Dibawah hamparan pasir pantai yang lembut mereka berdua duduk
bersama sambil memandang laut. Matahari baru saja menampakkan dirinya.
Udaranya juga belum terlalu panas, sangat cocok untuk keluyuran
menikmati udara segar atau mungkin berolah raga. Tanpa sadar sudah
beberapa menit ia melamun.
''Ca? Ca?'' panggil Ronald, berusaha menyadarinya. Namun, ia masih tetap saja diam, seperti ada yang menghipnotisnya.
''Ca!'' ulangnya dengan nada keras.
''Aku denger, kok.'' kerlingnya pada Ronald.
''Kenapa melamun? Gak baik tau. Hidup jalani saja apa adanya.'' ucap Ronald seakan akan Rica sedang memikirkan kehidupannya.
''Tadi pagi... Aku melihat orang orang yang begitu ceria. Nald, apa
pernah Ibu mu menyuruhmu sarapan di pagi hari? 'Nald! Ayo sarapan dulu,
ada roti, susu dan telur mata sapi.' apa pernah Ibumu mengucapkan itu?''
Ronald
tertawa mendengarnya. Entah mengejek atau sungguh sungguh Rica
menanyakannya. Padahal, ia paling tahu betul kehidupanya Ronald itu
seperti apa.
Rica mendecak. ''Kenapa tertawa? Aku serius
menanyakannya. Barangkali saja Ibumu pernah mengucapkan itu. Aku hanya
ingin tau aja.''
''Aku sudah bisa menebak maksud ucapanmu itu.
Apa kamu iri pada orang orang itu? Yang selalu di suguhi makanan makanan
lezat di pagi hari? Ya, pernah. Saat aku masih sangat kecil. Dulu Ibuku
bekerja di tempat biliard pada malam hari. Setiap malam ia selalu
membangunkanku hanya untuk menyuruhku makan makanan kesukaanku. Ibu juga
gak pernah lupa untuk membelikanku susu bubuk dan roti seperti orang
orang kaya itu. Kehidupan memang gak bisa ditebak. Ibu ku melahirkan
adikku pada saat itu sehingga ia harus meninggalkan pekerjaanya. Memang
sulit rasanya untuk bisa mencarinya kembali di umur Ibu yang sudah
menginjak tiga puluh delapan tahun.''
''Lalu?'' tanyanya
penasaran. Bagaimana tidak, Ronald memang enggan sekali menjawab kalau
ada yang menanyakan kehidupan keluarganya di masa lalu.
''Ibuku
meninggal karena sakit keras saat aku SMP. Dan sejak saat itulah
hidupku sangat ambruk. Aku bingung harus mencari uang dimana untuk
menghidupi adik ku. Sedangkan Dia, kerjannya hanya keluyuran bersama
teman temannya untuk berjudi. Aku sudah gak sanggup hidup bersamanya
sehingga aku kabur bersama adikku. Entah sekarang dia masih hidup atau
...''
''Heh! Gak baik mengira ngira kayak gitu. Aku tau 'Dia' itu Ayahmu, kan?'' tanya Rica yang masih heran itu.
''Aku bahkan gak mau memanggilnya 'Ayah'. Aku sudah gak mengganggapnya lagi.''
''Gak boleh gitu!'' protes Rica. ''Walau sikap Ayahmu buruk tetap saja dia Ayahmu. Jangan sampai kamu durhaka.'' tambahnya.
''Ayah apanya?'' balik protes Ronald. ''Bagiku, sesosok Ayah adalah
orang yang sanggup memberinya makan, mengurusi atau menjaga anak
anaknya. Sedangkan Dia? Kerjanya hanya berjudi, setelah pulang kerumah
kerjanya hanya tidur tiduran. Bahkan, dia gak pernah memikirkan Ibuku
sedikitpun saat telah tiada. Aku masih sangat ingat, betapa senangnya
ekspresi adikku saat dia pulang kerumah, pikirnya, ia mungkin membawakan
makanan untuk adikkku. Tapi kenyataannya... Tidak! Betapa sakit hati
ini bila mengingatnya.''
Sungguh, ucapan Ronald itu sangat
membuat Rica tersentuh. Betapa malangnya kehidupannya dibandingkan
dengan dirinya. Kalau mendengar itu dari ucapannya, Rica sudah tidak mau
lagi melanjutkan lagi keluhan hidupnya. Ternyata, aku masih beruntung
dibanding Ronald, ucap dalam hatinya. Mungkin, karena hidupnya yang
pahitlah yang membuat Ronald enggan menceritakan masa lalunya.
Rica
sudah tidak sanggup lagi melanjutkannya, ia mencoba membuka topik baru.
Dikeluarkannya sehelai kertas brosur yang ia lipat dari dalam saku dan
menyodorkannya pada Ronald.
''Lihat, deh.''
''Apa ini? Brosur?''
''Menurutmu, aku pantas gak kalau ikut Audisi itu?'' tanyanya penasaran.
''Wah, tentu saja. Suara mu bagus, pekerja keras dan juga menarik.''
puji Ronald seakan akan membujuk Rica untuk ikut dalam audisi itu.
''Eh, tunggu tunggu, sister group AKB48, ya? aku jadi ingat seseorang
dengan teman satu kelasku dulu. Namanya Melody, dia sungguh mengagumi
idol group ini.''
''oh, teman baik mu saat SMP dulu, ya? Yang sering kamu ceritakan itu.''
Ronald menggangguk. ''Tapi, apa orang tua mu mengijinimu untuk ikut dalam audisi ini?''
''Aku belum memberitahunya. Maka dari itu aku ingin minta pendapatmu apakah aku pantas untuk ikut Audisi itu''
''Hei, aku pasti akan selalu mendukungmu untuk ini. Semangat! Dan
jangan lupakan temanmu yang gembel ini kalau kalau kamu udah terkenal.''
guraunya.
Rica tersipu. ''Ah, berlebihan kamu.''
***
Ada yang mengikutiku. Belakangan ini aku tidak pernah merasa tenang.
Ia tak punya bayangan siapa orang yang telah mengikutinya itu. Ayu
berusaha sebisanya untuk tidak panik. Di otak Ayu hanya ada pikiran
pikiran negatif, siapa yang akan mencelakaiku?
Ayu terus berjalan
menuju tempat sekolahnya, ia tidak mau menengok ke arah belakangnya.
Sebisa mungkin Ayu menahan rasa paniknya itu, namun tetap merasakan
kegelisahan. Entah apa yang akan terjadi didepan sana. Ia melihat
bayangan seseorang yang terpantul oleh sinar matahari tepat didepan
pandangan matanya. Sedari tadi bayangan itu terus mengikutiku.
''Ini gak boleh berlarut larut. Siapa pun dia, gak akan aku biarkan
dia mencelakaiku. Aku masih ingin hidup lama lagi dengan kak Dhike. Aku
udah hampir menemukan jalan yang terbentang didepan ku. Kak Dhike sudah
membuktikan ketulusannya padaku. Aku masih ingin hidup lama bersama
Kakak.'' Desis Ayu seolah olah akan ada hal negatif yang akan terjadi
pada dirinya.
Ayu ingin sekali menghilangkan rasa
kegelisahannya itu, ia ingin tahu seperti apa sosok yang sudah
membuatnya tidak nyaman. Perlahan Ayu mulai menoleh ke belakang.
''Syukurlah. Hanya seorang wanita remaja.'' Ayu merasa lega.
''Tetapi, kenapa aku terus merasakan keanehan. Penampilannya begitu
mencurigakan. Disaat cuaca terik begini kenapa pakaian sungguh tertutup?
Apa dia gak kegerahan?'' simpul Ayu. Kegelisahannya masih belum hilang.
Ayu
kembali menoleh ke belakang. Memperhatikan sifat wanita itu. Sikapnya
biasa saja layaknya seorang remaja pada umumnya. Lagipula, dia hanya
seorang wanita. Mana mungkin ia menculikku, kalau pun benar, dengan
alasan apa? Selama ini aku gak punya musuh, pikir Ayu.
Tiba tiba
saja langkah wanita itu mendahului Ayu. Entah karena Ayu merasa curiga
atau apa hingga wanita itu mendahuluinya. Namun disisi lain, Ayu sudah
merasa lega dan nyaman. Tempat sekolahnya pun sudah tidak jauh lagi,
hanya beberapa puluh meter saja tepat didepannya.
Dhike sudah berpakaian seragam rapih. Sebelum tepat pukul tujuh, ia
kembali memeriksa buku bawaannya didalam tas. Sudah hampir satu minggu
Dhike tidak masuk sekolah. Perasaannya sungguh senang, mungkin ia akan
bisa kembali kumpul dengan teman temannya, bergurau ataupun berceloteh.
Untuk menyambut kembali kedatangannya setelah seminggu ke sekolah, Dhike
ingin sekali membuat kesan 'Wah' pada teman temannya. Dhike
mempercantik dirinya di cermin, wajahnya sungguh segar, rambutnya
sungguh halus. Kemudian ia melihat sebuah bando berwarna putih pemberian
Ayu yang tergeletak dimeja rias. Selama ini, baru satu kali saja ia
memakai bando itu, saat berpergian. Kemudian ia berfikir, apa salahnya
jika aku pakai ini ke sekolah, ini mungkin akan memberi kesan yang
ceria. Dhike tidak ragu ragu, ia langsung memakaikan bando itu ke
kepalannya. Ia senyam senyum sendiri melihat dirinya di cermin kaca.
Setelah merasa puas merias diri, ia mengambil tas sekolahnya dan melangkahkan kakinya berjalan keluar apartemen.
Lima
belas menit kemudian, Dhike tiba di sekolahnya. Ia masih merasa gugup
untuk bertemu dengan teman temannya di kelas. Hanya tinggal beberapa
langkah untuk bisa sampai di kelas.
''Hei liat, itu Ikey!'' sorak seorang teman satu kelasnya. Mendengar itu, semua mata tertuju pada Dhike.
''Key, kamu udah sembuh?''
''Apa benar ini Ikey?''
''Ikey! Selamat datang kembali di kelas kita yang baru ini.''
''Oh, Ikey ku. Kamu bagaikan bidadari yang datang untuk menemaniku
yang sedang galau ini tanpa mu.'' serobot Yuda si penggoda.
Mendengar ucapan Yuda, Ve langsung memegang tangan Dhike. Berusaha menjauhkan Dhike dari si penggoda.
''Kamu gak pernah berubah.'' decak seorang wanita yang melihat kelakuan Yuda.
''Heh! Jangan coba coba goda Ikey. Ikey terlalu baik buatmu, tau.''
''Oh, Ve ku, lagi lagi kamu cemburu. Tenang, aku gak akan menduakan cinta kita.'' ucap Yuda tanpa ragu.
Dhike tersipu malu, ia juga sangat senang menerima sambutan dari teman temannya.
Ve
bergidik mendengar godaan Yuda. Ia langsung menarik tangan Dhike menuju
tempat duduknya. Tempatnya tidak jauh dari tempat Melody dan Ve duduk.
Melody melejit dari kursinya setelah melihat kedatangan Dhike. Ia
tersenyum.
''Kamu udah sembuh?''
Dhike menggangguk dengan senyumnya.
''Syukurlah. Oya, kenalkan, ini teman baru kita. Namanya Stella.'' kata Melo sambil menunjukkan tangannya ke arah Stella.
Seketika
itu pula Stella bangkit dari Kursinya. Ia menyodorkan tangan kanannya
pada Dhike dengan senyumnya yang manis itu. Mereka berjabat tangan.
''Aku, Stella.''
''Aku, Dhike.'' jawab singkat Keduanya. Kesan pertama Stella saat
bertemu Dhike sangat kaku. Keduanya sama sama pemalu dengan orang asing.
Beda lagi jika mereka sudah berteman sejak lama. Pasti tidak akan
pernah lepas dengan yang namanya celoteh.
Suasananya
menjadi kaku. Mereka berdua masih saja mengatupkan bibirnya. Tak kunjung
bicara. Sampai akhirnya Stella sadar, harus ada yang bicara. Kalau
bukan Dhike tentunya dia. Stella ingin sekali cepat cepat merasa akrab
dengannya, seperti layaknya Ve dan Melody. Apalagi Melody pernah
bercerita pada dirinya kalau Dhike adalah orang yang setia kawan.
''Aku dengar, sudah seminggu ini kamu sakit. Bagaimana dengan keadaan kamu saat ini? Apa udah merasa baikan?'' tanya Stella.
Dhike manggut manggut. ''Iya, makasih.'' lagi lagi Dhike menjawab singkat.
''Suasana apa ini? Hei, Ikey, mana sifat humoris mu itu? Ini bukan
seperti Ikey yang aku kenal.'' keluh Ve seakan akan ingin mendekatkan
mereka berdua.
''Oh, gak apa apa. Mungkin aku juga yang pemalu.'' sahut Stella dengan wajah groginya itu.
***
Cindy, Beby dan Delima sedang beristirahat di halaman sekolahnya.
Mereka bertiga duduk bersama sama dibawah pohon yang besar. Tidak
seperti Delima dan Cindy yang sedang menikmati waktu istirahatnya dengan
memakan cemilan atau snack, Beby malah menikmati waktu istirahatnya
dengan membaca buku. Sudah tidak heran lagi bagi Cindy dan Delima jika
melihatnya.
''Kepulauan Indonesia membentang sejauh
lima ribu seratus dua puluh kilometer dari timur ke barat sepanjang
khatulistiwa dan seribu tujuh ratus enam puluh kilometer dari utara ke
selatan. Wilayahnya terdiri atas beragam bentukan alam, antara lain
gunung, pegunungan, bukit, danau, sungai, laut dan kawasan...'' celoteh
Beby.
Cindy yang berada disebelahnya merasa risih. ''Aduh, Beby!
Ngapalin nya didalem hati aja. Gak di kelas, gak istirahat, masih aja
mengoceh.'' potong Cindy.
''Gak mau!'' sahutnya.
''Aku kalah menjadi murid teladan dari Mu hanya kalah cepat dalam mengangkat tangan aja.'' Jengkel Beby pada Cindy.
''Iya, deh. Terserah kamu.''
''Eh, udah udah.'' potong Delima, berusaha memenangkan mereka. ''Oya,
Beby! Apa orang tua kamu udah setuju kamu ikut audisi?''
''Iya, apa mereka udah setuju? Diantara kita cuma kamu doank Beb yang belum disetujui.''
''Kalo gak disetujuin ya aku kabur lagi. Pokoknya aku harus ikut.
Selain membaca buku, hanya dance lah yang aku suka. Padahal, Ibuku
sendiri yang memperkenalkan aku pada dunia Dance saat aku masih kecil.''
jawab Beby.
Delima berkomentar. ''Iya, siapa yang mengira bahwa Beby yang kutu buku itu ternyata mempunyai bakat yang terpendam.''
Wajah
Beby seketika itu pula menjadi malu. ''Ah, Delima, kamu sering banget
memuji Orang. Dirimu sendiri jarang banget kamu puji.''
''Kan enak, agar dapet pahala.hehe''
Beby melirik snack kepunyaan Delima itu, aromanya sungguh membuat Beby tergoda. ''Bagi donk. Kayaknya enak. Itu rasa apa?''
''Barbeku.'' jawab Delima.
''Barbeku? Barbeque kali.''
''Udah tau nanya! Makanya beli donk. Nih!'' Delima membagi snacknya dengan Beby.
Beby
melirik ke arah Cindy. ia Melihat Cindy yang sedang melamun. Padahal
mereka lagi bercengkrama, biasanya, Cindy lah yang paling bawel. ''Lagi
mikirin apa kamu? Marah, bukan? Ia deh, lain kali aku bacanya didalem
hati aja.''
Cindy membalasnya. ''Siapa juga yang marah. Aku lagi
mikirin Audisi itu. Di pikiranku selalu terbayang kata Lolos dan gak
lolos. Apalagi orang tuaku sangat mendukungku. Aku jadi merasa
terbebani.''
''ah, kamu terlalu cemen. Menurut peribahasa yang
ku baca, fortune favours the braves, keberanian menciptakan
keberuntungan nasib. Jangan lemah kayak gitu deh. Kamu ingin sekali
lolos, kan? Kalau begitu, jangan pikirkan yang lain, kamu fokuskan saja
pada dirimu sendiri. Kamu harus percaya diri. Jika kamu mau merasa
nyaman, buatlah orang orang sekelilingmu itu gak ada apa apanya. Aku lah
yang paling bisa! Akulah yang paling mahir diantara kalian! Akulah yang
paling jago! Begitu...''
Cindy menghela nafas, tetap saja
pikirannya tidak nyaman. Ia sungguh takut jika sampai membuat orang
tuanya kecewa. Cindy ingin sekali membuat orang tuanya bangga akan
dirinya. ''Makasih sarannya.'' jawab Cindy lesu.
''Lemah gitu
jawabnya. Kamu tau kenapa aku selalu nomer satu? Bukannya aku pamer ya,
ya tapi karena aku merasa sangat percaya diri dan aku mengganggap semua
teman teman ku itu masih dibawah ku.''
''Apa gunanya percaya diri kalau gak mempunyai kemampuan, Beb.'' Balas Cindy.
''Ingat juga peribahasa yang ini, Cowards die many times before their
death, pengecut mati beberapa kali sebelum mereka mati. Kalau kamu udah
gak percaya diri gitu, maka siap siaplah kamu runtuh duluan.''
Cindy jengkel. Lagi lagi Beby mengoceh soal wawasan yang ia miliki dari Membaca buku.
''eh, Beby! Apa kamu mau adu peribahasa dengan ku? Bagaimana dengan
peribahasa yang ini. If you want to be strong, know your weakness, jika
ingin menjadi kuat ketahuilah kelemahan kelemahan mu. Nah, sedangkan
aku, aku masih sangat lemah. Tentu aku harus mengkhawatirkan kelemahanku
itu agar aku menjadi kuat.''
Beby berfikir, kira kira peribahasa apa yang akan cocok di ucapkan pada Cindy. Dan akhirnya dia mengingatnya.
''Dan jangan lupakan yang ini, who loses courage loses all, siapa yang
kehilangan keberanian, ia akan kehilangan segala galanya.''
''Bagaimana dengan yang ini, great talkers are little doers, orang yang
banyak bicara adalah orang yang sedikit berbuat. Itu kamu!'' teriak
Cindy.
''Where there is a will there is a way, dimana kemauan di situ ada jalan.'' balas nya.
''Siapa bilang aku gak mau, aku mau, kok! Berkata tanpa berfikir sebagaimana menembak tanpa sasaran.''
''Nasib baik menyertai orang orang yang berani tau.'' jawab Beby.
''BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH. Hanya itu yang aku tau.''
teriak Delima tiba tiba dengan wajah kesalnya itu. ''Aku tau kalian
pintar dan aku selalu dibawah kalian, apa kalian menyindirku?''
tambahnya.
''NASEHAT SEHARUSNYA DITURUT BUKAN UNTUK DI PUJI!'' teriak bersamaan Cindy serta Beby pada Delima.
''Kenapa kalian kompak sekali!'' balas Delima berteriak.
***
Ruangan luar di situ diterangi oleh cahaya matahari yang menembus kaca
rumahnya. Perpaduan antara cita rasa pendengaran dan penglihatan,
kemudian menyeruak ke dalam benak menghasilkan pesona yang mendorong
tubuh untuk bergoyang. Semakin banyak gerak, maka semakin banyak
keringat yang keluar. Semakin berkeringat maka semakin besar pula untuk
memiliki tubuh yang sehat. Biasanya, pukul sembilan pagi Mova tidak
pernah melupakan olah raganya dengan Menari di iringi musik. Memang,
usia muda menjanjikan angan angan masa depan yang terbentang luas tanpa
kelihatan tepinya. Mereka kaya dengan waktu dan kesempatan. Kalau tidak
besok, masih selalu ada besoknya lagi. Tentu saja, yang sudah tidak muda
lagi, tak mungkin memiliki energi sebesar anak Remaja. Bahkan, anak
Remaja dikatakan sebagai golongan yang memiliki kelebihan energi, hingga
sering kebingungan tidak tahu bagaimana menyalurkannya.
Kemudian Ibunya datang menghampirinya lengkap dengan pakaian blus putih dokter.
''Va, Ibu berangkat dulu ke klinik.'' Seru nya.
''Oh, iya Bu!'' jawabnya tanpa menoleh ke arah Ibunya. Mungkin Sangking serunya menari nari.
Sudah
se jam lamanya Mova menari. Mungkin sudah cukup baginya merenggangkan
otot otot nya itu. Ia pun segera mematikan amplifier dan menuju dapur
untuk meminum air putih. Setelah dahaganya hilang, ia menuju kamarnya
untuk mengambil sehelai handuk di lemari kamarnya. Selintas jika melihat
ke dalam kamarnya, banyak sekali poster poster dancer legendaris yang
tertempel di dinding. Bisa dibilang, menari adalah kegiatan nomer dua
nya setelah bekerja dibidang kesehatan.
Siang itu setelah pulang sekolah Shiva berbaring di kasurnya. Ia terus
memikirkan cara hidupnya untuk kedepan nanti. Apakah aku akan terus
seperti ini? Yang hidup penuh dengan kekejaman dan kehampaan. Bagaimana
cara aku untuk mengubah semua ini? Dipikirkannya terus, terus dan terus.
Memang sulit rasanya mempunyai kehidupan yang ia jalani itu. Orang yang
merasa putus asa tentu ia tahu betul bagaimana kehidupannya itu, karena
ia merasakan dan mengalaminya. Lantas bagaimana dengan orang yang tidak
merasakannya? Apakah mereka hanya memberikan kalimat nasehat saja?
Sebuah nasehat memang harus dituruti, tapi bagaimana jika mereka berada
di posisi ku? Ada kalanya setiap orang pasti pernah merasakan
keputusasaan dalam hidup ini. Hidup memang penuh serba salah.
Shiva
terus memikirkannya sebaik mungkin. Sampai akhirnya ia mendelik.
Sepertinya ia sudah mulai menemukan jalan keluar untuk mengakhiri ini
semua. Ia melejit dari kasurnya dan menuju sebuah lemari kecil tempat ia
menyimpan harta kesayangannya dan juga pemberian kedua orang tuanya. Ia
mengambil sebuah kalung pemberian orang tuanya saat ia berulang tahun.
Dipikirkannya lagi rencana yang akan ia lakukan.
''Apa aku
harus melakukan ini? benar! Aku gak boleh seperti ini terus. Mungkin di
alam sana orang tuaku akan sedih melihat kehidupan ku yang sekarang.
Maka, aku harus mengubahnya. Maafkan aku, Ayah...Ibu...''
Diluar
dugaan. Shiva mengambil semua emas yang ia punya dan memasukkanya ke
dalam tas. Entah apa yang akan dilakukannya. Shiva menoleh kearah
belakang. Matanya mengincar sebuah celengan yang tergeletak di sebelah
kasurnya. Ia merasa masih belum cukup. Ia pun memecahkan celengannya dan
memasukkan isinya ke dalam tas. Setelah ia merasa cukup, sesegera itu
pula ia berlari keluar rumah tanpa mengganti pakaian seragam yang ia
kenakan itu.
Shiva berlari kencang keluar kamar dengan
membawa tas dan tanpa mengunci kamar kos nya itu. Mungkin ia berfikir,
mana ada maling yang mau mengincar kamar yang sudah tidak ada lagi
barang berharga didalam nya sama sekali. Sudah sejauh lima ratus meter
ia berlari tanpa henti. Tubuhnya sudah mulai berkeringat. Apes, sendal
yang ia pakai putus. Mungkin kerena terlalu cepat berlari. Tanpa
berfikir panjang, ia langsung membuang sendalnya dan melanjutkan larinya
dengan kaki telanjang. Ia tidak peduli pada pandangan orang
terhadapnya. Ia akan membuat semua orang yang sudah merendahkannya
merasa menyesal. Ia terus berlari menuju pusat kota. Wajahnya sangat
serius.
Bersambung...
Follow us on twitter @JKT48fanfiction
0 comments:
Posting Komentar