Senin, 08 Juli 2013

JKT48 NOVEL SEASON III #10


Title   : Experience Of Jewel
Genre : Tragedy, Friendship, Inspiratif, Melodrama.
Story by : Chikafusa Chikanatsu
   Ini Merupakan Kisah Fiktif.



   Sesuatu yang sudah dialami terus menerus membuat seseorang menjadi terbiasa, begitupun dengan apa yang dialami oleh Ayu. Ia hanya bisa termenung, tidak sanggup lagi mengeluh. Yang bisa Ayu lakukan hanya menangisi kepahitan hidupnya.  Ayu menangis tesedu sedu di puncak apartemennya. Air matanya terus mengalir perlahan hingga lehernya, sesekali ia menghapus air mata tersebut, namun itu akan muncul dan lagi. Ayu mengepal kuat kedua tanganyaMatanya sungguh membara kuat, ia memukul mukul dadanya dengan keras, terus dan terus.

Ayu merasa putus asa untuk bisa hidup didunia ini. Keharmonisan keluarganya tidak cukup baik, ia sendiri, berbagai cobaan terus menimpanya, dan bahkan Ibunya mengacuhkan keberadaannya. Keburukan apa lagi yang akan ia terima? Ayu sempat berfikir, lebih baik hidup kumuh, sengsara, dan hidup menyedihkan, namun memiliki keluarga yang terikat kuat.


Ayu merasa tersesak, terikat kuat erat oleh tali kesengsaraan. Ia ingin melepas itu semua, dan hidup bahagia seperti layaknya keluarga pada umumnya. Dhike datang dengan nafas yang pengap, ia melihat Ayu yang duduk dilantai dengan kedua kaki melipat kebelakang. Dhike menghampiri Ayu perlahan. "Ada apa?" Tanyannya dengan lembut.
   "Ciko mati." Sahutnya dengan nada yang lemah.
Dhike menghela nafas, ternyata hanya kelinci peliharaan Ayu yang mati, Dhike pikir ini mengenai penyakit Ayu. Dhike merasa lega. Dhike membangunkan Ayu dari tumpuannya, ditatapnya matanya.
   "Aku sungguh mengkhawatirkanmu. Tiap hari, tiap jam, tidak pernah lepas untuk memikirkan keadaanmu. Aku sungguh takut..."
 Ayu memotong pembicaraan Dhike. "Kalau begitu tinggalkan aku sendiri."
    "Jauhi diriku sejauh mungkin, dan hiduplah dengan menggapai mimpi seperti orang orang diluar sana. Itukah yang kakak mau?" Tambah Ayu dengan nada yang tinggi.

Dhike memelotot kesal. "Sadarlah! Siapa yang selama ini sudah merawatmu dan menjagamu dengan baik. Lantas, kamu dengan mudahnya berkata seperti itu? 'Tinggalkan aku sendiri?' itu yang kamu mau? Aku berharap penuh bahwa kamu juga bisa hidup seperti anak anak yang ceria diluar sana. Aku tidak sanggup jika melihatmu menangis karena terus memikirkan kepedihanmu. Aku ... aku bahkan rela meninggalkan impian yang aku idam idamkan hanya demi menemanimu. Aku sengaja tidak meneruskan pendidikan ku ke perguruan tinggi hanya demi merawatmu. Aku merasa hidupku sudah seperti debu yang tidak berarti apa apa."

Seketika Ayu menjadi menyesal, Ayu menangis keras. Tidak ada yang bisa Ayu berikan pada Dhike setelah apa yang sudah Dhike berikan pada Ayu. Ayu menunduk  tersedu sedu. Dhike tampak berkaca kaca memandangi anak malang tersebut, Ia berjalan menghampirinya, dan mendekapnya erat.
   "Maaf kalau aku sudah membentakmu." kata Dhike menyesal.
Ayu membalas.  "Tak apa. Aku memang pantas menerima omongan itu agar aku bisa mengerti. Terima kasih untuk segala galanya."
    "Aku tidak pernah merasa menyesal melakukan itu semua untukmu. Aku tulus. Dan aku akan selalu menemanimu melewati hari hari esok bersama."

Dhike menuntun Ayu kembali kedalam apartemen miliknya. Ia menempatkan Ayu diranjang kamarnya. Dhike berjalan untuk mengambil segelas air putih. Ayu melihat lihat sekeliling kamar, Ia merasa kamar Dhike tidak ada bedanya dengan kamar miliknya, sungguh sepi. Tidak sengaja kedua bola matanya mengarah pada sebuah boneka kelinci yang pernah dirinya berikan pada Dhike waktu itu. Ayu menghampiri boneka yang terletak diatas lemari kecil sebelah ranjang, ditatapnya boneka itu sungguh sungguh. Diwaktu yang sama Dhike datang sambil membawa segelas air putih yang akan diberikan pada Ayu. Ayu meneguknya hingga tetes yang terakhir.

   "Kakak merawat boneka ini dengan baik." Kata Ayu sambil manaruh gelas kosong dimeja.
   "Aku tidak pernah mengabaikan barang pemberian darimu. Semuanya aku rawat dan simpan baik baik."Jawabnya.
   "Ruangan ini sungguh sepi, sama seperti kamarku. Disaat aku sakit, Ibuku bahkan jarang menemaniku. Itu sungguh membuat aku kesepian. Tidak banyak hal yang bisa aku lakukan. Kesepian membuat orang terus memikirkan kehidupanya, frustrasi, ber-angan angan yang tidak jelas, dan akan berakhir tidak waras."
    "Akupun merasakan hal yang sama." Ucap Dhike singkat.
   "Aku mempunyai keinginan untuk mengelilingi dunia, melihat keindahan alam yang terbentang luas. Aku harap aku bisa meraih mimpi itu."
    "Kamu pasti bisa." Kata Dhike membuat Ayu untuk tidak frustrasi.
Ayu menoleh pada Dhike. "Untuk sekarang ini, apa yang kakak keluhkan pada dunia?"
    "Aku rasa, aku adalah orang yang tidak bisa hidup tanpa cinta. Aku tidak tegaan, aku selalu saja mengasihani orang yang bahkan bisa dikatakan sebagai musuhku. Maka dari itu, aku selalu merasa bahwa aku sungguh lemah." keluhnya.
Ayu membalas. "Orang yang benar benar terlihat kuat pasti akan lemah dengan Cinta. Didunia ini, tidak ada orang yang bahagia tanpa memiliki rasa Cinta. Akupun begitu ambruk setiap aku tahu bahwa  ada yang membenciku. Dan aku akan senang jika ada orang yang benar benar tulus mau berteman denganku."
 Ayu menambahkan. "Aku hanya ingin memiliki kehidupan yang lebih baik. Dimana tidak ada rasa dendam, benci maupun iri."

Dhike terdiam termenung. Ia merasakan begitu besar rasa frustrasi yang dimiliki oleh Ayu.


***


Tengah malam itu Melody bersama dengan Adiknya, Frieska, sedang bersama sama dikamar. Melody tengah asik membaca novel, sedangkan Frieska berguling guling gelisah diatas kasurnya, menggeliat. Frieska selalu merasa penasaran dengan apa yang dimiliki oleh kakaknya.
   "Kakak." Katanya sambil menarik buku yang sedang kakaknya baca.
Melody sedikit jengkel, lagi asik asiknya membaca malah diganggu. "Kenapa?"
    "Mempunyai banyak penggemar dan dikagumi banyak orang, apa yang kakak rasakan?"
    "Puas." Sahut Melody singkat.
   "Kenapa?"
    "Karena kakak sudah mencapai tujuan, yakni membuat mereka terhibur."
    "Tetapi kalau dipikir pikir, dunia hiburan sungguh menyeramkan. Aku takut akan terjadi hal yang menyebabkan kakak terluka."
Melody menoleh pada Frieska, wajahnya agak binggung. "Maksudmu?"
    "Para Haters! Mereka ada dimana mana, mereka mempunyai banyak tujuan, selain menjatuhkan sang Idola, mereka pun bisa menyakiti dari segi fisik." Kata Frieska dengan wajah yang serius.
   "Kenapa kamu tiba tiba membahas hal itu?" Balik tanya Melody.
Frieska mendadak lemah, menghela nafas panjang. "Aku sebagai saudara tentu akan mencemaskan hal itu, adik mana yang tega melihat kakaknya menderita. Lagipula, kakak sudah berbuat banyak hal baik padaku. Aku bahkan belum bisa membalasnya."
 Melody terbahak, merasa geli akan omongan adiknya barusan. "Sejak kapan kamu mencemaskan aku? Yang aku tahu kamu selalu mengeluh meminta bikinin ini, bikinin itu. Kamu bahkan tidak pernah mau mengalah pada kakak. Aku meragukanmu jika kamu mencemaskan aku." Melody kembali tertawa.
Frieska menjadi jengkel, padahal ucapannya barusan benar benar bahwa dia sungguh mengkhawatirkan kakaknya. "Dan aku suka berbuat seenaknya, kan?"
    "Benar!" Gelak Melody.

Wajah Frieska manjadi kusut, Ia menatap kakaknya dari dekat. "Aku ingin sekali menjadi adik yang baik dengan mencemaskan kakakku sendiri, tapi ..."
   "Tapi apa?" Tanya Melody penasaran.
   "Mengapa aku selalu dinomor duakan jika ingin mengiginkan sesuatu, aku jadi sempat berpikir, sebenarnya siapa adik dan siapa kakak? Mengapa jika kakak ingin sesuatu selalu diperbolehkan oleh Ibu atau Ayah? Sedangkan aku, semua permintaanku selalu saja ditolak, dulu juga aku ingin sekali mengikuti audisi, Tapi Ibu melarang keras permintaanku itu."

Mendengar keluhan adiknya itu, Melody menatap Frieska sungguh sungguh. Sebetulnya Melody pun merasa Iba, Namun Melody tahu betul tujuan kedua orang tuannya dengan melarang Frieska pada audisi waktu itu.
   "Ibu menginginkan yang terbaik padamu. Seperti katamu barusan, para Haters. Sesuatu yang menimbulkan keindahan atau kepopuleran, selalu didampingi oleh yang namanya pihak pembenci atau Iri hati. Ibu justru sangat menyayangimu, Ibu mau kamu fokus sama pelajaran dahulu. Orang tua mana yang mau melihat anaknya menderita. Apa kamu sudah mengerti maksud kakak?"

Sikap bijak Melody membuat hati Frieska menjadi tenang, Kakaknya memang pandai sekali kalau yang namanya menceramah. Keluhan Frieska yang awal memang sudah membuat hati tenang, namun ia mempunyai keluhan yang lain. Mumpung Kakaknya sedang bersama sama dikamar, Frieska ingin sekali mengeluarkan semua masalahnya dengan blak blakan.

    "Tidak peduli dengan apa yang orang katakan padaku, tapi aku ingin sekali bekerja dan punya penghasilan sendiri, seperti kakak. Aku gak tega melihat Ibu dari pagi hingga sore bekerja membuat kue yang hasilnya pun mungkin hanya cukup untuk makan dan biaya sekolahku. Maka dari itu aku juga ingin mengurangi beban itu."
Melody membalasnya. "Kamu masih sekolah, sudah aku bilang kamu hanya perlu fokus pada pelajaranmu. Biaya sekolah dan kebutuhan lainnya akan aku usahakan membayarnya. Jangan kamu pikir kamu hanya hidup seorang diri didunia ini, aku masih sanggup membayar itu semua." 

Frieska hanya bisa tersenyum mendengarnya, Ia jadi merasa lega dan bisa fokus dalam pelajarannya.



   Pagi itu putri direktur, Rena, sudah dibuat menunggu di persimpangan jalan. Memang baru kali ini Ia jengkel pada sosok Melody, Sebab, apa yang dilakukan Melody selalu berlajan mulus, tidak seperti sekarang yang kehadirannya membuat Rena menunggu. Karena itu Rena merasa heran, sebenarnya apa sih yang membuat dirinya datang terlambat. Tidak lama Melody pun muncul dan segera menghampiri Rena.
   "Maaf membuatmu menunggu." Kata Melody singkat.
Rena geram, mau marah tetapi tidak enak hati. Lagipula Melody juga bukan pembantu atau suruhannya. Keberadaan Melody hanya sebagai pendamping dirinya. Dengan terpaksa, Ia kubur amarah tersebut.
   "Hari ini tugasku sungguh banyak. Aku minta maaf karena memintamu menemaniku. Aku sudah memeriksa jadwal tampil mu untuk hari ini, dan suatu kebetulan bahwa jadwal mu kosong. Bisakah kamu membantuku?"Tanyanya.

Dari hari pertama Rena diperusahaan Ayahnya, memang tidak banyak yang Ia kenal. Ayahnya pun terlihat berlebihan dalam memperkerjakannya. Tidak ada orang lain dan tidak ada yang cocok untuk mendampinginnya kecuali Melody. Sikapnya yang keibuan memang membuat siapa saja betah disampingnya, begitupun dengan Rena.

Melody menjawab dengan senyum tipisnya, kemudian ia menarik lengan Rena dan membawanya ke Halte Bus. Sesampainya di Halte, Rena mengeluh.
   "Kenapa kita tidak naik Taksi saja?"
Melody menghela nafas. "Aku tahu bahwa kamu merupakan orang berkedudukan tinggi, tapi apa salahnya jika kamu mengetahui bagaimana rasanya menaiki Bus. Ada saatnya kamu juga harus berbaur dengan orang orang rendah, maka kamu akan tahu bagaimana rasanya berterima kasih dengan tulus."
    "Dengan uang saja aku rasa itu sudah cukup untuk mengucapkan terima kasih." balas Rena.
Melody mendengus. "Memang mudah bagimu mengucapkan itu, sebab yang kamu punya hanyalah uang."

Rena menjadi jengkel, perasaannya meluap luap setelah omongan Melody barusan.
    "Ya! memang benar yang aku punya hanyalah uang. Aku sudah terbiasa mengucapkan terima kasih dengan uang. Sejak kecil aku dibesarkan tanpa orang tua, aku diasuh oleh babysitter selama bertahun tahun. Bahkan sejak kecil aku tidak bisa mengenali ibuku sehingga aku selalu memanggil Babysitter dengan sebutan 'Mamah'."Kata Rena menjelaskan.
Melody melongo menatap Rena, Ia baru tahu bahwa Rena dibesarkan tanpa kasih sayang orang tuanya. Melody menjadi tidak enak hati, pasti Rena menjadi tersinggung atas ucapannya.

   "Aku minta maaf, bukan maksudku untuk menyindirmu mengenai harta. Aku hanya ingin kamu bisa memahami kehidupan bawah itu seperti apa." Balas Melody.

Rena cemberut, wajahnya berpaling dari Melody.


15 menit berlalu dengan cepat. Rena dan juga Melody telah sampai di Gedung Pelangi Entertainment. Disebelah Melody, Rena semakin kesal saja.
Rena menggerutu. "Panas, Sumpek dan aku juga harus mendengarkan musik musik aneh dari gitar dengan suara yang tidak karuan."
Melody hanya tersenyum. "Maksudmu pengamen?"
   "Entahlah apa namanya. Tapi yang pasti, aku tidak suka dengan suasana itu."
Mereka berdua berlajan menuju gerbang masuk gedung. Didepan gerbang, mereka bertemu dengan Ayu yang nampaknya Ayu memang sedang menunggu seseorang.

Melody nampak terkejut menghampiri Ayu. "Ayu... Kamu sedang apa disini?"
Perasaan Ayu mendadak sedih. "Aku ingin bertemu dengan kakak."
   "Aku? tapi kamu kan bisa telepon kakak dulu, bagaimana kalo kakak tidak datang kesini?" Katanya dengan wajah sedikit heran.
Diambilnya sebuah gelang tali dengan corak unik berwarna coklat dari saku Ayu, Ia memberi gelang tersebut pada Melody. "Aku mau kakak menyimpan ini sebagai tanda terima kasihku selama ini yang sudah menjagaku dan menemaniku. Mulai hari ini aku akan tinggal di luar kota bersama dengan Ibuku."
Melody terperanjat dengan omongan Ayu barusan. "Apa? mengapa mendadak sekali? kita bahkan belum pernah foto bersama. Aku begitu kecewa, mengapa kebersamaan kita begitu singkat?"

Ayu mulai menjelaskan. "Aku juga tidak tahu bahwa aku sudah mengambil langkah yang benar atau salah. tetapi, Ibu ingin aku segera meninggalkan kota ini. Bagaimanapun aku tidak bisa menghalangi semua keinginan Ibuku, aku harus mematuhinya. Aku minta maaf atas kepergianku ini."
   "Bagaimana dengan Dhike? Apa kamu sudah bicara dengannya? Apa jawabannya?" Tanya Melody begitu penasaran.
   "Aku belum memberitahunya." Jawabnya singkat.
Melody menghela nafas kecewa. "Lantas, apa kamu akan pergi secara diam diam? Dhike sungguh menyayangimu, Ia akan merasa sungguh kecewa atas tindakan mu kali ini. Setidaknya, kamu juga harus berpamitan dengannya."
   "Aku tidak sanggup." Potong Ayu.
   "Mengapa? Dhike adalah teman dekatmu. Dia yang selalu ada saat kamu terluka, apa kamu tega meninggalkannya tanpa memberitahunya?"
   "Maka dari itu aku benar benar tidak sanggup bertemu dengannya. Tatapan matanya yang tulus, tangannya yang lembut selalu membuat jantungku berdebar kencang, seakan aku tidak ingin meninggalkan itu semua. Berpamitan dengannya hanya akan membuat hatiku semakin hancur. Aku sungguh tidak sanggup bertemu dengannya." Ayu menangis tersedu sedu.

Rena yang berada disebelah Melody hanya bisa terdiam bertanya tanya, sebetulnya siapa Ayu itu? Dan siapa temannya yang bernama Dhike itu? Sepertinya kehidupan Ayu sama pahitnya dengan aku, pikir Rena.

    "Bagaimanapun, kamu juga harus bertemu dengannya. Aku sungguh tidak setuju jika kamu pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun padanya. Ingatlah semua perbuatan yang telah Dhike berikan padamu. Jika kamu pergi seperti ini, hanya akan meninggalkan bekas luka kekecewaan." Kata Melody yang masih berusaha menentang tindakan Ayu.

Lantas Melody mendelik dan mengancam. "Jika kamu masih bersikeras seperti itu, maka aku yang harus memberitahunya." katanya seraya mengambil ponsel. Melody isikan sebuah pesan kepergian Ayu pada Dhike, namun sayang, Ayu dengan cepat mengambil ponsel Melody dan mematikannya.

Ayu menggeleng geleng perlahan menatap Melody, matanya berkaca kaca. "Aku mohon jangan, aku sudah persiapkan ini semua. Jika kak Dhike tahu kepergianku, pasti ia akan menghalangiku. Aku tidak mau itu terjadi, aku ingin kak Dhike menjalani hidup seperti kak Melody dan lainnya yang mengejar mimpi masing masing, meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi, bercengkrama dengan teman teman lainnya. Aku tidak ingin kak Dhike hanya memikirkan ku, maka dari itu aku ingin pergi secara diam diam."

Hari itu adalah hari yang berat bagi Ayu. Ia harus berusaha menyingkirkan semua kenangan dirinya dengan Dhike dan juga teman temannya. Belum lagi, ia harus menerima penyakit yang akan dideritanya dikemudian hari. Ayu berniat memulai hidup baru tanpa kasih sayang dari siapapun. Menurutnya, kasih sayang hanya akan membuat bekas luka yang besar disaat akhir perpisahannya.



Bersambung ...


Web http://jkt48novel.wix.com/jkt48fanfiction
Copyright © JKT48 NOVEL

3 comments: