Dia juga akan muncul dicermin kamar mandimu, bawah kasurmu, atau mungkin didalam lemari pakaianmu. Aku jadi takut, aku pulang dulu, ya." Kata Diasta sambil berlari menuju rumahnya. Kinal berteriak ketakutan sambil mengejar Diasta. "Tunggu aku, aku takut. Aku menginap dirumahmu, ya?"
Keesokan harinya disebuah kampus, pagi hari. Ini merupakan hari pertama Diasta masuk perguruan tinggi. Disudut pojokan ruangan belajar aku berdiam diri dengan wajah tidak bersemangat menunggu dosen. Aku tahu bahwa tujuan utama ku disini adalah untuk menuntut ilmu, namun tetap saja aku merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitarku. Mata mata kebencian itu kembali datang. Tidak ada yang berubah disini, aku kira semakin dewasanya manusia, maka akan semakin menjagai atau menghormati perasaan orang lain, ya walaupun ada, namun jumlahnya tidak banyak. Omongan omongan pedas masih saja menghantuiku.
Baru beberapa menit saja diriku sudah menciut, salah satu dari mereka datang menghampiriku dengan angkuhnya, ia memandang dekat wajahku. "Apa tujuan utama mu masuk perguruan tinggi? Walaupun kamu mendapatkan nilai bagus, itu tidak berarti sama sekali. Sekretaris? Jurnalis? Atau mungkin seorang pemandu wisata? Apa diantara profesi itu ada yang kamu impikan? Aku ragu kamu akan dipergunakan. Janganlah menghabis habiskan uang dengan percuma."
Aku masih bisa bersabar mendengarnya. Namun salah satu dari mereka tetap saja mengolok ngolokku. Datang lagi satunya dan berbisik padaku. "Aku beritahu hal yang paling penting dalam dunia pekerjaan, yakni kecantikan dan tubuh yang seksi. Itu sangat berbanding terbalik denganmu saat ini. Orang cantiklah yang paling dicari. Lebih baik kamu buka usaha warung kecil kecilan saja dirumah, ya?" Cemoohnya.
Aku mencoba tersenyum lalu membalasnya dengan nada rendah. "Terima kasih sarannya." Mereka tidak berhenti sampai disitu, bahkan salah satu dari mereka ada yang menyinggung keberadaanku dari jauh. "Setidaknya, kita akan punya bahan lawak disini. Yah, lumayan daripada bengong."
Aku tahu bahwa yang dimaksud dirinya adalah aku. Mereka bisa menertawakanku atau mungkin mengolok ngolok
keberadaanku dengan melihat fisik ku. Aku tahu bahwa luka bakar yang kuterima disebagian wajah dan leher memang sulit sekali hilang. Mereka yang tidak sempurna pasti akan menjadi bahan perbincangan. Tepat disebelah tempat ku duduk, seorang wanita berambut pendek terbangun dari tidurnya, ia datang menghampiriku. "Kamu begitu lemah hingga orang orang disekitarmu mampu menginjak harga dirimu. Tidak ada perlawanan, kamu hanya membalasnya dengan senyum palsu. Sampai kapan kamu akan seperti itu? Kalau aku ada diposisimu, aku akan balik menginjak mereka. Aku rasa aku tidak akan bisa tidur nyenyak jika kamu duduk disebelahku." Katanya. Wanita itu kembali tidur dimeja belajarnya.
Aku merasa dia ada dipihakku saat itu. Ia berusaha membuatku kuat dengan omongannya barusan, tetapi kenapa aku tidak melihat wajah tulusnya? Aku terus memandang kearahnya. "Siapa namamu?" Kataku malu terbata bata. Ditempatnya duduk, lantas ia menjawabnya dengan mata yang masih terpejam. "Jangan girang. Aku tidak ada dipihak siapapun, aku hanya benci melihat orang lemah sepertimu."
Aku merasa sedikit terpukul oleh omongannya. Apakah aku memang selemah itu? Sehingga orang dengan mudahnya merendahkanku? Lantas aku menjelaskan apa yang aku rasakan padanya. "Aku juga pernah melawan mereka. Namun jumlah mereka terlalu banyak. Semakin aku melawan, maka hatiku akan semakin terluka. Mereka malah bertambah kesal jika aku melawan, dan omongan omongan pedas datang menghampiriku. Saat itulah aku mulai menangis. Aku sadar bahwa aku tidak bisa melawan mereka, mereka sepihak, mereka satu pemikiran yang sama, mereka satu tujuan. Aku diperlakukan seperti boneka yang bisa dipermainkan sesuka mereka, kapan saja saat mereka bosan."
Wanita itupun terbangun dari sandarannya, ia menghampiriku dan menyodorkan tangannya padaku. "Namaku Ghaida Farisya."
Diruang dapur apartemennya Dhike senyum senyum membuatkan Jus antara perpaduan Buah dan sayuran. Keceriaan wajahnya kembali tumbuh berkat kesadaran Ayu. Setidaknya kesehatan Ayu sudah mulai ada kemajuan dari sebelumnya. Ayu bisa sedikit menggerakkan kepalanya, menggangguk maupun menggeleng. Wajar, Semua syaraf ototnya kaku akibat tidak sadarkan diri selama berbulan bulan dirumah sakit. Dhike melirik jam tangannya, sudah hampir jam sepuluh pagi, Dhike mempercepat gerakannya.
Sesampainya dirumah sakit, Dhike menyapa Ayu. "Pagi." Dengan Senyumnya. Dhike segera menaruh tas bawannya ke meja dan mengambil Jus yang ia taruh didalam botol plastik lengkap dengan sebuah sedotan. Ayu memang masih tidak sanggup mengunyah makanan padat, ia hanya bisa minum. "Tada! aku harap kamu suka rasa dari jus ini." Katanya sambil menempatkan sedotan ke mulut Ayu.
Dhike mengambil remote Tv untuk menyalakannya, Film kesukaan Ayu sepertinya sudah dimulai. Dhike menoleh pada Ayu sambil mengelus rambutnya. "Kemarin malam Ibumu datang menemuiku. Ia memintaku untuk merawatmu dengan baik. Ibumu sedang melakukan perjalanan dinas ke luar negeri, maka dari itu Ia tak sempat menengokmu, walau dirimu sudah siuman. Aku harap kamu tidak kecewa karenanya. Kamu rindu, kan?"
Ayu menggangguk perlahan. Tidak sengaja, Kawanan Melody muncul disela sela iklan tv, Ayu tercengang. Dhike menjelaskan. "Mereka semua lulus dalam Audisi itu. Mereka semakin populer, kan?"
Lantas lengan Ayu bergerak perlahan meraih tangan Dhike, tangannya yang hangat memegang erat tangan milik Dhike dengan perasaan sedih. Dhike sadar bahwa Ayu sedang mengasihani dirinya tentang Audisi tersebut. Namun, Dhike akan bersikap tegar dihadapannya. "Sebenarnya, aku juga lulus dalam Audisi itu. Namun, aku sadar bahwa aku tidak terlalu memimpikannya. Jadi jangan terlalu merasa bersalah jika aku menolak masuk dalam Idol group tersebut karena mu. Itu semua tidak benar. Menjagamu untuk lebih sehatlah yang membuatku merasa nyaman, seolah olah aku sudah mengerjakan tugasku dengan baik. Entahlah, dorongan itu selalu datang dalam diriku."
***
Diruangan make-up sebuah pertunjukan, Sonya, Jeje serta Shanju bersama sama diruangan itu untuk mendandani penampilannya. Sonya dan Jeje duduk bersebelahan, lengkap dengan seorang penata rias yang siap menyulap penampilan mereka dalam sekejap. Namun tidak dengan Shanju, ia malah duduk di sofa ruang tunggu dengan wajah yang murung. Jeje menyikut nyikut lengan Sonya dengan mata melirik Shanju keheranan. "Dia kenapa? Sudah 3 hari ini wajahnya murung terus." Sonya mengangkat kedua bahunya.
Setelah pentas selesai, mereka bertiga bersama sama berkumpul disatu ruangan santai. Suasananya sangat cocok untuk berbincang bincang, ditemani secangkir teh hangat. Saat itu juga sedang ada kehadiran Cleo disana. Lagi lagi wajah Shanju menunjukkan kemurungannya, entah apa yang ada dipikirannya. Tingkah Shanju yang begitu pendiam membuat Jeje geram untuk segera menanyakannya. "Kamu kenapa, sih?" Sonya pun ikut serta menanyakannya. "Iya, sudah beberapa hari ini mukamu mendung begitu. Ada apa?"
Shanju menghela nafas, sepertinya ia akan membagikan masalah yang ia pendam pada kawannya. "Jadi seperti ini rasanya jika dibenci oleh orang banyak. Beberapa hari ini aku banyak sekali menerima omongan omongan pedas dari para fans yang membenciku. Mereka tidak suka melihat penampilanku." Kata Shanju berterus terang.
"Yang seperti itu jangan diambil pusing, cukup kamu tingkatkan saja penampilanmu saat pentas." Jawab Cleo singkat.
"Namun, aku merasa peran Fans begitu penting. Aku begitu ambruk saat tahu banyak dari mereka yang membenciku. Aku sungguh tidak bersemangat melanjutkan dunia hiburan lagi. Rasanya aku ingin menyerah." Keluh Shanju.
"Memang seperti itulah dunia hiburan. Kita membuat karya seni, lantas yang menilai seni kita adalah mereka yang melihat, berkomentar serta berpendapat, yakni para penggemar sendiri. Jika kita tidak mendapat dukungan oleh para penggemar, untuk apa dilanjutkan, benar kan?" Kata Jeje.
Namun sepertinya Jeje salah dalam mengambil penjelasan, bukannya menenangkan perasaan Shanju, malah bertambah parah. Shanju pun berkomentar dengan wajah jengkelnya memandangi Jeje. "Kalo begitu, dengan tidak adanya dukungan pada diriku, lalu aku harus berhenti? Seperti itu kah yang kamu maksud?"
"Benar!" Jawab Jeje keceplosan.
Sonya memukul lengan Jeje setelah ucapannya. "Bukan begitu, Ju. Benar kata kak Cleo barusan, jika penampilanmu buruk, cukup tingkatkan saja penampilanmu dengan berlatih. Lagipula Haters dikalangan artis hiburan itu sudah biasa. Mereka yang tidak tahu kerja keras dalam membuat suatu karya seni hanya bisa meledek, menghina serta merendahkan. Mereka iri, tidak ingin mengakui keberadaan karya kita. Sudahlah, tidak usah diambil pusing yang begituan. Kita juga terjun didunia hiburan ini bukan sekedar ingin tenar, melainkan ini sama saja kita bekerja mencari uang, benar kan?" Cleo menggangguk cepat, ia sangat setuju ucapan Sonya barusan. "Benar! Tumben otakmu bekerja, Son." Sonya menoleh pada Cleo. "Jadi, selama ini otakku tidak bekerja, ya?" Tanyanya dengan wajah polos, lantas Cleo hanya cengar cengir.
Bersambung ...
Follow kami di Twitter @JKT48fanfiction
Jika kalian mempunyai Pertanyaan bisa kirimkan ke alamat Email Parahesitisme@gmail.com
Copyright © JKT48 NOVEL
0 comments:
Posting Komentar