Aku berlari mengejar mimpiku
Semangat ini aku hidupkan didepan teman teman
Mengajaknya untuk bernyanyi bersama ♪
Seruan indah serta gemulai menyentak keluar
Hentakan kaki menari nari indah dengan sendirinya
Perasaan gembira muncul dari hati yang terdalam ♪
Semuanya bernyanyi, Semuanya Menari
Buatlah hari ini lebih baik dari hari kemarin
Tetap tersenyum dan melompat lompat gembira ♪
Semuanya Menari !
Dan tertawa Senang ... ~ ~ ~ ♫♫♫
Itulah sepotongan lirik yang Melody dan Dhike nyanyikan saat Audisi. Lirik tersebut dibuat oleh teman nya sendiri, yaitu Stella. Dalam hal menari ataupun pembuat lirik memang Stella mahir melakukannya. Suara Melody terdengar sungguh sedap didengar, walaupun suara Dhike tidak begitu halus, namun Dance nya yang energik mampu menutupi kekurangannya.
"Siapa namamu?" Tanya Juri yang memandang Dhike dari tumpuannya itu.
"Rezky Wiranti Dhike." Sahutnya dengan rasa gugup.
Juri tersebut tahu bahwa Suara Dhike memang masih kurang dari yang diharapkan. Namun siapapun bisa bernyanyi dengan lembut asal mengetahui teknik teknik nya, pikir juri.
"Apa kamu tegang? Tegang merupakan hal yang terburuk dalam menyanyi. Itu akan mempengaruhi kualitas suara yang dikeluarkan. Apa kamu tahu hal hal penting yang perlu diperhatikan saat bernyayi?"
Dhike menggangguk. "Aku pernah membacanya."
"Coba sebutkan." Balasnya.
Dhike terdiam sambil memikirkan kembali apa yang pernah ia baca sebelumnya. Kemudian ia mengingatnya.
"Teknik Pernafasan, intonasi, irama, artikulasi. Dan ... Hanya itu yang aku ingat, pak."
"Baiklah. Dalam penguasaan Notasi dan juga tempo aku rasa kamu sudah menguasainya. Hal yang terpenting dalam membuat suara yang merdu adalah teknik Vibrasi. Teknik ini bisa di artikan sebagai suara yang bergetar dan bergelombang. Vibrasi ini merupakan tahap finishing, fungsinya agar suara yang dihasilkan lebih merdu dan indah. Hanya itu saja yang perlu aku ucapkan padamu."
***
Sendy tak berhasil memohon pada panitia tentang permasalahan Ayu yang tidak hadir saat pembukaan, sebab peraturan adalah sesuatu yang harus dijalankan dan dipatuhi, kata salah satu panitia yang ada dihadapannya. Mereka sedang berada diruang kepanitiaan. Sendy begitu jengkel dan tidak menyetujui perkataannya. Sedangkan Ayu disebelahnya hanya bisa terdiam mengharapkannya.
"Apa bapak tidak bisa memberinya keringanan? Saat itu ia mengalami kecelakaan yang membuatnya harus dirawat seharian. Itu adalah hal yang menurutku sangat ganjil, ia melakukannya bukan karena ia sengaja, melainkan itu sebuah kecelakaan."
"Aku minta maaf. Tetap aku tidak bisa menerimanya, peraturan adalah peraturan." Sahutnya dengan nada tidak peduli.
Wajah Sendy sungguh kusut, ia tidak tau harus bagaimana.
"Aku gak apa apa. Mungkin lain kali aku bisa mengikutinya." Sahut Ayu dengan kecewanya.
Sendy menarik nafas kuat sanking kesalnya. Dan kemudian ia menatap kuat panitia yang ada dihadapannya, seperti ada sesuatu yang ingin diucapkan Sendy, namun dalam keadaan yang membuatnya terpojok.
"Dia melakukannya Pagi, Siang dan Malam. Sebelum berangkat sekolah ia selalu berlatih hanya untuk mempersiapkan dirinya dalam audisi ini. Ia mengalami luka beberapa kali disetiap latihannya. Saat dirinya mulai terpojok dan tidak tau harus meminta bantuan pada siapa, ia menangis. Luka yang ia dapat dari latihannya mungkin akan membekas dalam tubuhnya. Ia mempunyai semangat yang berkobar kobar, semangatnya mampu mengalahkan rasa sakit yang ia rasakan. Apa bapak hanya mencari orang yang hanya mematuhi peraturan tanpa ada sebuah kualitas atau bakat? Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri-"
"Sudah cukup!" Bentak panitia tersebut.
Ayu mendadak kaget, berdebar debar jantungnya. Ia memikirkan ucapan Sendy barusan, bagaimana bisa Sendy mengetahui semua aktivitas yang dirinya lakukan seharian. Didalam hati Sendy pun ia merasa tidak tenang, pasti Ayu memikirkan dirinya yang tiba tiba paham akan hidup yang dijalaninya.
"Saya mengerti kerja keras kalian dalam Audisi ini, namun Peraturan merupakan pedoman agar manusia hidup tertib. Jika tidak terdapat peraturan, manusia bisa bertindak sewenang-wenang, tanpa kendali, dan sulit diatur, seperti sikap kalian saat ini."
"Namun situasi yang sekarang ini berbeda. Memang benar jika tidak ada peraturan manusia bisa bertindak sewenang wenang, namun apakah setelah bapak mau mempertimbangkan dan mau menerima dia, lantas dampak seperti apa yang bisa muncul? Sewenang wenang? Ini merupakan hal yang sedikit berbeda." Balik Protes Sendy.
Panitia tersebut sudah kepalang pusing mendengar ocehan Sendy saat itu. Disaat kerjaan menumpuk, malah ada yang meminta tolong dengan keputusan yang sulit, Ia tidak mau ambil pusing, toh ada benarnya juga perkataan Sendy. Ini sedikit berbeda dari kata arti peraturan yang sebenarnya. Lantas Panitia itu mengambil nama nama absen dimeja dekat ia duduk dengan wajah mau tidak mau, kemudian absen tersebut ia berikan pada Ayu.
"Kalian memang keras kepala. Cepat tanda tangan disini." Ucapnya sambil menyodorkan buku absen pada Ayu.
Ayu tentu merasa puas dan senang, ia tersenyum dan segera menandatangani lembar absen dengan nama dirinya. Disampingnya Sendy menghela nafas lega.
"Kamu berada di nomor delapan ratus tiga puluh empat. Persiapkan dirimu dengan baik. Dan satu lagi, jika memang kamu sudah bekerja keras dalam menyambut audisi ini, maka lulus lah, Dan membuat bahagia orang yang ada disebelah mu (Sendy)." Tambahnya. Bagaimanapun, Sendy lah yang sudah berhasil memohon pada dirinya.
Ayu tersenyum memandang panitia yang ada dihadapannya. "Terima kasih banyak, aku akan berusaha."
Kamar sebuah rumah sakit, Sore hari. Untunglah nyawa Cindy berhasil diselamatkan dan keadaannya mulai membaik setelah Delima dan beby menunggunya, namun tetap saja Cindy masih belum siuman. Keduanya berhati lapang melihat keadaan Cindy yang tergeletak di kasur tanpa ada kehidupan, keduanya tertegun. Suasanya sungguh hening.
Beby bangkit dari tumpuannya dan kemudian ia berjalan mendekati Cindy, diraihnya tangan Cindy dengan lembut. Terlintas kenangan kenangan saat mereka berdua bersama.
Tangan ini, sudah banyak membantuku saat diriku dalam bahaya. Saat diriku merasa susah, tangan ini selalu hadir dan siap mengulurkannya padaku. Betapa senangnya ku melihat dirinya yang selalu merangkulku.
Tujuh tahun yang lalu ...
Aku sedang mengendarai sepeda ditengah kota yang sungguh sibuk menuju sebuah toko untuk membeli sesuatu. Waktu itu aku masih sangat kecil dan lugu. Namun ditengah perjalanan, ban sepedaku menyentuh betu besar hingga diriku terjatuh dan membuat luka dikulitku. Yang hanya bisa ku lakukan hanya menangis menunggu Ibu datang, namun sepertinya itu mustahil. Ialah yang pertama kali mengelap air mataku, ia merangkul ku hingga aku berada diposisi yang nyaman.
Setelah itu ia berlari menuju toko untuk membeli kapas dan juga rivanol. Aku tidak mengenalnya, ia tiba tiba saja mengompres luka ku. Sedangkan aku, yang aku bisa lakukan hanya menangisi kesakitan itu. Aku melihat sosok kedewasaan dalam dirinya.
Yang lebih lucunya lagi, setelah ia selesai membersihkan luka ku, ia berkata "Jangan nangis lagi ya, Adik kecil." Ucapnya dengan senyum yang lebar. Melihat senyumnya hati ini terasa terhipnotis untuk segera mengikuti perkataannya. Padahal kami seumuran, namun berani beraninya ia berkata 'adik kecil' padaku, aku mengingat kalimat itu hingga kini. Aku tidak bisa menahan rasa tawaku jika mengingat kalimat itu. Ya, Cindy, Aku memang pantas menerima kalimat itu, namun jika orang lain yang berkata seperti itu aku tidak akan terima, kecuali dirimulah yang bilang begitu. Aku sama sekali tidak kesal jika kalimat itu yang muncul dari mulutmu sendiri.
_____
Beby terisak menatap Cindy yang terbaring dihadapannya.
"Disaat dirimu terbaring kayak gini, aku tidak bisa apa apa. Yang bisa kulakukan hanya menangisi keadaanmu. Aku memang gak berguna."
Mendengar keluhan Beby yang terisak membuat Delima merasa Iba. Ia meraih bahu Beby untuk segera menenangkannya.
"Sudah jangan menangis lagi. Apa yang bisa dilakukan mu saat ini? Lagipula Cindy sudah melewati masa kritis nya. Setelah ia sadar nanti, kamu bisa membalasnya dengan merawatnya dengan baik."
Perkataan Delima memang ada benarnya, tidak ada yang bisa dilakukan Beby saat ini. Beby menoleh ke arahnya sambil menggangguk lesu.
Bikini yang dikenakan Shiva terlalu menerawang, hingga sampai seluruh lekukan tubuhnya tampak jelas, termasuk payudaranya. Ia juga tidak lupa memberi warna merah yang mencolok pada bibirnya. Ditengah irama musik ia meliuk liuk menari dan menyanyi. Gerakannya suungguh erotis, mampu merangsang nafsu berahi bagi para pria yang melihatnya.
Baru kali ini Shiva berani melakukan hal tersebut. Rasa keputusasaan nya mampu menutupi rasa malunya, ia bagaikan hidup di dua dunia. Saat dirumah ia bersikap sopan dan hormat, namun kehidupan di luar nya justru terbalik.
Bagi para pria justru akan terhibur dengan penampilannya, namun bagi yang wanita akan merasa tersaingin dengan keseksiannya. Termasuk Juri wanita yang memandanginya dengan sedikit perasaan jengkel. Bagi Shiva, kehidupan diluar menurutnya penuh dengan sandiwara, ia tidak mau percaya pada siapapun kecuali dirinya. Setelah apa yang ia alami seumur hidupnya, ia dapat menilai manusia disekelilingnya, bahwa manusia tidak ada yang benar benar lurus hati.
Aku berani melakukannya karena memang ini hanya sebuah sandiwara. Aku harap aku bisa bertahan didunia luar ini. Dan Aku rasa aku mulai terbiasa hidup ganda disini, aku tak peduli apa perkataan orang tentang diriku ini.
"Sudah cukup!" Bentak seorang juri wanita.
Shiva menuruti perkataannya dan menghentikan tariannya. Akibatnya, suasana yang ditimbulkan menjadi mengapung, serba salah. Timbul wajah wajah kekecewaan dari para Juri pria setelah juri wanita tersebut menghentikan tarian Shiva.
"Jadi ini tujuanmu, membuat para Juri disebelah ku merasa kagum dengan penampilanmu yang serba tipis dan ketat itu? Ini bukan tempat diskotik dimana semua orang dengan mudahnya menampakkan tubuhnya dengan bebas."
Shiva hanya bisa menunjukkan senyum sinisnya pada Juri wanita barusan. "Kalau begitu anda menilai ku bukan dari segi suara atau tarianku, melainkan anda menilaiku hanya dari sebuah kostum yang ku kenakan ini. benar begitu? Hanya andalah juri yang memandangku dengan wajah yang dongkol, dan hanya andalah satu satunya juri wanita yang ada diruangan ini. Berarti sudah jelas, bahwa anda merasa tersaingin dengan apa yang kupunya."
Kuping rasanya sungguh panas mendengar perkataan Shiva barusan. Apalagi ucapan barusan ditujukan oleh seorang Juri yang mempunyai kekuasaan dengan ucapan ucapan rendah.
"Tutup mulutmu! Apa kamu tidak tahu kamu berhadapan pada siapa saat ini? Aku yang mempunyai kekuasaan untuk menilai dan memutuskan lulus atau tidaknya peserta Audisi. Cam kan itu baik baik."
"Lagi lagi anda menunjukkan sikap yang tidak seharusnya ada pada diri seorang Juri. Jadi anda akan memakai kekuasaan untuk menilai ku? Dimana rasa bijak mu itu?" Sahutnya.
Lantas Juri wanita itu memukul meja dengan kerasnya, ia merasa direndahkan oleh orang rendahan yang ada dihadapannya. Suasanya semakin memanas saja. Percakapan nya sudah mulai melenceng dari jalur yang sebenarnya.
Suasana yang memanas membuat salah seorang juri pria berusaha mengeluarkan pendapatnya dan juga menenangkan keduanya.
"Sudah sudah. Ini bukan saatnya beradu argumen. Bertengkar seperti ini hanya akan membuat citra kami memburuk. Sebelumnya kami juga meminta maaf atas kejadian ini. Dan aku juga tidak bisa membenarkan keduanya. Sejujurnya, Wajar saja jika kami para pria sedikit terbawa suasana, ya katakanlah bersifat merangsang jika melihatnya. Namun, kami juga mempunyai kewajiban yang adil yang memang harus dilakukan mau gak mau dari seorang Juri. Jadi, saya akan menilai berdasarkan kenyataan atau kebenaran dengan apa yang saya lihat dari peserta ini. dalam penguasaan artikulasi (Pengucapan kata) Aku rasa kamu sudah bisa menguasainya, cara mu mengucapkan lirik sudah bagus dan jelas, kamu sudah dapat menjiwai lirik tersebut. Namun, saya mempunyai kritik untukmu. Memang benar tidak ada yang melarang jika peserta mamakai kostum yang disukainya atau yang menjadi daya tariknya. Tetapi, kostum yang kamu kenakan itu tidak terlalu cocok digunakan saat ini. Kebanyakan dari kami menilai peserta itu hanya dari sebuah motivasi yang bisa dikatakan masuk akal, teori, pengucapan suara dan juga gerakan tarian jika memang ada. Aku tidak melarang mu untuk memakai kostum itu jika memang seandainya kamu lulus dalam audisi ini, atau mungkin pentas sewaktu waktu, namun aku menyarankanmu untuk tidak memakainya saat ini, ya karena memang tujuan utama kami bukan menilai suatu pakaian yang dikenakan para peserta. Apa kamu sudah mengerti maksud ucapanku?"
Shiva menunduk dan kemudian perlahan ia menggangguk dengan rasa sedikit kecewa. Ia takut kostumnya akan mengurangi nilai pentasnya saat itu.
"Kamu tidak usah khawatir, kami tidak akan mengurangi poin mu saat ini mengenai kostum yang kamu kenakan itu. Kami akan menilaimu secara Bijak dan Adil. Kamu boleh kembali." Tambahnya.
Mendengarnya Shiva merasa Lega, ia berjalan menuju pintu keluar.
Sendy telah selesai membuat Ayu untuk ikut kembali dalam Audisi, ia merasa sungguh lega, Karena dengan begitu Sendy tidak perlu memikirkan kembali caranya untuk mengambil hati Ayu. Ia kini berada dibelakang gedung dengan jaket kulit berwarna hitam dan juga tas berisi beberapa peralatan yang tertempel ditubuhnya. Sekitar pukul lima sore, ia berencana menemui majikan yang telah memberinya sebuah misi penyelidikan pada dirinya.
Sebelum bertemu dengan majikannya, ada hal yang perlu Sendy waspadai saat itu juga, yakni CCTV yang tertempel dibangunan bangunan belakang gedung. Demi keamanan, Tentu para peserta yang mengikuti Audisi tidak bisa seenaknya saja keluar masuk gedung, mereka yang ingin keluar harus meminta ijin atau mungkin ditemani oleh beberapa pengawas. Sungguh menjengkelkan peraturan yang sudah diterapkan oleh panitia.
Lagi lagi Sendy mengeluarkan senjata andalannya, yaitu Netbook nya. Setelah Netbook menyala, ia berusaha masuk ke server ruang kendali CCTV gedung. Ada puluhan gambar yang memantau aktivitas gedung dari berbagai sudut, pertama tama yang harus dilakukan Sendy adalah ia harus mengetahui CCTV mana yang berada tepat didekatnya. Setelah menemukannya, ia merekam suasana disana yang tidak terlihat siapa siapa. Setelah itu, ia menimpanya ke ruang kontrol server CCTV yang menjadi targetnya, seolah olah CCTV tersebut sedang memantau, padahal CCTV itu hanya berisi rekaman yang sebelumnya Sendy rekam suasannya.
Setelah selesai Hacking CCTV, ia mengeluarkan tali Carmentel lengkap dengan Carabiner (Cincin kait yg terbuat dari alumunium) yang terhubung di pinggangnya menggunakan harnest. Ia memanjat tembok yang tingginya mencapai delapan meter dari daratan.
Dibalik tembok atau lebih tepatnya diluar kawasan gedung sudah ada seorang pria gagah yang menunggunya didalam mobil sedan mewah. Pria itu sudah tidak asing lagi, Sendy pernah bertemu dengannya disebuah Hotel mewah saat tengah malam. Tanpa basa basi Sendy masuk kedalam mobil untuk mengobrol dengannya.
"Informasi apa yang sudah kamu dapatkan dari anak itu?" Tanyanya dengan nada tegas.
"Aku masih belum mendapatkan informasi penting darinya, aku hanya baru mengetahui sedikit dari kehidupannya. Namun, hubungan kami sudah cukup dekat, Dengan begitu mungkin kedepannya aku akan lebih mudah mengetahui latar belakang semua keluarganya. Ini hanya tinggal menunggu waktu saja." Sahutnya.
"Saya percayakan semuanya padamu. Namun hanya tinggal tiga minggu saja untuk mu menyelesaikannya. Dengan cara apa atau teori seperti apa, Saya tidak peduli dan Saya tidak akan ikut campur. Hanya saja Saya butuh ketepatan waktu untukmu menuntaskannya."
"Baik, Aku mengerti." Patuhnya.
Bersambung ...
Writer : Chikafusa Chikanatsu
Terima Kasih Yang Masih Setia Mengikuti Kisah Novel Ini.
Ayo Dukung terus Novel ini, Follow kami di Twitter @JKT48fanfiction
Jika kalian mempunyai Pertanyaan bisa kirimkan ke alamat Email Parahesitisme@gmail.com
Copyright © Experience Of Jewel
0 comments:
Posting Komentar