Aku berjalan ditengah kegelapan dengan kaki telanjang. Di dalam
hutan yang lebat serta jurang ditiap sisi aku berada, aku masih tetap
memberanikannya. Aku mendengar suara teriakan yang memanggil manggil
namaku, aku sangat mengenal suara itu, itu suara Ayahku. Setelah aku
berpisah dengannya, tidak lama lagi aku akan bertemu dengannya didepan
sana. Aku sudah tidak sabar menantikannya. Aku begitu antusias, aku
tersenyum gembira. Sudah tiga tahun terakhir aku tidak bertemu dengan
nya, kerinduanku cukup amat besar terhadapnya.
Akankah rasa kesepianku ini akan berakhir? Aku harap begitu.
Aku
terus berjalan dengan tatapan kedepan. Sudah hampir tiba, hanya tinggal
beberapa langkah untuk ku bertemu dengannya. Tiba tiba saja Senyumanku
menghilang, aku tidak melihat apa apa didepan sana. Aku sangat yakin
sumber suara itu datang dari arah sini. Mengapa aku tidak melihat
dirinya?
Ayah, sebenarnya engkau ada dimana?
Aku begitu kecewa dengan didikanmu. Jangan salahkan aku jika aku berada
di jalan yang salah. Jika memang aku salah, tolong temuilah aku dan
tegurlah aku dengan ucapan mu yang bijak. Aku tidak berharap banyak,
cukup engkau beritahu aku apa yang sudah terjadi. Mengapa Engkau pergi
meninggalkan aku dan juga Ibu. Semuanya menghkawatirkan Ayah.
Aku berteriak sekeras mungkin, aku sungguh benci denganNya. Mengapa
Ia tidak bertanggung jawab akan hidupku ini. Aku ingin mengakhirinya,
sungguh aku ingin. Tidakkah kau lihat wajah anak mu ini yang penuh
dengan kemalangan? Apa kau tidak tega? Apa masih belum cukup melihat air
mata kesedihanku? Apa aku juga perlu meneteskan darah agar dirimu
merasa iba dan kemudian kau kembali? Aku rela melakukannya jika memang
Ayah akan kembali nantinya dan akan mengusap semua kesedihanku.
Tiba
tiba saja aku merasa pusing. Aku hilang kendali dan kemudian kaki ku
terkilir. Aku terjatuh dan terlempar ke dalam jurang yang penuh dengan
kikisan batu batu tajam. Tubuhku terguncang hebat, benturan demi
benturan tidak bisa aku hindarkan. Aku sudah tidak ada rasa semangat
untuk hidup, biarpun tubuhku terlempar atau tertusuk, aku sudah tidak
peduli. Maafkan aku. Ini sudah berakhir. Rasa sakitku sudah tidak bisa
aku tampung lagi, aku ingin melepaskannya.
Ayah, Ayah, Tolong Sapa panggilan ku ini.
Ayah ! Aku mohon ...
Ayah !
Teriak
Ayu dalam Tidurnya. Teriakannya sungguh kencang, membuat Sendy serta
peserta lain yang merupakan satu kamarnya terbangun. Sebisa mungkin
Sendy membangunkan Ayu dari mimpi yang menurutnya buruk itu.
Tubuh Ayu berkeringat, wajahnya tampak pucat.
"Kamu gak apa apa?"
Ayu terenyak dan tertegun diam.
Dua
diantara peserta lainnya yang berada dikamar menjadi terbangun atas
teriakan Ayu barusan. Mereka jengkel disaat mereka sedang pulas
tertidur, justru Ayu mengacaukannya dengan membangunkannya. Setelah
mereka melihat keberadaan Ayu, mereka malah keheranan. Sebelumnya Ayu
memang sudah gugur karena tidak mengikuti pembukaan Audisi, dan Ayu
sudah tidak dicantumkan dalam daftar nomor kamar asrama. Saat Ayu dan
Sendy memasuki kamar, memang peserta yang lain tidak menyadarinya karena
saat itu mereka semua sedang tertidur lelap.
"Dia siapa? Bukankah di daftar kita hanya berempat saja? Apa kamu membawa teman mu kesini?" Sahutnya dengan nada Judes.
"Sebelumnya dia memang berada dikamar ini. Jadi jangan tanya mengapa
dan memperpanjang situasi saat ini. Kalian kembalilah tidur." Balas
Sendy.
Ya, semuanya mendengarkan omongan Sendy. Semua gak
mau diambil pusing. Daripada membuat keributan ditengah malam dan
mengganggu proses istirahat mereka, lebih baik mengisi energi untuk
Audisi besok.
Butiran embun pagi
berterbangan menyentuh kulit hingga membuat kulit terasa segar. Shiva
berdiri tepat di atas loteng sebuah bangunan gedung yang tingkatnya
mencapai 12 lantai. Pemandangan nya sungguh indah, bangunan bangunan
rumah terlihat kecil baginya, pandangannya yang luas membuat hati terasa
nyaman. Dipejamkannya kedua matanya, merasakan betapa menyegarkannya
saat itu.
Kepopuleran membuat semuanya terasa
kecil dan mudah. Aku bisa menggenggam segalanya dengan mudah. Walau aku
tahu bahwa kepopuleran bukan satu satunya yang wajib dimiliki oleh
setiap orang, tetapi ada saatnya semua orang akan membutuhkannya,
seperti diriku.
Kebersamaan ... ?
Apakah
aku harus membutuhkannya? Orang orang itu (Cleo dan kawan kawan),
mereka semua mempunyai hati yang sungguh lembut. Untuk apa mereka
mengkhawatirkan orang yang tidak mempunyai apa apa sepertiku. Apakah aku
salah dalam menilai orang? tetapi sebelumnya aku sangat yakin bahwa
kekayaaan menciptakan kebersamaan, itulah kehidupan yang aku jalani
sebelumnya.
Mereka lebih memilih
orang orang yang sederajat. Disaat orang 'punya' sedang merasa
kesepian, ia memanfaatkan orang 'rendah' yang tidak mempunyai apa apa
untuk dijadikan bahan pereda kesepiannya. Setelah mereka puas dan
mendapatkan orang yang sederajat dengannya, tanpa basa basi mereka
meninggalkan si 'rendah' dengan sangat dinginnya. Padahal ia tahu,
bahwa si 'rendah' lah yang selalu hadir untuk menemani si 'punya' saat
dirinya kesepian.
Mereka semua
malu. Orang kaya harus bersama dengan yang kaya pula, sedangkan yang
miskin harus bersama dengan yang miskin. Itulah dunia yang aku lihat
saat ini. Aku hidup sudah belasan tahun lamanya, namun aku masih belum
bisa menemukan orang yang benar benar tulus dalam menilai persahabatan.
Persahabatan tidak mengenal si kaya dan si miskin, mereka saling berbagi
kebersamaan, mereka tidak malu mempunyai teman yang bahkan orang tuanya
bekerja sebagai tukang gorengan di sekolah anak nya sendiri. Yang
kulihat semuanya minder, semuanya menjauhkannya. Aku menangis
melihatnya, dunia ini sungguh mempunyai perbedaan yang kuat.
Aku
melihatnya dan aku merasakannya. Akan aku buktikan bahwa pemikiran
mereka semua itu salah. Aku sangat tidak suka mereka yang mempermainkan
si miskin dengan kekayaannya.
Aku akan membalasnya ...
Aku akan membalasnya ...
Balas dendam satu satunya cara agar mereka mengerti dan memahami apa itu arti persahabatan sesungguhnya.
"Aku akan membalas mereka semua!" Pekiknya dengan wajah yang berapi api dan mata yang terbuka lebar kuat.
"Jika kamu ingin membalas dendam kamu harus korbankan dua orang
sekaligus." Seru seorang wanita dari balik pintu yang mendengar teriakan
serta semua omongan Shiva barusan.
Perlahan Shiva menengok ke
arah belakang, ia melihat wanita berpakaian dokter saat itu. "Sudah
berapa lama kamu ada disitu?" Tanyanya penasaran.
"Aku sudah
disini sebelum matahari terbit." Sahutnya dengan langkah mendekati
Shiva. Wanita itu adalah Mova, ia ditugaskan oleh Ibunya untuk memantau
aktivitas saat proses Audisi berlangsung. Takut takut ada yang mengalami
gangguan saat proses audisi berlangsung. Entah itu keram otot, depresi,
atau bahkan keseleo sekalipun. Seorang Spesialis kedokteran memang
dibutuhkan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan saat proses
audisi berlangsung.
"Apa maksud kamu harus mengorbankan dua orang sekaligus?"
"Kamu mengganggap dunia ini kejam dan lantas kamu ingin membalasnya.
Namun tidak semuanya berpikiran seperti itu. Kamu harus siap
mengorbankan dirimu serta musuhmu. Itulah kedua orang yang aku maksud."
"Berhenti untuk bersikap bijak, kamu tidak mengerti apa yang aku rasakan saat ini--"
"Jangan berkata seolah olah hanya dirimu yang paling menyedihkan
didunia ini. Masih banyak orang orang sepertimu diluar sana dan ingin
membalas dendam. Memang benar orang membutuhkan balas dendam agar
perasaanya terbalaskan, Namun tidak semua balas dendam itu indah, kamu
harus rela mengorbankan dirimu sendiri." Potongnya.
"Aku tidak
mempermasalahkan jika memang aku harus mengorbankan diriku sendiri. Yang
aku inginkan hanyalah membuat orang orang itu merasakan kesedihan yang
aku rasakan saat ini. Itu saja."
"Apa alasan mu untuk ikut
dalam audisi ini? Mendapatkan kepopuleran? Dan kamu akan memanfaatkan
kepopuleran mu itu untuk balas dendam? Seperti itu?" Lantas Mova
menepukkan tangannya dengan senyum tipisnya itu.
"Apa ada yang salah dengan itu semua?" Balik Shiva bertanya.
"Kepopuleran menciptakan kecemburuan, dengki, tidak senang melihat
kelebihan orang lain. Mulai dari situ yang namanya Hater/Pembenci akan
mulai menampakkan keberadaannya. Kamu bisa saja akan semakin terluka
sebelum dendam mu terbalaskan, dalam proses pembalasan menciptakan atau
menambahkan dampak buruk lainnya. Itu semua hanya akan menambah luka
yang kamu rasakan menyebar luas. Perasaan luka yang tidak bisa ditampung
lagi menyebabkan gangguan jiwa atau lebih tepatnya depresi, rasa
depresi yang berlebihan mendorong mu untuk melakukan tindakan bodoh,
yaitu dengan mengakhiri hidupmu sendiri. Berhentilah dari sekarang,
tindakan mu hanya akan membuat keadaan semakin memburuk."
Shiva
tertawa dengan pandangan rendah mendengar itu semua. Tekadnya sudah
sangat matang dan kuat, ia tidak mungkin berhenti saja dan mendengar
semua omongan orang yang tidak ia kenalnya.
"Berhentilah bersikap seperti guru. Aku tidak butuh nasehat serta
pendapatmu." Itulah bentakan terakhir yang diucapkan Shiva, ia pergi
meninggalkan Mova menuju kamar asrama.
Dua
jam menuju proses audisi tahap pertama dimulai. Para peserta terlihat
sibuk mempersiapkannya. Mereka semua serentak membersihkan diri, setelah
itu mereka sarapan bersama sama di satu tempat yang sama, percis
seperti sebuah asrama. Ruangan makan yang luas kini mulai dipadati para
peserta, semuannya rapih, tidak berdesak desakan, pelayanan nya pun
sungguh ramah dan tertib. Saat itu Ayu sedang memilih milih makanan,
setelah selesai ia berjalan mencari cari kursi yang belum dihuni. Tidak
sengaja saat matanya menjelajah ia melihat Dhike sepuluh langkah dari
tempatnya berdiri. Ayu hanya memandangnya dari kejauhan, ia tidak berani
mendekatinya. Namun disisi lain Ayu ingin sekali menyampur dengannya
untuk makan bersama. Tetap saja Ayu masih tidak berani menemuinya,
dikalahkannya rasa keinginannya itu, ia lebih memilih kursi kosong yang
lain.
Namun saat Ayu berjalan menuju kursi tempat
pilihannya, Melody yang sedang mengambil makanan tidak sengaja melihat
keberadaan Ayu, lantas tiba tiba saja Melody memanggilnya.
"Ayu!" Pekik nya.
Ayu menoleh, kemudian ia tersenyum setelah tau bahwa yang memanggilnya adalah Melody.
"Kakak ..."
"Ayo makan sama sama." Ajak nya sambil meraih pergelangan tangan Ayu.
Wajah
Ayu seketika itu memerah, Melody membawa Ayu dengan menarik lengan nya
menuju tempat yang di huni oleh Dhike. Ayu terlihat gugup dan gelisah
saat melangkahkan kakinya. Melody memang sengaja mengajaknya makan
bersama agar dirinya bertemu dengan Dhike setelah sebelumnya Dhike
mengkhawatirkannya terus menerus. Mungkin dengan dipertemukannya mereka
berdua, perasaan gusar diantara mereka bisa memudar, pikir Melody.
Sesampainya
ditempat Dhike, suasana menjadi hening. Diantara Dhike atau Ayu,
keduanya masih belum mengucapkan sepatah katapun yang keluar dari mulut
mereka. Mereka berdua saling membuang muka. Perlahan Ayu mulai bertumpu
pada kursi tepat disebelah Dhike berada. Tidak ada obrolan saat itu,
semuanya mengunyah makanan nya masing masing.
"Makannya
pelan pelan." Tegur Dhike. Walau Dhike berkata tanpa menoleh pada
siapapun, namun Melody mengerti bahwa ucapannya barusan itu ditujukan
pada Ayu.
"Kakak juga." Sahutnya singkat dengan wajah yang memerah.
Melody tersenyum geli melihat tingkah mereka yang malu malu, seperti orang yang baru kenal saja.
"Lalu, nasehat untuk ku mana? Aku juga ingin mendengar nya dari mulut
kalian. Bagaimana kalau aku keselek nanti? Apa kalian ingin bertanggung
jawab?" Gurau Melody.
"Kamu itu kan sudah dewasa, Mel. Kamu
udah bisa bedain mana yang benar dan mana yang salah." Sahut Dhike
dengan tawanya. Ayu pun ikut tertawa tipis dengan malu nya.
Tiba tiba saja Sendy muncul dan langsung ikut menyampur. Wajahnya biasa saja, tidak ada rasa minder ataupun malu malu.
"Aku mencari mu kemana mana, ternyata kamu ada disini." Ucap Sendy pada Ayu.
"Maaf, kak. Aku jadi lupa kalo sebelumnya kakak lagi nungguin aku ditempat lain." Sahutnya dengan perasaan tidak enak.
Sendy
hanya tersenyum. "Gak apa apa. Mungkin lebih baik kita makan bersama
seperti ini agar rasa kesalapahaman diantara kita akan menghilang."
Sindir nya dengan mata melirik ke arah Dhike.
Wajah Dhike berubah masam melihat kehadiran Sendy. "Mari kita sama sama berjuang dalam Audisi ini."
Hati
Ayu menjadi sungguh gelisah. Ia masih memikirkan dirinya yang telah
gugur sebelumnya. Ayu masih ragu apakah dirinya masih bisa mengikuti
Audisi tersebut. Sebelumnya Ayu memang ingin menyerah, namun Sendy
memaksanya untuk terus ikut dan selalu mengikuti semua omongan Sendy.
"Jika memang keputusan yang kamu buat sudah matang, maka lanjutkanlah
sampai akhir, sampai kamu menemukan jawaban atas apa tindakan yang kamu
lakukan. Aku tidak benci ataupun dendam, aku hanya takut jika sampai aku
tidak bisa membangunkanmu saat dirimu jatuh. Itu saja yang bisa aku
ucapkan padamu." Tegurnya pada Ayu.
"Sudah, sudah. Kamu jangan terlalu keras menekanya." Bisik Melody pada Dhike. Ia tidak tega Dhike terus menekan Ayu.
Ayu hanya bisa menunduk mencerna perkataan Dhike barusan.
"Kamu tidak usah khawatir, kalau dia tidak bisa membangunkanmu, maka
aku yang akan melakukannya." Potong Sendy sambil menggenggam tangan Ayu.
Bersambung ...
Writer : Chikafusa Chikanatsu
Terima Kasih Yang Masih Setia Mengikuti Kisah Novel Ini.
Ayo Dukung terus Novel ini, Follow kami di Twitter @JKT48fanfiction
Jika kalian mempunyai Pertanyaan bisa kirimkan ke alamat Email Parahesitisme@gmail.com
Copyright © Experience Of Jewe
0 comments:
Posting Komentar