...PELANGI DALAM SAKURA... *8th Chapter*
Sampai di tempat tujuan, pojok salah satu ruangan sekolah yang tidak pernah dijamah atau bahkan dilewati murid-murid dikala pagi seperti saat ini, Shania mengitarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan yang baru dia pijak selama dia menjadi murid di sekolah itu.
"Gimana? Suasana disini enak bukan? Untuk dipakai ngobrol?" Shania hanya mengerung.
Ini bukanlah ruangan yang layak untuk dijadikan tempat ngobrol, berbagi cerita atau share pengalaman. Tempat yang sudah seperti gudang, dengan disana-sini tumpukan barang tak layak pakai, ditambah serabut benang putih hasil rajutan laba-laba kecil yang menghiasi setiap sudut, bahkan setiap tumpukan yang sudah berdebu.
"Be calm Shania! kita gak bakal ngapa-ngapain lu kok, selama lu mau dengerin obrolan gue, dan... ikutin apa yang gue mau!!" Nadanya mulai terdengar menyudutkan Shania,
Shania yang sedang melihat-lihat, segera memakukan matanya pada Sinka "apa yang sebenarnya kalian mau dari aku? Selama ini, aku gak pernah ngusik kalian! sekalipun kalian selalu ngusik aku!!" Ucap Shania memberanikan diri, karena dia ingin keluar dari ruangan pengap itu.
"Oo, Shania marah? Eh bukan! Kesalll, iya? Kamu kesal? Sama siapa? Sama gue? Sama temen-temen gue?" Teman Sinka lainnya memasang senyum sinis, "Kiiita.. ngusik lu karena kita SUKA sama lu!" Dengan angkuhnya Sinka bicara "harusnya lu itu ngerasa beruntung, karena kita SUKA sama lu! Jarang loh, ada cewek-cewek kota yang begitu modis nan socialita kayak kita-kita, mau ‘meNYUKAI’ cewek kampung, orang kaya baru, yang mau Sok socialita kayak lu! Iya gak teman-teman?!" Octy, Vanka dan Noella mengangguk dengan senyum sinis, atas ucapan Sinka.
"Haah! Biar gak terlalu lama, dan keburu bell juga, gue percepat deh! Lu tahu gak? Apa yang gue mau dari lu?!” Shania hanya bisa menatap Sinka, “Gue tuh.. mau Lu… O..UT! dari sekolah ini!!?" Perlahan, terlihat kegerungan di alis mata Shania, "kenapa ekspresinya kaya gitu? Gak suka? Mau marah?" Sinka semakin menyudutkan Shania
"Kalian.. kenapa kaya gini sih sama aku? Salah aku apa? Kenapa kamu tiba-tiba pengen aku keluar dari sekolah?"
"Ouwhh, Shania yang malang... gue itu, cuma mau buka mata lu, lu sendiri pasti sadarlah, selama lu jadi murid disini, apa ada yang mau temenan sama lu? Hah!" Shania diam, "enggak kan? Jadi ya.. gue sih cuma ngasih jalan keluar aja buat lu, karena tempat ini gak cocok buat cewek kampung yang sok cakep depan murid-murid cowok, dan sok innocent depan guru-guru, kayak lu gini!" Kasarnya dengan mengangkat kerah seragam putih Shania.
"Gimana? Lu mau kan, ikutin apa yang gue bilang tadi!?"
Shania mulai merasa kesal "enggak! Aku gak akan ikutin kemauan kamu! Aku ngerasa gak ada masalah disini!! Kenapa aku harus Out!?" . . . "Aku mau keluar dari sini, bell masuk udah bunyi!" Lanjutnya sambil bersiap melangkah, tapi malang, langkah Shania dapat hadangan dari teman-teman Sinka.
"Tadi gue udah bilang, gue gak suka di tolak! Dan barusan.. lu nolak gue me..ntah banget!!" Ucap Sinka dengan posisi membelakangi Shania. "Terpaksa deh, gue harus ngelakuin sesuatu sama lu!" Dia membalikan badannya dan *breeet* Sinka menyabet tas gantung Shania, sementara teman-teman lainnya (Noella dan Vanka memegangi lengan Shania)
"Kalian mau apain aku? Balikin tas aku Sinka!" Ucap Shania dengan memasang tatapan marah
"Auw, auw.. Shania marah teman-teman, Hahahaaaa" Mereka menertawakan Shania, "euhm, Octy.. cepet bawain mainan buat mainan kita!" Perintah Sinka, Octy langsung bergegas entah kemana dan akan mengambil apa. "nunggu si Octy balik, gimana kalau kita lihat... isi tasnya orang kampung dari JOGJA ini! Kalian setuju?"
"Aahh, ide bagus! Buka aja Sin, gue penasaran sama isi tas dari Shania Jogjanatha, Hahaa" sambut Noella
"Alah.. palingan juga isinya, buku... buku... dan buku...! So bored!! Haaah" ikut Vanka
"Eits siapa bilang cuma itu, siapa tahu aja ada gudek Jogja di tasnya, kan lumayan buat kita makan pas istirahat nanti! Hihii" Noella terkikih sambil membayangkan, Shania tidak bisa melakukan apapun dibawah cengkraman 2orang.
"Ahh! Sudah diam, kalian pada berisik tahu gak!!" Sinka mulai membuka resleting tas dan mengeluarkan satu persatu isinya "hmm,, novel.. 'Pelangi.. Dalam... Sakura' ck- novel apaan nih? Gak mutu! Mending gue buang terus gue injek, kayak gini nih!!" Ucapnya sambil mempraktekan, Shania merasa sangat marah dengan kelakuan Sinka, melihat novel yang diberikan oleh sahabatnya kala dia berulang tahun yang ke 14, di buang dan injak-injak oleh Sinka.
"Lihat yang lainnya, buku (dijatuhkan), buku lagi (dijatuhkan lagi), lagi-lagi buku (lagi-lagi dijatuhkan)" Shania mencoba berontak "dan.. Buku lagi (dijatuhkan lagi), HaH! She's got a be kidding me? Sok pelajar banget lu! Gak ada yang lain apa ini isi tas ny,- Ahhh, ada yang baru nih…" Shania membelalakan matanya, melihat dompet nya ada di tangan Sinka "kita lihat isi dompetnya, girls!" Vanka dan Noella semakin memperketat cengkraman mereka pada Shania yang terus berontak "widihhh, siapa nih? Wahh… ini pasti temen kampung lu yah? banyak banget nih photo, HAH! Gue robek satu, gak masalah kali yah?"
"Jangan!!" Teriak Shania
"Apa? Barusan lu ngomong apa?"
"si Shania ngomong robek aja semuanya!" Sambar Vanka
"Owhhh, okey!" Tangan Sinka mulai mengambil kuda-kuda untuk merobek
"Enggak! Jangan!! Aku mohon!!" Shania meronta,
"Dia barusan ngomong lagi? Ngomong apaan ya?"
"Katanya cepet di robek!" Giliran Noella yang memanasi
"Gimana kalau... gini cara ngerobeknya (Sinka mulai merobek pas photo Shania saat dengan Beby di tempat jajanan pinggir jalan ketika di Jogja) biar greget!!" Dengan tersenyum puas Sinka menunjukan hasil robekannya tepat di depan wajah Shania. "keren kan? Hasil sobekan gue! Lu... disini (lempar sobekan photo Shania) dan dia... disana (giliran sobekan photo Beby) dan kalian... harusnya kaya gini!! (Photonya diinjak dan di putar-putar oleh kedua kaki Sinka)"
"Kalian... (Shania menangis), Keterlaluan!!". . . . “Aku gak pernah cari masalah sama kalian! Tapi kalian?!,-”
“Adu-du-duh… Shania yang malang! Hahahaaa” Sinka tertawa kejam, diikuti Vanka dan Noella yang sedang memegangi Shania.
Kembali, saat Sinka akan merobek photo kedua, Octy tiba-tiba datang, dengan dikedua tangannya membawa ember kecil "cuma ini yang aku dapat!" Ucapnya sambil mengangkat ember yang berisi air bekas pel an OB sekolah.
"Aduh! Lama lu keluar, cuma dapat kaya ginian?!" Kata Sinka
"Tahu nih si Octy, Loading banget!" tambah Noella
"Tapi... gak apa-apalah Sin, siapa tahu aja Shania belum cuci muka, iya gak Shan?" Ujar Vanka sangat penuh dengan maksud.
"Bener juga kata Vanka, ya udah deh, sini!" Sinka menyambar satu ember, dan photonya dia jatuhkan "gue… udah bilang dari awal, kalau gue, Sinka Juliani! GAK SUKA nerima pe..no...lakan!!" Lalu. . . *byuuurrrr* satu ember air bekas itu mengguyur wajah Shania, dengan Vanka dan Noella sebelumnya melepaskan genggaman mereka pada Shania.
Octy, Vanka dan Noella tertawa terbahak; diwajah Shania kini, air matanya sudah bercampur dengan air bekas pel lan.
"Sin, satu lagi nih.. tanggung!" Ucap Octy terlihat lugu, Dengan senyum sinis Sinka menerima dan kembali dia mengguyurkannya ke wajah Shania.
Setelah puas mengerjai Shania, kertiganya mulai meninggalkan Shania dengan sebelumnya menghapus jejak terlebih dahulu.
"Gue udah coba baik, lu nya yang gak mau baik-baik! jadi aja, keceplosan ngerjain lu kayak gini!!” Sinka benar-benar memasang wajah begitu sinis pada Shania. “denger yah, gadis kampong! Kalau lu buka mulut, sama siapapun!!maka… akan ada hal lain yang lebih mengerikan yang akan menyambut keseharian lu, dan perlu lu ingat, selama lu masih keras kepala untuk stay di sekolah ini, jangan pernah kapok ketemu sama gue! Oh ya… Sama satu lagi, jangan bilang, kalau gue gak pernah ngasih peringatan sama lu!!! Okey manis " Sinka lagi-lagi membuat kedipan jahat di bola matanya untuk Shania.
Pergerakan kaki ke 4 murid yang cukup di segani oleh murid lainnya itu, perlahan mulai meninggalkan ruangan pengap yang hanya menyisakan Shania, yang masih terisak dengan rasa marah, malu, benci, perasaan yang campur aduk tentang perlakuan Sinka dan teman-temannya.
ini mungkin akan menjadi hari yang tidak akan pernah bisa Shania lupakan dalam masanya mengejar mimpi. Isi tas yang keluar semua, pas photo yang dirobek, kata-kata halus yang menusuk, ancaman tak terlihat, dan… guyuran air bekas Pel lantai, menyambutnya di pagi hari yang cerah ini.
Sambutan hangat matahari milik duniapun, seakan terasa dingin membekukan hatinya. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Shania hanya bisa menangis sendirian di ruangan penuh debu itu, dia berjalan pelan kedekat tasnya, mengambil photo-photo yang belum sempat dirobek Sinka, dan juga mengambil photo yang sudah di robek, dia menatap sosok sahabatnya itu dengan ditemani air mata kepedihan.
"SHANIA!!..." teriak Beby dengan keringat dingin membasahi kening dan lehernya
"Bebyyyy... lihat Mama bawai..n,- sayang, kamu kenapa?" Tanya Mama yang memasuki kamar rawat Beby dengan membawa semangkuk sup plus segelas susu putih, Mama sesegera mungkin menyimpan nampan berisi sarapan untuk Beby itu, dan duduk di sebelah putrinya dengan wajah cemas begitu tergambar jelas
"kamu kenapa, sayang? Kepala kamu sakit lagi?" Beby yang masih mengatur nafas saat terbangun dari mimpi buruknya tentang Shania yang baru saja dia alami, hanya menggeleng pelan menjawab Mamanya, "Perut kamu mual lagi, atau.. apa yang kamu rasain? Mana yang sakit sayang?!" Mama benar-benar begitu mencemaskan putri tunggalnya itu.
Beby kembali menggeleng dengan kali ini sudah bisa mengatur nafasnya sendiri, "Beby gak apa-apa Mah, cuma..-" Beby menatap lekat wajah lelah dibalik kesedihan sang Mama.
"Cuma.. apa sayang?" Potong Mama
"Hemm--- Maamaa.. stop worry about me!” ucapnya menggantikan kalimat sebelumnya yang dia pungkas “Beby tahu Beby sakit, tapi Beby mohon, jangan perlakukan Beby kaya orang sakit Mah! Mama tahu? sakit Beby itu gak ada apa-apanya, dibanding dengan melihat raut Mama yang seperti ini, kelelahan Mama, kesedihan Mama, itu rasa sakit buat Beby!!" Beby menggenggam kedua tangan Mamanya "Beby sayang sama Mama, Beby gak mau lihat Mama nangis, apalagi cuma buat nangisin Beby (mata Beby berair)".
Beberapa bulan terakhir ini, Mama selalu menjalani kehidupannya dalam sergapan rasa was-was, memikirkan putrinya yang dijamahi rasa sakit. Mama memeluk Beby dengan tangis mengalir di pipinya "kamu itu.. bukan 'cuma' kamu itu segalanya buat Mama, Mama rela memberikan apapun untuk melihat kamu tersenyum bahagia sayang, Mama rela bertukar tempat dengan kamu, merasakan sakit kamu!"
Beby menggeleng "Beby yang gak akan rela! Beby ikhlas menerima takdir Beby dari Tuhan Mah, Beby anak Mama yang kuat kan? Beby kuat karena Mama juga kuat, Beby sayang Mama... karena Tuhan!" Mama mengencangkan pelukannya "Mama jangan nangis lagi ya? Kalau Mama nangis, siapa yang akan bikin Beby senyum? :’) Air mata Mama, kesedihan buat Beby.. Senyuman Mama, itu kekuatan buat Beby! Senyumlah Mah… kasih Beby kekuatan dari Mama.."
Mama melepas pelukannya dan menyeka air matanya, lalu memasang senyum untuk Beby "naaahh.. kalau gitu kan cantik, yang ini baru Mama nya Beby :')" Mama tersenyum haru dan memegang lembut wajah Beby yang sedang terlihat pucat.
Setelah kejadian Beby pingsan di sekolah waktu itu, dan beberapa rentetan rasa sakit yang terus menjamah kepalanya yang kadang diikuti rasa mual yang begitu hebat. Mama membawa Beby ke rumah sakit tempatnya bekerja sebagai perawat. Disana Beby diperiksa, sampai dilakukan tes darah untuk mendapat hasil yang akurat. 3hari menanti hasil Laboratorium. . . Dengan hasil yang sangat mengejutkan untuk Mama yang pertama kali tahu apa yang membuat putri semata wayangnya mengalami gangguan di kepala akhir-akhir itu, Mama menangis tidak percaya dengan skenario yang sudah dibuat oleh Tuhan untuk kehidupannya, Beby mengidap Kanker otak, penyakit yang sudah terlebih dahulu merenggut Papa Beby, orang yang juga sangat dia sayangi selain Beby, dari jalannya menempuh kehidupan.
Sempat menyalahkan keputusan Tuhan, Mama mencoba menutupi apa yang diderita putri tunggalnya itu, Beby hanya tahu kalau dia Tidak apa-apa dan apa yang dia alami tentang rasa sakit di kepalanya… hanyalah sakit kepala biasa karena kecapean. Tapi, sepintarnya menyimpan suatu kebohongan, tidak pernah ada yang abadi, pasti semua terbongkar pada waktu yang tidak diduga. Beby tahu kalau ada yang tidak beres di tubuhnya, dia mencoba mencari apa yang dia rasa, secara kasar (searching, atau sekedar Tanya-tanya pancingan ke teman-temannya Mama di rumah sakit), dan akhirnya… Beby menarik kesimpulan sendiri, dan mulai menelusuk Mama secara perlahan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya sedang dialami tubuhnya.
"Oh, ya.. tadi kamu kenapa sayang?" Tanya Mama kembali
"Beby... Beby mimpiin Shania Mah" jawabnya
"Kamu kangen ya sama dia?" Beby mengangguk, "Mama telponin ya? Biar kamu bisa ngobrol sama dia! Sudah sebulan lebih juga kan, Shania tidak main kesini!?"
"Ah, gak usah Mah.. nanti... nanti Shania tahu lagi soal Beby! Mana selama ini Beby udah susah-susah nyembunyiin penyakit Beby dari Shania lagi, ntar sia-sia dong Mah" Beby masih sempat menyunggingkan senyum lebarnya pada Mama "… emmm,.. Lagian... kayaknya Shania marah deh Mah, sama Beby! Karena akhir-akhir ini.. Beby jarang menghubunginya dan bahkan Beby sangat jarang mengangkat telpon dari Shania., . . . Tapi, ada bagusnya juga sih :'-) Beby gak perlu ngelak dari Shania, iya kan Mah?!" Katanya diikuti senyum luka.
Mama menatap lembut Beby "memangnya, kalau Shania tahu soal kondisi kamu kenapa?"
Saat Beby sudah tahu kalau dirinya sakit keras, dia meminta pada Mama nya untuk tidak memberitahukan soal ini pada Shania, Subhan, Aji dan atau teman-teman lainnya. Dengan alasan, dia tidak mau melihat orang-orang yang dia sayangi menjatuhkan air matanya, dan juga mengasihaninya karena dia sakit. Bahkan, Beby masih sempat meyelipkan candaan kalau dia yang pertama kali tahu soal tes darah tubuhnya, soal penyakitnya, dia juga pasti tidak akan memberitahukan pada Mama nya. Tapi sayangnya, kedok itu tidak bertahan lama untuk orang di sekitar Beby yang secara fisik dekat dengannya, Subhan, Aji dan mungkin satu sekolah sudah tahu soal sakitnya Beby.
"Kasihan Shania sayang, dia itu sahabat kamu.. masa dia yang justru tidak bisa tahu soal keadaan kamu, jangan tiru apa yang dulu Shania lakukan sama kamu (menyimpan rencana kepindahannya), dia berhak tahu apa yang sedang terjadi sama kamu, kamu berhak merasakan bahagia bersama sahabat kamu! Jangan menutupinya, karena suatu hari nanti... semuanya akan tetap ketahuan juga kan? dan Shania pasti akan ngerasain sa,-"
"Kalau begitu, biarlah waktu yang membisikan pada Shania tentang Beby Mah, seperti waktu Beby tahu apa yang hadir di tubuh Beby!" Beby memotong ucapan Mama "karena apa yang Beby lakuin sekarang... gak sama dengan apa yang Shania lakuin dulu! Shania menyimpan untuk diberitahukan disaat dia move, sementara Beby... Beby ingin menyimpan dan total mengubur semuanya, agar Shania tidak bisa tahu! Shania udah punya kehidupan lain di Jakarta. Jogja itu masa lalunya Mah, dan Jakarta.. itulah masa depannya. Masa depan Shania... si gadis yang selalu penuh keriangan dengan senyum khasnya!! :')" senyum haru Beby membuat Mama merasakan perih di dalam hatinya, mendengar pernyataan Beby.
Suasana rumah sakit pagi ini, masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Saat Beby harus dirawat inap karena kekebalan tubuhnya tidak mampu menjaga ke stabilan kondisinya, dia terpaksa dan dengan paksaan harus diinap. Karena kondisi sakitnya sekarang, untuk Beby yang sudah pernah melakukan satu kali operasi, mencoba membunuh sel kanker yang baru diam di stadium 2 kala itu, namun tidak mendapat hasil yang diinginkan. kondisi tubuhnya haruslah selalu 'fit' karena jika sakit sedikit saja, akibatnya akan sangat cukup merepotkan, seperti sekarang. Diam di rumah sakit untuk beberapa hari.
"Maafin Mama ya sayang, Mama gak bisa jaga kamu dengan baik!" Ucap lembut Mama
"Mah, berapa kali Beby harus bilang? Mama jangan mengucapkan lagi kalimat-kalimat itu!"
"Semua ini salah Mama, kalau saja Mama jaga kamu dengan baik, Mama gak perlu melihat kamu dalam rasa sakit seperti sekarang ini!" Beby menggeleng-gelengkan kepalanya "Mama udah gagal jadi Mama buat kamu, Mama bisa merawat orang lain sampai sembuh, tapi untuk anak Mama sendiri.. (Mama menunduk dan kembali untuk kesekian kalinya, Dia mengeluarkan air matanya)"
"Husssttt.. Mom please! Beby gak mau lagi denger kata-kata seperti itu dari Mama!! Mama itu... Mama terhebat untuk Beby, Mama bisa jadi Papa sekaligus Mama dalam satu tubuh untuk Beby!" Beby menitikan air matanya "Mama gak pernah gagal dalam merawat Beby! Mama selalu bisa jadi apa yang Beby mau. Mama nyediain bahu Mama saat Beby sedih, Mama ngasih Beby semangat saat tidak ada satupun yang menyemangati Beby, Mama ngasih nasehat sebagai Papa dan Mama ngasih pelukan hangat sebagai Mama dalam satu waktu bersamaan! Kurang hebat apa Mama Beby?! " Beby menyeka air mata Mamanya "jangan nangis lagi ya Mah, nanti kalau air matanya habis gimana? Mama nanti gak bisa nangis di pemakaman Beby dong :'-)" canda Beby, yang akan menjadi kenyataan, namun entah kapan waktu datangnya.
Mama memukul lembut bahu Beby mendengar candaan yang menyakitkan seperti itu.
"Sarapan dulu ya? Tuh lihat sup nya jadi dingin kan, karena dari tadi ngobrol terus!"
"Gak apa-apa, coba deh sup nya angkat, simpan di tangan Mama, pasti langsung hangat lagi " senyum Beby disambut oleh Mama.
Aku hanya bisa terdiam dengan perlakuan mereka semua! Ada apa dengan hidupku belakangan ini? Kenapa? Apa yang salah dengan cara ku?!
Shania menangis merasakan kepedihan yang entah bisa dia bagi dengan siapa, ia terduduk sendu tanpa tahu harus melakukan apa. Photo itu... wajah di photo yang sudah robek itu... masih bisakah dia dijadikan tempat berbagi, seperti dulu? Kenapa harus ada sekarang? Kalau dulu saja sudah cukup membuat hati bahagia?! Apa seperti ini kehidupan? Aku butuh kamu. . . Beeby
"Kalau lu terus nangis, mereka akan semakin senang, memperlakukan lu kaya gini!"
Seorang murid perempuan berjongkok memunguti buku-buku dan lainnya yang harusnya diam di tas Shania. Shania menoleh kearah murid itu, "Tas nya agak basah, tapi gak apalah entar juga kering " senyumnya sambil menyodorkan tas kedepan Shania yang masih dalam posisi duduk bersimpuh.
"Ooochi.." dengan rada sesenggukan Shania menyebutkan namanya.
Ochi tersenyum mendengar Shania menyebutkan namanya, "iya! Gue Ochi, dan lu Shania kan? "
Shania mengambil tas yang didalamnya sudah terisi kembali oleh barang-barang sekolah miliknya "kamu... ngapain disini?" Tanyanya dengan menyeka bekas air mata
"Nontonin orang... apa ya? emm- gue harus nyebut lu apa ya?" Pura-pura berpikir Ochi menjawab "orang lemah? orang sabar? orang penakut? atau.. orang bego aja kali ya!?" Lanjutnya, membuat Shania mengerung. Hatinya sempat kembali berpikir kalau dia akan kembali mendapat bully-an dari murid yang berbeda tapi kali ini teman satu kelasnya.
"Lu gak seharusnya dapat perlakuan kaya tadi dari Sinka sama teman-temannya!". . . "Gue yakin kok, lu bisa ngelakuin sesuatu untuk melawan atau sekedar menghindar dari aksi belagu mereka!!"
Shania tidak sedang ingin berpikir untuk menebak apa yang sebenarnya ingin Ochi sampaikan, dia masih merasakan rasa sakit dan malu dalam waktu bersamaan karena ulah beberapa gadis kota yang senang mencari musuh.
"Tangisan lu, malah bakal bikin mereka makin greget buat ngelakuin hal yang sama di lain hari! photo itu.. bisa lu cetak lagi kan? jangan melemahkan diri hanya karena sebuah gambar yang kenyataannya masih bisa lu jumpai!" Ucap Ochi, karena saat memperhatikan Shania, dia melihat Shania begitu sedih ketika Sinka merobek sebuah photo, yang tadi sempat Ochi lihat waktu memasukan barang-barang yang keluar dari tasnya Shania.
"Sebenarnya maksud kamu apa sih? Apa kamu juga sama kaya mereka!?" Tanya Shania akhirnya,
"Gue gak ada maksud apa-apa, cuma gerah aja, lihat orang sok lemah hanya karena sebuah gambar mati!"
"Gambar mati?... hmm-- gambar yang kamu bilang mati ini... hidup buat aku! Ini tuh namanya kenangan, ini gerak dalam otak aku!" bela Shania untuk menjawab.
"Karena kenangan itu... makanya lu jadi lemah dan diperlakukan tidak seharusnya oleh mereka!!" . . . ."Siapapun dia, orang yang ada di sebelah lu, gak seharunya bikin lu lemah! Dia yang harusnya bikin lu kuat!!". . . ."Buat apa lu nangisin orang yang bikin lu lemah!? Sementara di kehidupan yang lagi lu jalanin sekarang, lu di incar oleh orang-orang tak berotak bahkan tidak mempunyai hati, mereka bukan cuma bisa merobek kertas bergambar itu, dan juga menyiram lu pakai air bekas kaya tadi.. mereka bisa ngelakuin hal yang lebih dari sekedar merobek dan menyiram, sama lu!" Shania diam dalam kesal dan ketidak mengertian pada ucapan yang sedang dirangkai Ochi.
Ochi itu... saat pertama bertemu dengan Shania di kelas, pagi pertama berseragam putih-abu. Dia diam-diam memperhatikan tingkah Shania yang berusaha mendekatkam diri pada teman-teman lainnya, meski tidak pernah mendapatkan sambutan selamat datang yang hangat, tapi dia tetap selalu berusaha untuk bisa berbaur. Dia dan Shania duduk bersebelahan, pernah beberapa kali Shania mencoba menjalin komunikasi dengannya, tapi itu tidak pernah berakhir dengan obrolan seru. Ochi yang dalam pandangan Shania sama saja dengan yang lainnya, yang hanya menganggap keberadaannya antara ada dan tiada, membuat Shania pada akhirnya menyerah pada keadaan yang sedang berjalan di sekitarnya. Shania menanamkan kalimat "dia mau ngobrol, aku temenin. Dia mau diem, aku diemin!" Dalam otaknya. Tidak ada keinginan menggebu dalam dirinya untuk mencari sosok teman.
Semakin hari... setiap pergantian tanggal, Shania semakin diam dan hanyut dalam dunianya sendiri. berteman dengan smartphone saat istirahat (telponan dengan Beby, dan kadang suka ikut nimbrung Subhan dan Aji), menenteng sebuah novel dengan judul yang sama yang sepertinya tidak habis-habis dia baca, menyibukan diri agar terlihat kalau dia tidak butuh sosok teman karena dia sudah punya teman yang bisa diajak enak dalam segala hal. Dan tiba… masa dimana Shania mulai mendapat lirikan dari bullyer. Ochi ingin membantunya, setiap dengan atau tanpa sengaja dia melihat Shania sedang diintimidasi oleh murid lain (seringnya sih Sinka cs), tapi Ochi tidak langsung membantunya, dia hanya memperhatikan bagaimana Shania mengambil sikap dalam meladeni murid-murid itu. Ochi ingin tahu apa yang membuat Shania selama beberapa minggu bahkan menginjak hitungan bulan, bisa tetap kuat dengan intimidasi yang di lancarkan lawan padanya. Dan sekarang, pagi ini.. Ochi sepertinya bisa tahu, siapa orang yang sudah bisa membuat Shania bertahan tidak melawan, saat dia disudutkan. Orang itu..., orang yang ada di photo, di photo yang sudah di robek oleh Sinka, di photo yang kini tengah ditangisi oleh Shania, dialah yang sepertinya membuat Shania bertahan tidak melawan pada apa yang ditimpakan ‘teman-teman’ satu sekolahnya.
"Bentar lagi jam istirahat! Kalau lu mau keluar dari sekolah ini tanpa keliatan murid lainnya, sebaiknya sekarang lu keluarnya! Gue bisa bantuin lu... itupun kalau lu mau!?" Ucap Ochi setelah beberapa menit sebelumnya saling diam. Shania belum menggubris, dia masih menebak apa yang sebenarnya sedang Ochi lakukan padanya, "kalau emang gak mau dibantuin, ya udah. Gue pergi!... jangan terlalu lama diam diruang gelap yang pengap kayak gini, entar hati lu ikut gelap!" Lanjutnya sambil berjalan meninggalkan ruangan kosong penuh debu itu.
"Tunggu! mmm-- aku emang gak tahu apa maksud kamu berkata kaya tadi, tapi.. sepertinya kamu bukan salah satu dari Sinka, atau bagian lain yang kaya Sinka sama teman-temannya!!" Ochi menghentikan langkahnya "kalau kamu mau bantuin aku keluar dari sekolah ini... aku mau, aku mau dapat bantuan dari kamu!" dengan masih terduduk Shania mengucapkan kalimatnya. Ochi menyiratkan segores senyum tipis saat mendengar pernyataan Shania, dia membalikan badannya dan berjalan mendekat ke Shania.
"Gue bantu.. " dengan senyum Ochi mengulurkan tangannya,
Shania meraih tangan itu "makasih... kamu bantuin aku!"
"Gak masalah, oh ya.. soal ucapan gue yang tadi, gue minta maaf ya? Tadi gak ada maksud-maksud apa-apa kok! Gak ngeledek lu, gak juga ngejek orang yang ada di photo itu" Shania hanya menatapkan matanya pada Ochi "gue cuma gak suka aja, liat orang lemah ataupun sok lemah, padahal dia bisa ngelakuin sesuatu!" Shania hanya tersenyum untuk membalas ucapan Ochi.
"hemm-- Kamu... beda ya?" Ucap Shania.
keduanya mulai berjalan meninggalkan ruangan kosong yang hanya menjadi saksi bisu atas apa yang telah Shania terima.
"Beda? Apanya yang beda?" Heran Ochi
"Udah mau kelas XI, selama ini kita duduk sebelahan, tapi baru kali ini aku ngerasa bisa bicara sedekat ini sama kamu!" Papar Shania
Ochi tersenyum kecil "itu sih.. karena lu nya aja yang suka sibuk sendiri! Sibuk sama suara dari smartphone lu, sibuk sama novel lu, sibuk memikirkan pandangan orang lain sama lu, lu serba sibuk dalam garis lu sendiri, jadi, lu gak bisa memperhatikan lebih detail apa yang ada di sekitar lu!!" Jawab Ochi dengan penjelasannya. Shania diam, menurutnya.. apa yang diucapkan Ochi tentangnya ada benarnya juga.
Berjalan dilorong belakang sekolah, tanpa ada satupun yang memperhatikan keberadaan Ochi dan Shania, keduanya terus menembus jalan belakang untuk bisa keluar dari sekolah. Jalan rahasia itu... jalan yang Ochi temukan saat dia mengikuti Ospek dan menghabiskan waktunya sendirian tanpa ada yang dia kenal ataupun mengenalnya.
---
Malam ini... ditemani sinar benderang bintang nan jauh diatas sana, Shania kembali mencoba menghubungi sahabatnya. Dia mencoba menghubungi Beby lewat saluran telpon biasa, tidak memakai video call. 1 kali. . . . Tidak ada jawaban, Shania masih bersikap biasa. 2 kali. . . . Tidak ada juga jawaban, Shania merasa cemas dan campur aduk perasaannya menebak 'ada apa dan kenapa sebenarnya dengan Beby? Yang sangat dia rasa kalau Beby sedang menjauhi dirinya!'. 3 kali. . . . Tidak lagi mendapat jawaban, Shania mengambil jalan lain untuk komunikasi. Dia mengirimi Beby chat 'Hai... Beby ' ada tanda read, tapi tidak ada respon.
'Kamu lagi ngehindarin aku ya? Kenapa!?' Lagi, dia kirim Chat lagi. Masih seperti chat pertama, ada tanda read tapi tidak ada respon.
'Apa... ada kata-kata aku yang nyakitin kamu, pas kita terakhir ketemu?' . . . . .
'Kamu kenapa? Apa yang salah dari aku Beby? Jawablah? Aku mohon! Aku...' Shania mengirim chat dengan menghentikan dulu ketikannya, 'Aku butuh kamu... :'-( aku. . . Aku sangat butuh kamu, Beby! Aku sendirian sekarang!! :'-('. Tak terasa Shania menitikan air matanya kala ia mengetikan chat terakhirnya itu.
"Kalau kamu, gak mau angkat telponnya Shania. Setidaknya, balas lah chat nya dia sayang!" Mama memberi tahu dengan begitu lembut "ikatan batin kalian sepertinya sangat kuat , tadi pagi... kamu mimpiin dia kan? Dan sepertinya itu mimpi buruk!" Beby menatap Mamanya "dan sekarang... orang yang kamu mimpiin, coba menghubungi kamu, mengirimi kamu chat yang entah apa isinya, karena Mama tidak bisa lihat. Tapi pasti itu menyentuh! Apa kamu tidak ingin mengetahui keadaan Shania disana, sayang?" Mata Beby berair "kamu pernah cerita sama Mama. . . Kalau Mama Papanya Shania, bahkan Kakaknya yang sudah seperti Kakak kandung kamu itu, sering sekali ninggal-ninggalin Shania di rumah sendirian! Tidakkah kamu mau tahu tentang dia, yang kamu kasihi sebagai saudara itu!?" Beby terdiam, berpikir dalam-dalam "kita itu... meski dilahirkan sebagai yang sempurna oleh Tuhan, tapi kita tetaplah seorang manusia lemah, yang butuh seseorang untuk saling menolong atau mendampingi! Dampingilah sahabat kamu, sayang. dia mungkin butuh kamu sekarang, seperti kamu ... butuh dia!! " Mama tersenyum begitu sangat lembut, dengan mengelus pipinya Beby, Mama beranjak dari kursi didekat ranjang Beby.
Perasaan seorang ibu sangatlah kuat, ia bisa tahu kalau putri kesayangannya itu juga sebenarnya sangat ingin berkeluh kesah, menumpahkan isi hatinya yang dipenuhi rasa sesak karena himpitan rasa sakit di kepalanya yang seperti bom waktu itu, pada orang terdekatnya, pada seseorang yang sangat dia percayai selain dirinya yang sudah melahirkan Beby. Mama keluar dari ruangan Beby membawa nampan bekas makan malamnya Beby, sebenarnya... tidaklah perlu Mama keluar dari ruang rawat Beby dengan beralasan menyimpan bekas makan Beby, karena itu bukanlah alasan bagus. Tapi demi memberi ruang untuk Beby bisa berpikir dan mau menerina telpon ataupun membalas chat nya Shania, Mama jadi memakai alasan itu. Mama tidak ingin melihat Beby menyiksa dirinya sendiri seperti sekarang, sudah rasa sakit hebat sedang bermukim ditubuhnya, ditambah sekarang, rasa sakit yang sengaja dia pupuk dihatinya, dengan menarik diri dari sahabat karibnya.
Beby melihat handphone nya, membaca ulang setiap chat yang dikirim Shania, memikirkan ucapan Mama.
'sakit ini... boleh merenggut nyawaku tanpa ada pemberitahuan sekalipun, tapi. . . Tidak untuk merenggut persahabatanku dengan Shania! Mama benar, aku sayang sama Shania, jadi aku harus dampingi dia, tidak perduli apapun yang terjadi, aku akan tetap selalu ada untuknya!' Bisik hati Beby memupuk kekuatan. Saat Beby akan menghubungi Shania balik, Handphonenya bergetar lebih dulu, karena ternyata Shania kembali menghubunginya.. dan sekarang, tanpa perlu menunggu lama Beby langsung menggeser slide nya ke arah kanan untuk menerima telpon dari Shania.
"Halo!" Shania begitu antusias saat bunyi *tuut yang tadi dia dengar, ternyata sudah hilang dan berganti dengan mode kalau telpon sudah diangkat, "Haloo Beby! Kamu denger aku kan?" Lagi Shania bicara,
Beby merasa terharu mendengar suara Shania "Hhaa..I Shanju :'-)" balas Beby terbata
"Bebyyyyyyy.. akhirnya! Kamu ngejawab juga :'-)"
"Maaaf.. "
"Kamu emang perlu, dan bahkan harus! Minta maaf sama aku!!. . . Kelakuannya ya? Ish nyebelin tahu!!" Protes Shania dengan suara harunya, "kamu kemana aja sih? Sesibuk itu ya sekarang?! Sampai telpon dan bahkan chat dari sahabatnya sendiri, diabaikan gitu aja! Udah punya sahabat baru yang lebih segalanya dari aku ya?" cerewet Shania,
"Enggaklah, kalaupun aku punya teman lain, mereka pasti gak bisa gantiin kamu!" Puji Beby membalas
"Pujian kamu, tetap gak nembus dinding rasa kesal aku yang udah dicuekin lebih dari beberapa minggu kebelakang itu!" Kesal Shania.
"Iya dehh.. aku minta maaf! Aku salah!!"
"Hmm… Kamu belum jawab pertanyaan aku! Kamu kemana aja? Kenapa susah banget buat komunikasi sama kamu!? Kamu baik-baik aja kan?!"
Beby menahan harunya kala mendengar pertanyaan dari sahabatnya, apalagi pertanyaan terakhirnya, pertanyaan yang menanyakan tentang kondisinya, "Aku.. aku ada kok, dan... baik-baik aja! Cuma emang, kegiatan disekolah akhir2 ini terasa sangat menguras segalanya!" Jawab Beby,
Shania melamun mendengar ucapan akhir dari Beby tentang sekolah, "Disana... pasti asik banget ya Beb!" Suara Shania mulai terdengar dalam kesulitan yang dia sembunyikan "kalau aja, aku bisa sekolah disana! Pasti masa SMA ku akan sangat menyenangkan!!”. . . Beby terdiam mendengarkan “Kamu tahu? Aku butuh kamu Beby... aku gak tahu lagi, harus menyandarkan kepalaku dibahu siapa, saat kesedihan ini begitu menelusup tajam menyambangi hatiku!!!"
Beby merasakan perih saat mendengar ucapan itu "kamu bicara apa sih? Hah! tanpa adanya akupun, kamu pasti bisa menyandarkan kepala kamu dibahunya Kak Ve, Mama kamu, dan bahkan Papa kamu! Kamu juga pasti punya banyak teman yang bisa kamu ajak berbagi tawa-sedih kamu disana!!" Ujar Beby rada berbohong, karena dia tahu Shania sangat tertekan.
Shania melukiskan senyum getirnya "Haah, Papa.. Mama.. dan bahkan Kak Ve... aku.... aku sepertinya sudah kehilangan pegangan mereka, Beb!"
Beby merasa kasihan akan kisah Shania yang memang terakhir saat dia masih bisa berkomunikasi langsung secara fisik ataupun lewat telpon seperti sekarang dengan Shania, selalu mendengar keluhan hatinya tentang perlahan menjauhnya Papa, Mama dan juga Ve dari lingkupnya dalam satu udara itu.
"Coba aja, aku tetap diam disana, meski Papa dan Mama nenggelamin aku dalam kegilaan mereka pada pekerjaan, setidaknya... masih ada Kak Ve yang bisa aku jangkau, dan kamu... yang selalu bisa membuat hariku menyenangkan!!" Beby malah melamun dan ikut bermain dengan kata 'coba aja' yang sedang dirangkai Shania 'coba aja, aku gak sakit! Aku pasti bisa dampingin kamu, dampingin Mama, dampingin kalian, orang-orang paling berharga dalam kehidupan aku. Sampai nyawaku terbang dari tempatnya dengan cara Tuhan yang tidak bisa aku, atau dokter sekalipun tebak kapan akan perginya dari dalam tubuhku ini! Aku masih ingin melihat kebahagiaan kalian semua!!'
"Gak kayak sekarang, tidak seorangpun yang perduli sama aku, Beb. Bahkan disekolah pun, rasanya begitu sulit untuk aku bisa membaur dengan mereka!! Aku seperti orang buangan, yang tidak satupun diantara mereka yang mau menemani, bahkan sepertinya untuk menoleh ke arahku saja itu hal yang tidak pantas mereka lakukan!!!"
"Kamu bukan Shanju yang aku kenal!" Beby mulai menanggapi, "Shanju itu... gadis yang tidak pernah mengeluh, apalagi untuk urusan pertemanan. Shanju itu... gadis kuat dari Shakusi Jogja, yang bisa menempuh masa SMA di Ibu Kota negara kita. Shanju itu... gadis periang yang selalu membawa keceriaan, tidak perduli ketempat manapun yang sedang dia pijak. Shanju itu... gadis yang penuh pengertian dan toleransi pada siapapun. Shanju itu... gadis manis penebar senyum, yang bisa memikat orang yang melihat untuk bisa dijadikan teman. Shanju itu... gadis yang tidak pernah pilih-pilih dalam menjalin pertemanan. Dan Shanju itu... sahabat terbaik dan terindah yang Beby miliki! :'-)" Shania begitu terharu mendengar ucapan manis yang mengalir lembut dari bibir sahabatnya,
"kamu tidak pantas untuk mengeluh, Shan! Kehidupan kamu terlalu indah untuk diisi dengan keluhan!!" suara Beby menurun, dia merasakan sakit dikepalanya perlahan menyerang, mengetuk kepalanya. "Kamu pasti bisa ngelewatin semua yang merintangi jalan kamu.... (Beby memegang kepalanya yang terasa sakit) dengan.... atau tanpa aku!"
Shania tersenyum diikuti heran, karena mendengar suara Beby seperti menahan rasa sakit "Beby... kamu kenapa?" Beby tidak menjawab, rasa sakit mulai terasa intens terus menusuk dikepalanya. "Beb, Beby? Kamu baik-baik aja?" Shania terdengar khawatir,
Beby mencoba mengendalikan rasa sakit yang sedang menguasai dirinya "aaku.... aku ga..k aapa-apa...!"
Shania mencoba menerima ucapan Beby, meski terasa ganjil, dia kembali bicara "kamu.. emang selalu bisa ngasih aku ketenangan Beb, aku bahagia bisa punya sahabat kaya kamu! Makasih ya!!!"
Kali ini, Beby tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya untuk dia sembunyikan dari Shania. Dengan tanpa membalas ucapan Shania yang sebenarnya masih ingin berbagi cerita dengannya, Beby menekan tombol merah di touchphonenya, dengan sebelumnya terdengar suara rintihan rasa sakit yang di tekan agar tidak terdengar begitu gamblang di gendang telinganya Shania.
"Halo? Beby? Halo!" Shania merasa cemas, karena sebelumnya mendengar suara aneh dari Beby. "Beb, Beby!?" Shania mengedapankan Handphone nya dan melihat ternyata sambungan telponnya terputus. "Hhaaaah.. aku harap, kamu baik-baik aja disana Beby, makasih sudah mau mendengarkan keluhanku.!"
Shania memutar musik dari IPad yang tergeletak disebelahnya, sebuah lagu yang dulu sering dia dengarkan dengan Beby. Alunan musik yang membuatnya melamun memutar setiap kenangannya sewaktu di Jogja, bersama pencerah hari-harinya. Sampai dia akhirnya tertidur dengan lengkungan senyum menghiasi wajah lelah dalam kesedihan yang sebagizn kecil sudah dia bagi pada Beby.
Sementara itu, di rumah sakit.. Beby sedang diperika oleh dokternya. Setelah menutup telpon dari Shania, handphonenya jatuh dan tak lama Mama pun datang, beliau sangat kaget ketika melihat Beby sedang menahan rasa sakitnya. Segera dengan tergesa dalam ketakutan dan kekalutan, Mama memanggil dokter yang biasa menangani Beby. Hampir satu jam, dalam pemeriksaan, dan dokter pun berhasil menidurkan Beby dengan dosis dari obat yang dia berikan.
Dokter bicara sedikit pada Mama, saat dokter masuk dan melihat handphone nya Beby tergeletak di bawah, yang menurutnya itulah salah satu pemicu kenapa Beby sampai merasakan serangan dari penyakitnya dengan kekuatan yang bisa saja membuat Beby tidak bisa lagi bertahan.
"Sebaiknya, benda-benda yang memancarkan radiasi seperti HP, dijauhkann saja dari Beby!" dokter itu melihat Mama Beby yang tidak lain adalah temannya sendiri
"denger An, Sel kanker dalam tubuh Beby, setiap hari terus berkembang dan membelah untuk menyebar dan masuk lebih cepat dalam sistem tubuhnya, perkembangannya itu cepat, bahkan sangat cepat, dari yang kita duga!! Kita harus segera mengambil tindakan lebih dari pemberian obat untuk mencegah pembelahan sel itu, seperti sekarang ini. Kita tidak bisa setengah-setengah dalam mengobati kanker, operasi sudah pernah dilakukan, tapi nyatanya.. tidak bisa membunuh penyakit itu begitu saja!! ikutilah saranku, bawa Beby ke Jakarta, disana... fasilitasnya lebih lengkap, ajak Beby untuk mengikuti imunoteraphy, karena mungkin itu jalan terakhirnya!!!" Mama memejamkan matanya sejenak mendengar ucapan dari dokter.
"Kalau... masih soal biaya yang kamu khawatirkan, kamu tidak perlu terus memikirkan hal itu! Aku dan semua dokter, perawat bahkan staff di rumah sakit ini siap membantu kamu sama Beby! Kalian itu bagian dari keluarga besar rumah sakit ini!!"
"Bukan soal itu, dok. Saya tahu... untuk biaya, pasti tidak akan menelan biaya yang sedikit, tapi saya akan selalu berusaha melakukan apapun agar Beby sembuh."
"Lantas? Apalagi?"
"Ini soal kekuatan dari Beby sendiri, untuk bisa melawan sakitnya itu. dan... Beby bukanlah orang pertama yang sakit kanker, ada Papa nya.. ada Papa nya yang lebih dulu terkena penyakit itu, Papa nya yang begitu kukuh berjuang untuk bisa sembuh tapi pada akhirnya.. " Mama hanya bisa menunduk sesak menceritakan kisah Papa
"Setiap orang... punya jalan kehidupan masing-masing! meskipun dalam keluarga kamu, ada Papa nya yang lebih dulu menderita karena penyakit itu, bukan berarti Beby akan mengalami hal yang sama dengan yang Papa nya alamin (meninggal pada akhirnya, setelah perjuangan melawan kankernya).; Berjuang itu perlu, untuk menunjukan sama Tuhan, kalau kita tidak pernah menyerah akan apa yang Dia berikan. Semua orang... semua yang hidup didunia ini, akan meninggal! Hanya cara dan waktu kepergiannyalah yang tidak kita ketahui, karena itu rahasia Tuhan!! Tabahlah untuk putrimu, dia membutuhkanmu lebih dari kamu membutuhkan dia untuk tetap bisa hidup dan berjuang dalam sakitnya, Beby anak yang kuat, maka dari itu.. kamu harus lebih kuat dari dia " nasehatnya begitu membuat Mama Beby terhanyut, apa yang dokter bilang tidak ada salahnya.
Mama masuk kedalan kamar Beby, duduk disebelahnya, membelai rambut hitamnya, menangis dalam hati, merasakan kesesakan yang teramat sangat memikirkan bagaimana agar putri kesayangannya ini bisa tetap ada disampingnya, sampai nanti... nanti saat beliau terlebih dulu yang melambai pergi pada Beby.
***
Komunikasinya yang total dia putuskan dari Beby, setelah percakapan terakhir yang menimbulkan tanda Tanya di benaknya, dan pertemuan yang direncanakan Shania karena ada pertanyaan itu, tanpa di duga.. ternyata itu menjadi pertemuan terakhirnya dengan sang sahabat. Pertemuan yang diakhiri dengan timbulnya rasa kesal di hati Shania,, atas apa yang dia lihat kala menemui sahabat kecilnya itu. Karena kesepian dan rasa terasing yang di alami Shania didalam rumah, membuat sosoknya kini jadi begitu sensitive dan merasa kalau dunia tidak berpihak padanya, dan ditambah apa yang dia lihat pada Ibunya saat sedang berada di luar rumah, kerap kali membuat Shania hanya bisa menahan amarah tanpa tahu harus dia lampiaskan pada siapa, atau sekedar berkeluh kesah dengan siapa. Dan kini… Shania tidak lagi mau menghiraukan apa yang membuat hatinya sakit; tidak Papa, Mama, Veranda, dan atau Beby sekalipun. Dia sekarang lebih asik dengan apa yang ditunjukan Ochi padanya, tentang persahabatan baru, tentang kesamaan nasib yang ditinggal-tinggal bahkan hampir diabaikan keberadaannya oleh orang tua mereka, tentang adanya penghianatan oleh orang yang dulu begitu dia percayai, dan tentang kesamaan lainnya yang mulai mereka temukan seiring dengan seringnya mereka mengungkap sebuah cerita dalam perjalanan hidupnya. Karena setelah pertolongan pertama di hari kelam itu, di sebuah ruangan kosong yang membisu, Shania dan Ochi mulai dekat, seperti baru pertama kali mengenakan putih-abu, Shania bisa menemukan teman untuk menemani kesehariaannya, dan bahkan bisa Shania pakai untuk menenggelamkan nama beby di dalam alur hidupnya.
Beberapa kali, setelah bully an terakhir Sinka pada Shania waktu itu, dia selalu mendapat perlawanan dari Shania. Perlawanan yang diperlihatkan Shania tidaklah ekstrim (menghindar dari Sinka dengan sebelumnya mengucapkan kalimat pedas yang berhasil membuat Sinka terbakar) seperti bully-an yang dilancarkan Sinka. Namun satu hari, saat Shania sedang asik bercanda dengan Ochi di dekat kolam air mancur halaman depan sekolah, dia kembali di datangi oleh Sinka dan teman-temannya yang kali ini, Sinka langsung membawa backingan Kakak kelasnya untuk menyerang Shania. Ochi pernah bilang pada Shania, kalau tingkah menyebalkan yang sering di perlihatkan Sinka ataupun murid-murid sebangsanya yang suka menindas murid lain, tidak terlepas dari yang namanya senior. dengan uangnya, mereka bisa membayar senior yang memiliki pengaruh besar (ditakuti) di seantero Sekolah, untuk menjadi pelindung atau penyerang demi kepuasan mereka menaklukan murid yang tidak mereka sukai.
"Ada apa lagi nih?" Tanya Ochi pertama kali
"Diem lu! Gue gak ada urusan sama lu!! Gue ada urusannya sama dia!!!" Sinka menancapkan pandangan tajamnya pada Shania.
Saat Ochi akan kembali bicara, Shania menghentikannya.
"aku pikir, kalian mau udahan jadiin aku mainan! Tapi ternyata... kalian masih terus mancing kesabaran aku!!" Ochi melihat Shania yang memasang tampang tidak seperti biasanya saat menghadapi Sinka "mana sekarang, pake bawa-bawa senior lagi!"
"Gue gak suka sama gaya lu! Selama lu masih ada di sekolah ini, selama itu juga gue bakal terus bikin lu gak betah sekolah disini!!" dengan belagunya Sinka bicara.
Shania tersenyum sinis menanggapi ucapan Sinka, "terus? kamu pikir.. aku akan terus diam selamanya? Kesabaran itu ada batasnya! jangan bikin apa yang sudah kamu rencanain malah balik nyerang kamu!!" Ochi merasakan kegelapan yang ditunjukan Shania; Sinka geram akan apa yang dia dengar.
"Kalian.. dibayar berapa sama dia?" Lanjut Shania yang kini mencoba menjalin komunikasi dengan senior guard nya Sinka "aku... bayar kalian 4kali lipat, dari yang sudah dibayarkan Sinka sama kalian, Gimana?" Tanpa banyak apapun lagi, Shania langsung menawarkan. Ochi merasakan senang saat mendengar ucapan Shania, dia merasa inilah titik balik dimana kesabaran dari seseorang yang merasa kesepian membuncah; Sinka melebarkan matanya mendengar perkataan Shania.
"Kalau kalian setuju, aku mau... kalian bawa Sinka sama temannya-temannya ke ruangan kosong yang ada di pojok sekolah!"
Senior yang jumlahnya 8orang itu, saling berbisik sejenak lalu... mereka menyekap tangan Sinka dan teman-temannya dan menyeret paksa mereka ber4 ke tempat yang diminta oleh Shania, tanpa banyak pertanyaan atau pernyataan.
"Heh! Apa-apaan nih?" Berontak Sinka "gue udah bayar kalian ya! Lepasin tangan gue!?! Gertak Sinka "jangan kalian dengerin apa yang dia ucapkan! Dia itu gak punya apa-apa!!" Shania dan Ochi hanya melukiskan senyum sinisnya.
"Sorry Sin, ada yang lebih dari apa yang lu berikan! Gue ikutin mana yang lebih!!" Jawab seorang senior, lalu membawa Sinka dan teman-temannya ketempat yang ditunjuk Shania.
Bersambung lagi..
Copyright: Cemistri JKT48
0 comments:
Posting Komentar