Senin, 22 April 2013

JKT48 NOVEL #6 (SEASON II)

Aku berjalan ditengah kegelapan dengan kaki telanjang. Di dalam hutan yang lebat serta jurang ditiap sisi aku berada, aku masih tetap memberanikannya. Aku mendengar suara teriakan yang memanggil manggil namaku, aku sangat mengenal suara itu, itu suara Ayahku. Setelah aku berpisah dengannya, tidak lama lagi aku akan bertemu dengannya didepan sana. Aku sudah tidak sabar menantikannya. Aku begitu antusias, aku tersenyum gembira. Sudah tiga tahun terakhir aku tidak bertemu dengan nya, kerinduanku cukup amat besar terhadapnya.

Akankah rasa kesepianku ini akan berakhir? Aku harap begitu. 

Aku terus berjalan dengan tatapan kedepan. Sudah hampir tiba, hanya tinggal beberapa langkah untuk ku bertemu dengannya. Tiba tiba saja Senyumanku menghilang, aku tidak melihat apa apa didepan sana. Aku sangat yakin sumber suara itu datang dari arah sini. Mengapa aku tidak melihat dirinya?

Ayah, sebenarnya engkau ada dimana?  Aku begitu kecewa dengan didikanmu. Jangan salahkan aku jika aku berada di jalan yang salah. Jika memang aku salah, tolong temuilah aku dan tegurlah aku dengan ucapan mu yang bijak. Aku tidak berharap banyak, cukup engkau beritahu aku apa yang sudah terjadi. Mengapa Engkau pergi meninggalkan aku dan juga Ibu. Semuanya menghkawatirkan Ayah.

Aku berteriak sekeras mungkin, aku sungguh benci denganNya. Mengapa Ia tidak bertanggung jawab akan hidupku ini. Aku ingin mengakhirinya, sungguh aku ingin. Tidakkah kau lihat wajah anak mu ini yang penuh dengan kemalangan? Apa kau tidak tega? Apa masih belum cukup melihat air mata kesedihanku? Apa aku juga perlu meneteskan darah agar dirimu merasa iba dan kemudian kau kembali? Aku rela melakukannya jika memang Ayah akan kembali nantinya dan akan mengusap semua kesedihanku.

Tiba tiba saja aku merasa pusing. Aku hilang kendali dan kemudian kaki ku terkilir. Aku terjatuh dan terlempar ke dalam jurang yang penuh dengan kikisan batu batu tajam. Tubuhku terguncang hebat, benturan demi benturan tidak bisa aku hindarkan. Aku sudah tidak ada rasa semangat untuk hidup, biarpun tubuhku terlempar atau tertusuk, aku sudah tidak peduli. Maafkan aku. Ini sudah berakhir. Rasa sakitku sudah tidak bisa aku tampung lagi, aku ingin melepaskannya.

Ayah, Ayah, Tolong Sapa panggilan ku ini.
Ayah ! Aku mohon ...
Ayah !

Teriak Ayu dalam Tidurnya. Teriakannya sungguh kencang, membuat Sendy serta peserta lain yang merupakan satu kamarnya terbangun. Sebisa mungkin Sendy membangunkan Ayu dari mimpi yang menurutnya buruk itu.

Tubuh Ayu berkeringat, wajahnya tampak pucat.
   "Kamu gak apa apa?"
Ayu terenyak dan tertegun diam.
Dua diantara peserta lainnya yang berada dikamar menjadi terbangun atas teriakan Ayu barusan. Mereka jengkel disaat mereka sedang pulas tertidur, justru Ayu mengacaukannya dengan membangunkannya. Setelah mereka melihat keberadaan Ayu, mereka malah keheranan. Sebelumnya Ayu memang sudah gugur karena tidak mengikuti pembukaan Audisi, dan Ayu sudah tidak dicantumkan dalam daftar nomor kamar asrama. Saat Ayu dan Sendy memasuki kamar, memang peserta yang lain tidak menyadarinya karena saat itu mereka semua sedang tertidur lelap.

   "Dia siapa? Bukankah di daftar kita hanya berempat saja? Apa kamu membawa teman mu kesini?" Sahutnya dengan nada Judes.
   "Sebelumnya dia memang berada dikamar ini. Jadi jangan tanya mengapa dan memperpanjang situasi saat ini. Kalian kembalilah tidur." Balas Sendy.

Ya, semuanya mendengarkan omongan Sendy. Semua gak mau diambil pusing. Daripada membuat keributan ditengah malam dan mengganggu proses istirahat mereka, lebih baik mengisi energi untuk Audisi besok.




Butiran embun pagi berterbangan menyentuh kulit hingga membuat kulit terasa segar. Shiva berdiri tepat di atas loteng sebuah bangunan gedung yang tingkatnya mencapai 12 lantai. Pemandangan nya sungguh indah, bangunan bangunan rumah terlihat kecil baginya, pandangannya yang luas membuat hati terasa nyaman. Dipejamkannya kedua matanya, merasakan betapa menyegarkannya saat itu.

Kepopuleran membuat semuanya terasa kecil dan mudah. Aku bisa menggenggam segalanya dengan mudah. Walau aku tahu bahwa kepopuleran bukan satu satunya yang wajib dimiliki oleh setiap orang, tetapi ada saatnya semua orang akan membutuhkannya, seperti diriku.

Kebersamaan ... ?
Apakah aku harus membutuhkannya? Orang orang itu (Cleo dan kawan kawan), mereka semua mempunyai hati yang sungguh lembut. Untuk apa mereka mengkhawatirkan orang yang tidak mempunyai apa apa sepertiku. Apakah aku salah dalam menilai orang? tetapi sebelumnya aku sangat yakin bahwa kekayaaan menciptakan kebersamaan, itulah kehidupan yang aku jalani sebelumnya.

Mereka lebih memilih orang orang yang sederajat. Disaat orang 'punya' sedang merasa kesepian, ia memanfaatkan orang 'rendah' yang tidak mempunyai apa apa untuk dijadikan bahan pereda kesepiannya. Setelah mereka puas dan mendapatkan orang yang sederajat dengannya, tanpa basa basi mereka meninggalkan si 'rendah'  dengan sangat dinginnya. Padahal ia tahu, bahwa si 'rendah' lah yang selalu hadir untuk menemani si 'punya' saat dirinya kesepian.

Mereka semua malu. Orang kaya harus bersama dengan yang kaya pula, sedangkan yang miskin harus bersama dengan yang miskin. Itulah dunia yang aku lihat saat ini. Aku hidup sudah belasan tahun lamanya, namun aku masih belum bisa menemukan orang yang benar benar tulus dalam menilai persahabatan. Persahabatan tidak mengenal si kaya dan si miskin, mereka saling berbagi kebersamaan, mereka tidak malu mempunyai teman yang bahkan orang tuanya bekerja sebagai tukang gorengan di sekolah anak nya sendiri. Yang kulihat semuanya minder, semuanya menjauhkannya. Aku menangis melihatnya, dunia ini sungguh mempunyai perbedaan yang kuat.

Aku melihatnya dan aku merasakannya. Akan aku buktikan bahwa pemikiran mereka semua itu salah. Aku sangat tidak suka mereka yang mempermainkan si miskin dengan kekayaannya.
Aku akan membalasnya ...
Aku akan membalasnya ...
Balas dendam satu satunya cara agar mereka mengerti dan memahami apa itu arti persahabatan sesungguhnya.

   "Aku akan membalas mereka semua!" Pekiknya dengan wajah yang berapi api dan mata yang terbuka lebar kuat.

   "Jika kamu ingin membalas dendam kamu harus korbankan dua orang sekaligus." Seru seorang wanita dari balik pintu yang mendengar teriakan serta semua omongan Shiva barusan.
Perlahan Shiva menengok ke arah belakang, ia melihat wanita berpakaian dokter saat itu. "Sudah berapa lama kamu ada disitu?" Tanyanya penasaran.
   "Aku sudah disini sebelum matahari terbit." Sahutnya dengan langkah mendekati Shiva. Wanita itu adalah Mova, ia ditugaskan oleh Ibunya untuk memantau aktivitas saat proses Audisi berlangsung. Takut takut ada yang mengalami gangguan saat proses audisi berlangsung. Entah itu keram otot, depresi, atau bahkan keseleo sekalipun. Seorang Spesialis kedokteran memang dibutuhkan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan saat proses audisi berlangsung.

   "Apa maksud kamu harus mengorbankan dua orang sekaligus?" 
   "Kamu mengganggap dunia ini kejam dan lantas kamu ingin membalasnya. Namun tidak semuanya berpikiran seperti itu. Kamu harus siap mengorbankan dirimu serta musuhmu. Itulah kedua orang yang aku maksud."
   "Berhenti untuk bersikap bijak, kamu tidak mengerti apa yang aku rasakan saat ini--"
   "Jangan berkata seolah olah hanya dirimu yang paling menyedihkan didunia ini. Masih banyak orang orang sepertimu diluar sana dan ingin membalas dendam. Memang benar orang membutuhkan balas dendam agar perasaanya terbalaskan, Namun tidak semua balas dendam itu indah, kamu harus rela mengorbankan dirimu sendiri." Potongnya.
   "Aku tidak mempermasalahkan jika memang aku harus mengorbankan diriku sendiri. Yang aku inginkan hanyalah membuat orang orang itu merasakan kesedihan yang aku rasakan saat ini. Itu saja."
   "Apa alasan mu untuk ikut dalam audisi ini? Mendapatkan kepopuleran? Dan kamu akan memanfaatkan kepopuleran mu itu untuk balas dendam? Seperti itu?" Lantas Mova menepukkan tangannya dengan senyum tipisnya itu.
   "Apa ada yang salah dengan itu semua?" Balik Shiva bertanya.
    "Kepopuleran menciptakan kecemburuan, dengki, tidak senang melihat kelebihan orang lain. Mulai dari situ yang namanya Hater/Pembenci akan mulai menampakkan keberadaannya. Kamu bisa saja akan semakin terluka sebelum dendam mu terbalaskan, dalam proses pembalasan menciptakan atau menambahkan dampak buruk lainnya. Itu semua hanya akan menambah luka yang kamu rasakan menyebar luas. Perasaan luka yang tidak bisa ditampung lagi menyebabkan gangguan jiwa atau lebih tepatnya depresi, rasa depresi yang berlebihan mendorong mu untuk melakukan tindakan bodoh, yaitu dengan mengakhiri hidupmu sendiri. Berhentilah dari sekarang, tindakan mu hanya akan membuat keadaan semakin memburuk."

Shiva tertawa dengan pandangan rendah mendengar itu semua. Tekadnya sudah sangat matang dan kuat, ia tidak mungkin berhenti saja dan mendengar semua omongan orang yang tidak ia kenalnya.

   "Berhentilah bersikap seperti guru. Aku tidak butuh nasehat serta pendapatmu." Itulah bentakan terakhir yang diucapkan Shiva, ia pergi meninggalkan Mova menuju kamar asrama.



Dua jam menuju proses audisi tahap pertama dimulai. Para peserta terlihat sibuk mempersiapkannya. Mereka semua serentak membersihkan diri, setelah itu mereka sarapan bersama sama di satu tempat yang sama, percis seperti sebuah asrama. Ruangan makan yang luas kini mulai dipadati para peserta, semuannya rapih, tidak berdesak desakan, pelayanan nya pun sungguh ramah dan tertib. Saat itu Ayu sedang memilih milih makanan, setelah selesai ia berjalan mencari cari kursi yang belum dihuni. Tidak sengaja saat matanya menjelajah ia melihat Dhike sepuluh langkah dari tempatnya berdiri. Ayu hanya memandangnya dari kejauhan, ia tidak berani mendekatinya. Namun disisi lain Ayu ingin sekali menyampur dengannya untuk makan bersama. Tetap saja Ayu masih tidak berani menemuinya, dikalahkannya rasa keinginannya itu, ia lebih memilih kursi kosong yang lain.

Namun saat Ayu berjalan menuju kursi tempat pilihannya, Melody yang sedang mengambil makanan tidak sengaja melihat keberadaan Ayu, lantas tiba tiba saja Melody memanggilnya.

   "Ayu!" Pekik nya.
Ayu menoleh, kemudian ia tersenyum setelah tau bahwa yang memanggilnya adalah Melody.
   "Kakak ..."
   "Ayo makan sama sama." Ajak nya sambil meraih pergelangan tangan Ayu.
Wajah Ayu seketika itu memerah, Melody membawa Ayu dengan menarik lengan nya menuju tempat yang di huni oleh Dhike. Ayu terlihat gugup dan gelisah saat melangkahkan kakinya. Melody memang sengaja mengajaknya makan bersama agar dirinya bertemu dengan Dhike setelah sebelumnya Dhike mengkhawatirkannya terus menerus. Mungkin dengan dipertemukannya mereka berdua, perasaan gusar diantara mereka bisa memudar, pikir Melody.

Sesampainya ditempat Dhike, suasana menjadi hening. Diantara Dhike atau Ayu, keduanya masih belum mengucapkan sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Mereka berdua saling membuang muka. Perlahan Ayu mulai bertumpu pada kursi tepat disebelah Dhike berada. Tidak ada obrolan saat itu, semuanya mengunyah makanan nya masing masing.

   "Makannya pelan pelan." Tegur Dhike. Walau Dhike berkata tanpa menoleh pada siapapun, namun Melody mengerti bahwa ucapannya barusan itu ditujukan pada Ayu. 
   "Kakak juga." Sahutnya singkat dengan wajah yang memerah.
Melody tersenyum geli melihat tingkah mereka yang malu malu, seperti orang yang baru kenal saja.
   "Lalu, nasehat untuk ku mana? Aku juga ingin mendengar nya dari mulut kalian. Bagaimana kalau aku keselek nanti? Apa kalian ingin bertanggung jawab?" Gurau Melody.
   "Kamu itu kan sudah dewasa, Mel. Kamu udah bisa bedain mana yang benar dan mana yang salah." Sahut Dhike dengan tawanya. Ayu pun ikut tertawa tipis dengan malu nya.

Tiba tiba saja Sendy muncul dan langsung ikut menyampur. Wajahnya biasa saja, tidak ada rasa minder ataupun malu malu. 
   "Aku mencari mu kemana mana, ternyata kamu ada disini." Ucap Sendy pada Ayu.
   "Maaf, kak. Aku jadi lupa kalo sebelumnya kakak lagi nungguin aku ditempat lain." Sahutnya dengan perasaan tidak enak.
Sendy hanya tersenyum. "Gak apa apa. Mungkin lebih baik kita makan bersama seperti ini agar rasa kesalapahaman diantara kita akan menghilang." Sindir nya dengan mata melirik ke arah Dhike.

Wajah Dhike berubah masam melihat kehadiran Sendy. "Mari kita sama sama berjuang dalam Audisi ini."
Hati Ayu menjadi sungguh gelisah. Ia masih memikirkan dirinya yang telah gugur sebelumnya. Ayu masih ragu apakah dirinya masih bisa mengikuti Audisi tersebut. Sebelumnya Ayu memang ingin menyerah, namun Sendy memaksanya untuk terus ikut dan selalu mengikuti semua omongan Sendy.

   "Jika memang keputusan yang kamu buat sudah matang, maka lanjutkanlah sampai akhir, sampai kamu menemukan jawaban atas apa tindakan yang kamu lakukan. Aku tidak benci ataupun dendam, aku hanya takut jika sampai aku tidak bisa membangunkanmu saat dirimu jatuh. Itu saja yang bisa aku ucapkan padamu." Tegurnya pada Ayu.
   "Sudah, sudah. Kamu jangan terlalu keras menekanya." Bisik Melody pada Dhike. Ia tidak tega Dhike terus menekan Ayu.

Ayu hanya bisa menunduk mencerna perkataan Dhike barusan.
   "Kamu tidak usah khawatir, kalau dia tidak bisa membangunkanmu, maka aku yang akan melakukannya." Potong Sendy sambil menggenggam tangan Ayu.



Bersambung ...

Writer : Chikafusa Chikanatsu
Terima Kasih Yang Masih Setia Mengikuti Kisah Novel Ini.
Ayo Dukung terus Novel ini, Follow kami di Twitter @JKT48fanfiction
Jika kalian mempunyai Pertanyaan bisa kirimkan ke alamat Email Parahesitisme@gmail.com
Copyright © Experience Of Jewe

0 comments:

Posting Komentar