Senin, 22 April 2013

JKT48 NOVEL #2 (SEASON II)


Pagi hari, sekitar pukul enam. Dikursi pinggir jalan Rica duduk dengan kepala memandang jalan raya. Saat itu ia sedang menunggu temannya, yaitu Ronald. Disebelahnya terdapat Tas besar milik Rica, terlihat sudah seperti mau piknik. Didalam tas sudah terisi Makanan kering dan juga beberapa pakaian. Jika seseorang melihat penampilannya, pasti akan menebak dia akan pergi piknik.

"Whooa, Sepagi ini jalan raya sudah dilintasi mobil mobil mewah. Pasti isi dalam mobil tersebut adalah orang orang sukses. Sepagi ini mereka sudah berangkat kerja. Sedangkan aku, aku masih kalah dengan orang orang sukses itu. Aku biasa bangun jam enam pagi. Orang kaya yang sudah banyak uangnya saja bisa bangun pagi dan langsung berangkat kerja. Apa mungkin ini yang disebut Yang kaya semakin kaya, dan yang miskin akan semakin miskin? Ah, masa aku percaya dengan kalimat itu, aku gak akan percaya dan akan mengubah yang miskin menjadi kaya, bahkan akan bisa melebihi yang Kaya sekalipun."

Bagi Rica, Itu adalah sebuah tantangan. Tantangan dimana ia harus mengubah kehidupanya ke jalan yang lebih baik. Dia sangat menikmatinya. Ia mempunyai angan angan yang tinggi beserta dengan temannya, yaitu Ronald. Sesekali ia sering sekali berkhayal bahwa dirinya adalah seorang aktris.

Huh, Aktingku tidak begitu buruk. Pak Sutradara, Bisakah Bapak menilai Aktingku ini?
Akting apapun aku rasa aku bisa melakukanya.
Apa Bapak ingin melihat Aku menangis? atau mungkin tertawa?

Aku begitu penasaran dengan suasana seperti itu. Aku ingin bersama sama dengan para kru, melakukan adegan adegan dalam pengambilan gambar. Aku ingin berbaur dengan para aktor atau aktris lainnya. Dan dikenal banyak orang ...

"Ca? Kenapa melamun? kamu lagi mikirin apa?" Tanya Ronald yang muncul dari sisinya.
"Bukan apa apa. Aku gak salah kan jika aku berangan angan tentang impianku?"
"Tentu. Siapa yang akan melarangmu untuk berangan angan."
Rica menjawab dengan sedikit rasa kecewa. "Sepertinya ada."
"Siapa? siapa yang sudah melarang mu untuk berangan?"
"Kehidupanku yang sekarang ... Kenyataanya, Aku hanyalah Gadis yang gak mempunyai apa apa. Gadis yang terus mengeluh pada kehidupan yang aku jalani ini."
"Itu hanya sebuah kehidupan yang tertunda. Kehidupan dimana kamu harus berjuang melewatinya dan menggapainya."
"Entahlah, apa aku bisa melewatinya. Bagaimana jika aku terjatuh dan gak bisa bangun kembali?"

Ronald tahu, Rica sangat tidak percaya diri saat itu. Ronald berusaha untuk bisa menguatkan hatinya.

"Aku yang akan membangunkanmu. Kita jangan menyerah sebelum angan angan kita tercapai."

Kemudian Ronald mengeluarkan sebuah kalung dari dalam saku jaketnya. "Aku sudah membawa apa yang kamu minta. Tada! kalung keberuntungan mu."
Rica tersenyum sembari mengambil kalung dari tangan Ronald. "Makasih, ya. Ini kalung pemberian Ibu ku. Aku akan memakainya."
"Semangatlah! Ini merupakan awal yang bagus. Kamu harus berjuang untuk bisa lolos dalam audisi itu. Apa yang kamu inginkan?"
"Lolos dalam Audisi!" Jawab Rica dengan penuh semangat
"Setelah itu kamu akan mendapatkan apa?"
"Sebuah pengalaman sebagai batu loncatan menuju Impian sebenarnya."
"Bagus, Setelah itu kamu mau apa?"
"Terjun kedunia Entertainment."
"Lalu?"
"Berakting ..."

Mereka berdua tertawa. Disela Tawa Rica sempat meneteskan Air mata. Ia terharu mempunyai teman yang selalu mendukung nya, Yaitu Ronald.

"Mengucapkan itu semua memang terbilang mudah, bukan? Andai apa yang kita ucapkan dapat terkabul begitu saja."
"Hei, Hei Hei. lagi lagi kamu berandai. Sudah Jam berapa ini?" Kata Ronald sambil memandang jam di tangannya.
"Oya, Ca. Jadi benar kamu akan tinggal disebuah gedung mewah selama 3 hari?"

Rica menggangguk.

"Untuk proses audisi saja sampai selama itu. Pasti pesertanya sangat banyak. Kamu akan tinggal disebuah gedung bersama dengan peserta lain, apa itu seperti sebuah asrama? wah, itu pasti sangat menyenangkan."
Rica menghela nafas dan menundukkan kepalanya. "Memang terlihat menyenangkan, tetapi aku sangat gugup. Lagipula, disana pasti penuh dengan air mata kesedihan. Dimana kita akan mendapat teman baru selama 3 hari itu, dan pasti gak akan lama untuk bersama. Satu diantara kita akan tumbang."
"Kalau memang begitu, aku akan berdoa yang terbaik untukmu. Semangat! Ayo kita berangkat." Ucap Ronald.
"Tunggu dulu, Bisa kamu bawakan tas aku?" Ucap Manja Rica sambil memberikan Tas yang ia gendong.
"Iya, Iya..."



Sebuah Gedung tempat Audisi berlangsung, Para peserta sudah memadati sekeliling Gedung. Masih ada waktu tiga jam saat Pembukaan Audisi. Hari itu cuaca mendung. Seorang wanita berjaket tebal sudah mangkir lengkap dengan tas barang bawaan nya. Ia berteduh dibawah Pohon yang lebat daunya, Takut takut jika hujan turun akan mengurangi terkena siraman air. Dia Adalah Shiva. Disaat udara dingin dan mungkin akan turun hujan, Shiva lebih memilih berlindung dibawah pohon dibandingkan harus menyampur dengan peserta lain yang berlindung dibawah Atap.

Tak apa ... Kuatkan Dirimu, Va. Aku tidak perlu teman bicara.
Dan aku tidak butuh sorakan penyemangat yang diucapkan oleh rekan ku sendiri.
Aku lebih suka seperti ini.

Itulah kalimat yang terus diucapkan Shiva saat melihat peserta lain berkumpul bersama disekelilingnya.

Tidak lama kemudian hujan turun menyirami kota Jakarta pagi itu. Walau sudah memakai jaket, Udara yang ditimbulkan masih terbilang sungguh dingin, Hingga menusuk Kulit. Shiva sedikit menggigil dan ia mengambil payung dari dalam tasnya untuk melindungi barang barang nya.

Hujan sudah turun, Apakah ini akan menjadi awal yang baik untukku?
Aku sudah muak dengan kehidupan yang aku alami ini.
Ya, aku mengikuti Audisi ini agar aku terlihat sebagai layaknya manusia lainnya. 
Yang selalu di anggap dan di hormati ...
Walau ini bukan merupakan impianku, tapi aku bisa mulai dari sini.
Dan memanfaatkan kesempatan ini.

Sebuah mobil yang dikendari oleh sopir milik Ve tiba dan terparkir tepat didepan Shiva meneduh. Sopir itu telah diberitahukan oleh seorang satpam gedung agar tidak masuk kedalam halaman gedung dikarenan tidak adanya lahan parkir yang kosong, sudah terlalu padat. Didalam mobil sudah ada tiga orang peserta, Ve, Melody serta Dhike. Tidak baik rasanya jika berangkat sendiri dengan mobil yang masih ada ruang untuk duduk, pikir Ve. Maka dari itu Ve mengajak teman nya pula.

Ve menggigit gigit bibirnya, ia merasa resah karena harus menunggu diluar gedung, ditambah hujan yang turun saat itu. Ia ingin sekali masuk kedalam dan melihat lihat suasana disekitar gedung.

"Hadu, kenapa Hujannya gak berenti berenti. Apa kalian mau masuk kedalam? kita bisa pake payung." Tanya Ve.
"Kita tunggu disini aja, deh. Lagipula masih ada waktu banyak, kan?" Jawab Melody.

Di ujung kursi Dhike membuka setengah kaca mobil agar pandangan nya jelas, ia sedang melihat lihat suasana sekitar gedung. Kemudian pandangan nya terhenti pada Shiva.

"Eh, eh apa orang itu juga termasuk peserta Audisi?"
"Kayaknya sih iya, Key. Liat aja ditangan kanan nya ia menggenggam kartu peserta Audisi."
"Kasian ya, Mel. Diluar dingin banget, kenapa dia meneduh disitu."

Tidak sengaja pandangan Shiva pun berhenti pada Dhike. Mereka saling memandang.

Kenapa wanita yang didalam mobil itu memandangiku?
Aku mengingat pandangan itu, pandangan itu sama seperti aku memandangi foto orang tua ku.
Dia belum mengenalku tetapi dia sudah mengasihaniku.
Hati manusia memang sungguh lemah.

Dari sisi sebelah kanan sebuah mobil melaju dengan sangat cepat, Air yang tergenang dijalan menjadi buyar tersapu oleh ban mobil yang berputar kencang. Cipratan air tidak bisa dihindarkan oleh Shiva, sebagian baju hingga wajah nya terkena Noda cipratan nya. Shiva sungguh terkejut dan kesal dalam hati.

Benar, siramlah aku. Wanita rendahan yang tidak mempunyai apa apa memang pantas menerima nya.  Tetapi, Tunggu saja ...
Tunggu sampai aku bisa seperti kalian.

Dhike semakin tidak tega melihat Shiva tersirami oleh air genangan. ia menoleh pada Ve.

"Ve, boleh aku pinjam payung mu?"
"Boleh, memangnya kamu mau kemana?" Tanya Ve sambil memberikan payung miliknya.
"Sebentar saja."

Dhike membuka pintu mobil dan berjalan menghampiri Shiva.

"Gak salah lagi, Ikey pasti nyamperin Gadis diseberang sana. Hatinya begitu lemah, aku takut karena lemahnya nanti akan mudah dipermainkan orang. Benar kan, Mel?"
"Tapi memang gak ada salahnya jika mempunyai hati yang lembut seperti Ikey. Aku memikirkan bagaimana jika aku berada diposisi gadis itu? aku pasti merasa seolah olah dunia telah membenciku. Yang dibutuhkan gadis itu saat ini memang seseorang seperti Ikey."

Dhike mengambil Tisu dari dalam sakunya dan menyodorkannya pada Shiva. "Kamu gak apa apa? Kenapa kamu diem disini?"
"Aku gak apa apa dan simpan saja Tisu mu itu, Jangan perdulikan aku. Aku pantas menerimanya." Cuek Shiva.

Dhike sedikit heran mendengar balasan shiva. Padahal Niat Dhike sungguh baik. Melihat situasi Shiva mengingatkan Dhike pada Ayu. Hatinya sungguh tersentuh.

"Aku gak mengerti dengan hati manusia. Aku ... Aku juga mempunyai teman dan sudah aku anggap seperti keluarga ku sendiri. Ia sungguh menderita. Ia selalu mengeluh tentang kehidupan yang ia alami. Ia ingin mempunyai banyak teman dan berusaha bersikap baik pada semua nya. Ia juga ingin diakui dan diperlakukan sama seperti yang lainnya. Ayahnya menghilang begitu saja entah kemana tanpa memberi salam perpisahan. Ia selalu di ejek bahwa dia adalah anak buangan dan Ayahnya menikah lagi. Bagaimana ... Bagaimana jika-"
"Jika aku berada diposisi dia? itu yang kamu maksud? Didunia ini, gak ada yang bisa memahami hati seseorang sepenuhnya. Uanglah yang paling berkuasa, uanglah yang bisa mengubah hati manusia menjadi jahat. Tanpa ada uang, rasa kesepian lah yang sering ditemui." Potong Shiva.
"Bukan itu yang aku maksud. Disaat seseorang mulai merasa kesepian, ia mencoba dan berjuang untuk menghilangkan rasa kesepiannya itu. Itulah yang dilakukan temanku saat ini."
"Dengan merendahkan diri sendiri? atau mungkin dengan berjusud memohon agar semua mengasihaninya? itukah yang dilakukan teman mu? Aku rasa teman mu itu cukup rendahan dan sangat lemah."

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Shiva membuat Dhike sungguh marah. Ucapanya memang terdengar sungguh kasar. Apalagi ia telah merendahkan teman yang sangat ia sayangi. Tisu yang tidak jadi diberikan pada Shiva ia genggam kuat kuat. Dhike memutuskan untuk kembali berjalan menuju mobil. Tetapi, saat Dhike sudah berada tepat didepan pintu mobil, ia menoleh kebelakang dan kembali memandang Shiva dengan tajam. Dhike kembali berjalan menemui Shiva.

Ve serta Melody yang melihat tingkah Dhike mulai keheranan.

"Kenapa dia? Muka nya kayak marah gitu, Mel."
"Aku juga gak tau."

Setelah Dhike sampai dihadapan Shiva, Dhike menatap kuat Shiva. Shiva pun balik menatap Dhike dengan tajam.

"Jangan sia sia kan orang yang benar benar tulus membantu mu. Aku hanya heran, disaat rasa kesepian melanda, Justru temanku ingin sekali membuangnya. Yang aku lihat kali ini sungguh berbeda. Aku gak bisa merasakannya karena aku memang belum pernah mengalaminya separah yang kalian rasakan saat ini. Karena ... Karena aku sungguh beruntung mempunyai teman yang baik dan saling menyayangi." Ujar Dhike.

Tidak sengaja mata Dhike tertuju pada kartu peserta yang Shiva kenakan dibajunya. Dhike melirik Nama serta nomor Audisi nya. Setelah mengetahui nama orang yang ada dihadapannya, Dhike bergegas untuk meninggalkannya seraya berkata. "Selamat berjuang dalam Audisi ... Shiva ..."

Shiva sedikit keheranan Dhike menyebut namanya, kemudian Shiva melirik kartu peserta miliknya. Ternyata benar, Dhike telah melihat kartu namanya yang tertempel dibajunya.

***


Agar dapat memusatkan seluruh energi pada penyelidikan, Sendy terpaksa melakukan semua yang harus dikerjakannya, Bahkan hal mustahil sekalipun akan ia lakukan. Ini merupakan tantangan tersendiri baginya. Untuk misi yang dijalankan kali ini, Sendy tidak terlihat memakai pakaian yang tertutup. Ia bahkan bertingkah laku seperti peserta lainnya. Dilehernya pun Sendy tidak lupa melilitkan sebuah kartu peserta Audisi yang bernomorkan seribu dua ratus delapan puluh empat. Sendy yang sedang menunggu kehadiran targetnya mulai mengeluh. Ia melirik jam di tangan nya.

Sudah hampir pukul tujuh. Kenapa ia belum datang juga? aku sudah menunggu ditempat yang aku pastikan dia akan lewat sini. Dia melakukan ini diam diam.

Kemudian pandangan Sendy terhenti pada sesosok gadis dihadapanya. Benar, yang dilihatnya saat itu memang benar targetnya.

Aku menunggumu, Gadis kecil ...

Sikap Sendy berubah drastis menjadi wanita yang polos dan ceria. Ya, yang ia lakukan hanyalah sebuah sandiwara. Agar dapat menangkap sebuah mangsa, kita harus mengetahui apa yang dipirkan target kita sebelum melakukan tindakan. Itulah prinsip yang dipegang Sendy.

Targetnya mulai mendekat dan melangkah tepat dihadapan Sendy. Kemudian Sendy menghampirinya dengan senyum. Dia adalah Ayu, Gadis kesepian yang tinggal diapartemen dengan Ibu nya.

"Maaf, apa kamu juga termasuk peserta Audisi?" Tanya nya.
Ayu hanya menggangguk.
"Yey! Senangnya. Aku datang kesini seorang diri, Jadi aku sungguh kesepian. Kalau gak keberatan maukah kamu menjadi teman ngobrol ku?"

Sesaat Ayu mendelik, Ia merasa bahwa hari ini adalah hari keberuntungan baginya.
Ayu tersenyum dan kembali menggangguk.

"Hu, Daritadi kamu hanya menggunakan bahasa isyarat. Aku ingin mendengar suara mu. Oya, Siapa namamu?"
"Na.. Nabilah Ratya Ayu. Panggil saja aku Ayu."
"Bagus! Kalau namaku Sendy Ariani." Ucap Sendy sambil mengulurkan tangannya. Dan mereka saling berjabat tangan. Setelah itu mereka berjalan bersama menuju gedung tempat Audisi berlangsung.

Sendy menengok pada Ayu. "Aku ... Boleh aku tau kenapa kamu mengikuti Audisi ini?"
"Aku... Aku hanya ingin mengubah kehidupanku ke arah yang lebih baik. Aku gak harus menderita lagi."
"Bagaimana kamu tau itu akan mengubah kehidupan mu yang sekarang? Apa kamu bisa membaca masa depan atau semacamnya?"
"Apa yang kamu bilang memang benar, gak sepenuhnya itu akan berhasil. Tetapi, kalimat teman ku selalu terbayang bayang dipikiran ku."
"Apa itu?" Tanya Sendy Penasaran.
"Ia mengatakan padaku, Mengerjakan sesuatu gak harus mengetahui akibat yang akan terjadi nanti. Itu akan selalu menghambatmu untuk melakukan tindakan kedepannya. Hidup seperti sebuah teka teki, Jika jawaban itu benar, maka tujuanmu telah terpenuhi. Tapi jika kamu kalah, Kamu masih bisa menggunakan jalan yang lain, jangan pernah berhenti." Ujar Ayu.
"Bagaimana jika kamu kehabisan kesempatan untuk bertindak? Bukankah teka teki selalu ada batasnya? Jika kamu gak bisa menjawab teka teki tersebut, maka kamu akan mengosongkannya, benar begitu?" Balas Sendy.
"Kamu pasti orang yang sangat pintar. Kakak ku pernah bilang, Jika ada yang mengajukan pertanyaan seperti yang kamu bilang saat ini, Maka jawaban perumpamaan yang paling tepat adalah aku."
Sendy sedikit binggung. "Kamu? Bisa kamu jelaskan?"
"Kehidupan Yang aku alami saat ini. Kehidupan yang kosong tanpa sebuah tujuan. Itu seperti teka teki yang gak bisa kita jawab."
"Keputusasaan? Kesepian?  Kamu mengganggap dunia ini telah memperlakukan mu dengan kejam, seperti itukah kehidupan yang kamu jalani?"

Ayu menggangguk dengan perasaan sedikit kecewa. Melihat wajah Ayu yang begitu tidak bersemangat, Sendy berusaha mengambil kesempatan untuk nya untuk lebih dekat. Ia menggandeng tangan Ayu sambil tersenyum.

"Kalau begitu kamu bisa manfaatkan aku. Manfaatkan lah aku sebagai teman terdekat mu. Aku janji akan selalu berada disisimu. Dan aku rasa kamu juga orang yang baik. Wahh... aku jadi terus mengingat kalimat itu, Hidup seperti sebuah teka teki. Aku jadi penasaran dengan temanmu yang sudah mengucapkan itu semua. Kamu pasti bangga mempunyai dia."

Ayu tersenyum. Namun tidak lama senyum itu berlangsung. Ayu mendelik setelah melihat apa yang dilihatnya dihadapannya. Ayu terperangah setelah melihat Dhike, Ve, Melody serta Stella dihadapannya. Bagaimanapun Ayu melakukan semuanya secara diam diam. Begitupun dengan Dhike, ia pun begitu terkejut memandang Ayu yang tiba tiba saja muncul dihadapannya.

Apa yang dia lakukan disini? apa mungkin ... Tukas Dhike dalam hati.

Seketika wajah Dhike berubah kecewa. Orang yang paling dipercayanya kenapa bisa melakukan hal yang tidak diketahuinya.

Ve menyikut nyikut lengan Melody disebelahnya. Ve masih terperanjat melihat Ayu didepannya.
"Mel, itu kan Ayu. Apa dia diam diam ikut Audisi juga? Lihat saja dibajunya sudah ada kartu peserta." Bisiknya.
"Aku juga kurang tau, Ve."

Sungguh menarik, aku akan memanfaatkan kesempatan momen ini. Senyum Sinis Sendy.
Sebenarnya Sendy sudah mengetahui bahwa Ayu mengikuti Audisi tanpa sepengetahuan orang lain.

Dhike berjalan lemah menghampiri Ayu. Ia melirik kartu peserta yang dikenakan Ayu. melihat itu, Ayu tertunduk terdiam. Ayu tidak berani mengucapkan sepatah katapun.

"Apakah ini yang dinamakan kepercayaan? apakah ini yang dinamakan ketulusan? Aku merasa semua itu telah lenyap. Aku telah memberikan semua kepercayaan kepadamu, tapi yang kudapat hanyalah kekecewaan."

Mendengar ucapan Dhike membuat telinga Ayu panas. Ia ingin sekali mengakui nya. Tapi menurutnya itu semua percuma saja. Dhike telah menerima kekecewaan darinya. Disebelahnya Sendy melirik Ayu. Didalam pikiran Sendy ia sudah mempunyai rencana yang akan ia gunakan saat itu.

Sendy mendekat pada Dhike seraya berkata. "Aku yang mengajak dia untuk ikut dalam audisi ini. Aku yang memaksanya. Jadi, ini semua bukan sepenuhnya salah dia."

Ayu terperangah mendengar nya. Bagaimanapun itu semua tidak benar. Sedangkan Dhike masih tidak mempercayai ucapan Sendy, Ia yang lebih tahu semua tentang kehidupan yang Ayu Jalani.

Dhike menatap Sendy kesal. "Kamu siapa? Teman barunya? Ah, aku rasa kamu hanyalah sebuah patung yang ditugaskan menyembunyikan sebuah fakta dan menyebarluaskan sebuah kebohongan. Bukan Begitu?"

Sendy tertawa sinis mendengarnya. "Apakah berteman lama itu selalu baik? Aku memang belum lama berteman dengan Ayu. Ah, Bukankah namamu Dhike? Teman yang selalu menjaganya, melindunginya serta ... Mengasihaninya. Aku rasa semua kalimat itu gak cocok ada pada dirimu. Yang dilakukan Ayu saat ini memang benar, Mengikuti Audisi merupakan tindakan yang bagus untuknya menghilangkan rasa kesepiannya. Sedangkan yang kamu lakukan saat ini hanya bisa menjaganya tanpa melakukan sebuah jalan keluar yang tepat. Apa dengan begitu rasa kesepiannya akan hilang?"

Tubuh Dhike bergetar kesal, Ia mengepal kedua tangannya dan lebih mendekat menatap Sendy.
"Jaga ucapanmu. Aku bukanlah orang yang ceroboh melakukan suatu tindakan. Aku selalu memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Apa yang dimiliki Ayu saat ini sunggulah gak tepat untuknya melakukan tindakan seperti yang kamu lakukan saat ini. Mengajak Audisi? Itu hanya akan memperburuk keadaan. Kehidupan diluar sana sungguh kejam."

Lagi lagi Ve menyikut nyikut lengan Melody disebelahnya. Ve begitu khawatir dengan suasana yang ada dihadapanya. "Mel, Gimana ini? kok jadi begini suasananya. Kamu coba hentikan mereka."
"Tapi gimana caranya?" Keluh Melody.

Ayu yang masih terperanjat kemudian memandang Dhike dengan perasaan bersalah.
Sebenarnya ada apa ini? Mengapa semua mempeributkan aku? Kak, Aku binggung harus berbicara apa. Tapi mohon jangan berpikiran buruk tentangku. Aku sungguh binggung, siapa yang harus aku percayakan? Ucapan Kak Sendy yang barusan memang benar, aku melakukan ini hanya untuk membuang rasa kesepianku ini. Aku harus mencobanya walaupun aku tak tahu apa yang akan terjadi kedepannya.

"Masih ada yang ingin kamu katakan? Kalo gak ada aku permisi dulu." Ucap Sendy pada Dhike.
"Masuklah! Masuk dan lihatlah betapa kejamnya dunia luar. Jika kamu terjatuh jangan coba coba sebut atau panggil namaku lagi. Tindakan kamu kali ini membuat rasa kecewa ku tumbuh. Bersenang senanglah dengan teman baru mu itu." Sindir Dhike. Bagaimanapun kalimat yang diucapan Dhike barusan memang cocok diperuntukkan oleh Ayu.

Sudah berakhir? Apa aku melakukan kesalahan yang begitu besar?  Jangan! Aku gak mau berpisah dengan Kakak. Ucap kata isi hati Ayu.

Perlahan Ayu mulai melangkahkan kakinya menuju Dhike. Mungkin ia akan meminta maaf. Tetapi, langkahnya dihentikan oleh Sendy. Sendy menarik tangan Ayu dengan paksa.

"Jangan Lemah, apa yang kamu lakukan saat ini sudah tepat. Kamu masih mempunyai aku, Aku yang akan selalu ada disisimu menggantikannya. Jangan pernah takut." Bisik Sendy pada Ayu.

Sendy menarik lengan Ayu dan membawanya pergi. Disebelah Sendy, Ayu membalikkan kepalanya dan menatap Dhike. Kesedihan tumbuh diwajah Ayu. Perlahan lahan Ayu menggelengkan kepalanya pada Dhike. Maksudnya agar Dhike terus mempercayai Ayu dan semua yang terjadi barusan adalah tidak benar. Namun sayang, Dhike tidak bisa menyaring bahasa tubuh yang Ayu tunjukan.

"Pergilah! Mempunyai teman satu itu lebih baik dibandingkan mempunyai banyak teman tetapi gak ada yang bisa tulus. Pergi dan carilah teman sebanyak yang kamu mau. Aku sudah gak peduli semua yang kamu lakukan." Teriak Dhike pada Ayu. Ia begitu kesal.


BERSAMBUNG ...



Terima Kasih Yang Masih Setia Mengikuti Kisah Novel Ini.
Follow @JKT48fanfiction
Writer : Chikafusa Chikanatsu

0 comments:

Posting Komentar