Gedung Asrama,
petang. Sebelum memasuki kamar asrama miliknya, Shiva bersandar di
tembok, ia memejamkan matanya. Hatinya masih merasa gelisah. Ia menarik
nafas dalam dalam, menelankan ludah. Shiva kembali melihat daftar
peserta yang merupakan sekamar dengan nya. Yang menurutnya sial baginya,
ia harus sekamar dengan Cleo, Shania dan juga Sonya. Mungkin setelah
Shiva memasuki kamar tersebut, berbagai pertanyaan akan muncul
menerpanya.
Kelima jarinya mulai menggenggam gagang pintu, dan perlahan pintu tersebut ia ditarik. Kedua bola matanya menjelajah isi kamar, seperti dugaan nya, Cleo, Shania serta Sonya berada didalam. Semua mata memandangi Shiva, mereka penasaran mengapa Shiva baru nongol saat itu. Dengan wajah jengkel Shania mendekati Shiva.
"Kamu kemana aja? Aku sudah muak mendengar semua teman teman ku menghkawatirkan mu. Apakah memberi pesan lewat ponsel itu sulit? Sama sekali gak ada balasan."
"Aku minta maaf ..." Jawabnya santai.
Cleo bangkit dari sandarannya, ia menghampiri Shiva. "Sebelumnya kita merupakan satu tim, tim yang pernah berlatih bersama, tim yang mempunyai mimpi yang sama dan tim yang sama sama saling membantu dan menolong. Namun jika sikap mu seperti ini aku ragu mengucapkan kalimat yang terakhir. Apa kami boleh tau apa yang membuat mu menghindar?"
Shiva tunduk terdiam, ia sedang mendalami betul kalimat Cleo barusan. Namun dalam hatinya ia tidak setuju semua yang diucapkan Cleo. Shiva mulai menggerakkan bibirnya, ia akan memberitahu apa yang ada dipikirannya.
"Aku benci dengan kebersamaan. Setiap kebersamaan akan berakhir menyakitkan. Semua kenangan yang pernah kita lakukan bersama tidak akan pernah hilang dan akan terus bersarang dipikiran, aku gak suka itu. Dikehidupan ini, pasti ada awal dan akhir, seberapa banyak kenangan yang kalian miliki maka akan semakin menyakitkan jika orang yang kalian sayangi telah menghilang. Memang benar, kebersamaan membuat kita semakin kuat. Namun itu hanya awalnya saja, semakin kuat rasa kebersamaan kalian maka semakin kuat pula rasa sakit yang akan kalian rasakan bila orang yang kalian sayangi telah menghilang."
Cleo membalasnya. "Tetapi, didunia ini kamu gak bisa hidup seorang diri. Semua orang akan butuh yang namanya tolong menolong. Jika kamu mengalami masa sulit dan kamu gak tau harus berbuat apa, maka, temuilah teman mu. Itulah arti kebersamaan bagiku."
"Teman? Mungkin kalian akan lebih mudah mengucapkan itu, Karena kalian selalu bersama, kalian sederajat, kalian sama sama mempunyai posisi yang sama. Kalian hanya tau kehidupan yang seperti itu, kalian gak pernah mau mengetahui kehidupan yang lain, yang seperti aku jalani."
"Sudah cukup, memangnya kehidupan seperti apa yang kamu alami?" Tanya Cleo dengan nada paksa.
Tetesan air mata mulai terlihat dari wajah Shiva. Ia sedih bila mengingat kehidupan pahitnya.
"Hidupku penuh dengan Hinaan, prasangka buruk dan juga ejekan. Aku sudah tidak terlihat seperti manusia lainnya yang selalu dihormati, melainkan hanya sebuah patung figuran lawak yang selalu ditertawakan, direndahkan dan yang paling parah, yaitu menjijikan. Semua orang memandang ku seperti itu. Aku tidak pernah mau percaya pada siapapun kecuali pada diriku sendiri."
Kalimat Shiva memang sungguh emosional, semuanya mencerna kalimat yang diucapkan oleh nya. Kesabaran Sonya pun telah habis, ia juga ingin ikut berpendapat dan mengeluarkan apa yang ia pikirkan.
"Lalu bagaimana dengan kami? Apa kami terlihat begitu menjijikan bagi kamu? Aku sangat tidak suka dengan kalimat itu. Memang benar apa yang kamu ucapkan barusan, Manusia memang tidak ada yang sempurna, kita tidak bisa menebak isi hati manusia. Dari luar manusia bisa saja bersikap lembut dan baik, tetapi kita tidak akan pernah tahu isi hatinya. Akupun tidak akan pernah percaya pada yang lain sebelum aku percaya pada diriku sendiri. Kenyataan nya yang kamu ucapkan itu memang benar. Aku melihat dirimu dari luar, saat pertama kali kita bertemu kamu begitu lembut dan baik, kenyataan nya kamu pun sama saja. Hal yang paling aku tidak suka pada manusia yaitu, berprasangka buruk. Kamu sudah mengira bahwa kami sama saja dengan lain, yang selalu merendahkan, bukan begitu? Tapi boleh aku jujur? Aku tidak pernah sama sekali berpikiran begitu padamu. Itu saja, percaya atau tidak itu tergantung pada dirimu."
Sonya merasa kesal, ia mengakhiri percakapannya dan menuju tempat tidurnya, ia berbaring. Begitupun dengan Shania, ia berjalan keluar kamar asrama dengan wajah masam.
"Mau kemana kamu?" Tanyanya Cleo pada Shania.
"Aku ingin keliling melihat lihat suasana Gedung." Jawabnya dengan kesal.
Wajah Shiva masih menunjukkan kekusamannya. Kemudian Cleo berusaha menenangkannya dengan memegang pundaknya. Sebisa mungkin Cleo memaklumi keadaannya, walau ia masih belum terlalu paham akan kehidupan yang dialami Shiva, tetapi Cleo merasakan kesusahannya.
"Kita semua gak pernah berpikiran seperti yang kamu pikirkan barusan. Aku menghormatimu, yang lain juga begitu. Gak ada yang membencimu sedikitpun. Semua takut kamu tidak hadir hari ini, semua takut kalo kamu sedang sakit, semuanya sungguh mencemaskanmu saat kamu tidak ada tadi pagi. Kalau misalkan kami memang benar benar merendahkan mu, lalu untuk apa kami melakukan itu semua?" Ujar Cleo menjelaskan.
Shiva hanya terdiam, tidak ingin berbicara panjang lebar lagi. Mungkin menurutnya sudah cukup semua yang ia ceritakan pada teman temannya. Ia tidak ingin menceritakan kehidupan sebelumnya lagi, itu akan membuatnya semakin sedih.
"Aku capek, aku mau istirahat dulu." Keluhnya dengan berjalan menuju kasur dan berbaring disebelah Sonya.
Kemudian terlintas dipikiran Sonya untuk berbagi. Ia mengambil boneka Panda yang berada di pojok kasur, Lalu ia memberikannya pada Shiva yang sedang berbaring disebelahnya.
"Peluklah boneka itu. Aku biasa melakukannya saat aku merasa kesusahan."
Shiva memang ragu ragu untuk menerimannya. Namun ia tidak bisa menolaknya, Shiva memang terlihat memiliki hati yang lemah sejak lahir, walaupun ia mencoba untuk tidak lemah, namun percuma saja, Ia tidak tegaan melihat Sonya yang mengkhawatirkan dan memikirkannya. Perlahan Shiva mengambil boneka pemberian Sonya, kemudian ia peluk kuat kuat boneka tersebut. Sonya tersenyum memandangnya.
Terasa nyaman sekali. Sudah lama aku tidak merasakan kenyamanan ini. Walau hanya sebuah boneka, ini sungguh membuatku merasa tentram. Ini sungguh hangat, Aku harap yang aku peluk saat ini adalah orang tua ku.
Sendy masuk kedalam kamar tempat Ayu dirawat, Ia sempat terperangah melihat Ayu yang sudah gagah duduk dikasur sambil memainkan Ponselnya. Sendy segera mendekati Ayu seraya Berkata. "Ayu ... Kamu sudah sadar?"
Ayu menggangguk dengan senyumnya. Ia sangat senang melihat keberadaan Sendy, bagaimanapun kejadian waktu itu Sendy lah yang telah melindunginya, mungkin umur belia gampang sekali girang setelah mendapat pujian atau belaan. Yang dilihat Sendy saat itu hanya senyuman yang keluar terus menerus dari wajah Ayu. Senyumannya sungguh indah, membuat siapa saja jika melihatnya hati akan ikut gembira dan senang.
Namun senyuman Sendy tidak bertahan lama, ia mengkhawatirkan isi pesan Dhike yang berada diponsel Ayu. Ia lupa menghapusnya. Jika sampai Ayu mengetahuinya, mungkin Ayu akan merasa ganjil siapa yang telah menggeledah ponselnya yang sudah ia lindungi dengan password. Sendy mulai berbasa basi mendekati Ayu, Ia juga menaruh dagunya tepat dipundak Ayu. Ayu sempat terkejut dengan perlakuan Sendy, ia baru saja berteman, tapi kedekatan Sendy bisa dibilang berlebih. Tetapi disisi lain memang Ayu merasa senang, ternyata Sendy mempunyai watak yang lembut dan juga tidak malu malu untuk memulainya duluan. Ayu mulai menggeliat kegelian.
"Kenapa? Apa kamu merasa geli? Aku ini wanita, beda kalau aku ini pria. Mungkin wajah mu akan memerah." Ucap Sendy dengan Tawanya.
"Seperti inilah aku. Jadi kamu jangan sampai kaget bila tiba tiba saja aku memeluk mu. Oya, gimana, Apa kamu masih merasa pusing?"
Ayu menggelengkan Kepalanya, lalu ia menoleh kearah wajah Sendy yang berada dipundaknya. Jarak diantara pundak dengan leher cukup dekat, Jika Ayu menoleh ke arah Sendy mungkin meraka akan saling bertatap muka cukup dekat. Mereka saling menatap, Perasaan Ayu penuh dengan kegelisahan, jantungnya berdetak kencang naik turun, kedua matanya terbuka lebar, tubuh Ayu menjadi panas dingin, kedua tangannya gemetaran.
Melihat kegelisahan Yang Ayu Rasakan membuat Sendy mengambil tindakan, Dipegangnya telapak tangan Ayu dengan lembutnya agar perasaanya tenang.
"Kenapa telapak tanganmu berkeringat? Apa kamu demam?"
Ayu menggeleng kepala dengan cepat. "Nggak, Hanya saja ..."
"Maafkan aku ..." Potong Sendy tiba tiba.
"Tentang apa, kak?" Tanyanya heran.
"Aku masih belum bisa mengikutsertakan mu dalam Audisi, Namun aku akan masih berusaha."
Ayu menunduk masam. Tidak bersemangat. "Aku gak apa apa, kok. Mungkin ini takdir ku. Kakak sudah menyelamatkanku, Rasa kecewaku tiba tiba saja menghilang setelah apa yang kakak lakukan padaku. Aku sudah tidak mempermasalahkan itu. Walau aku tidak mengikuti Audisi itu, aku akan selalu menyemangati kakak. Mungkin lain kali aku akan mengikutinya." Ujarnya sambil tersenyum tipis.
"Nggak, kamu harus ikut. Apapun caranya. Kamu harus selalu ada disisiku, menemaniku. Aku juga sama sepertimu yang selalu kesepian. Aku tidak mempunyai siapa siapa, banyak sekali yang sudah jahat padaku. Aku ingin membalasnya, aku ingin tunjukan bahwa aku ini bukan seorang pengecut yang selalu direndahkan. Akan aku tunjukan pada mereka, akan aku buat mereka semua menunduk padaku. Akan aku buat mereka semua memohon padaku. Akan aku buat mereka menarik semua ucapannya."
Mendengar ucapan Sendy yang sungguh Emosional membuat Ayu panas, kesal serta emosi. Ayu sudah terbawa suasana. Ia sudah masuk dalam perangkap Sendy. Kerlingan Sendy menatap kuat mata Ayu dengan senyum tipisnya. Bagaimanapun ucapan Sendy barusan memang hanya untuk membuat Perasaan Ayu memanas, Ucapannya sengaja dibuat buat seolah olah ia mangalaminya, kenyataan nya, Sendy hanya ingin membangkitkan perasaan Ayu yang sempat ambruk dengan kalimat kalimat emosional yang sekiranya Ayu ucapkan saat dirinya kesusahan.
"Teruslah untuk tetap bersamaku. Kamu hanya tinggal ikuti semua ucapanku. Aku janji akan selalu melindungimu saat kamu kesulitan. Gimana?"
Ayu terdiam ragu. Air mata kesedihannya menetes dan mengalir hingga leher.
"Ingatlah semua perbuatan perbuatan setan yang telah teman teman mu lakukan padamu. Apa kamu hanya ingin tinggal diam dan selalu direndahkan oleh mereka? Apa kamu tidak ada pikiran untuk membalas nya? Buat mereka menunduk padamu dan memohon. Jangan lemah."
Ayu begitu emosional mendengar ucapan Sendy, kedua tangannya mengepal kuat. Kemudian perlahan lahan Ayu mulai menggangguk menyetujuinya.
"Ayo ikutlah dengan ku. Pakailah jaket tebal, udara malam hari begitu dingin."
Ayu menuruti apa yang diucapkan Sendy, ia menaruh ponsel nya dikasur dan kemudian mengambil jaket dari dalam tasnya yang berada dilantai. Diam diam Sendy mengambil ponsel milik Ayu, Sendy merasa lega, sepertinya Ayu menggunakan ponsel barusan hanya untuk bermain game saja, Sendy masuk kedalam inbox dan kemudian ia menghapus pesan dari Dhike. Setelah selesai, sesegera Sendy menaruh kembali ponsel tersebut dikasur.
Sendy membantu Ayu mengemasi barang barangnya. Setelah selesai ia memegang pundak Ayu lalu tersenyum.
"Aku akan mengurusi biaya administrasinya."
Udara pada malam hari begitu dingin, sekitar pukul sebelas malam. Disaat yang lain tertidur, justru Melody dan Dhike masih bersama ketika itu, mereka mengenakan jaket tebal dengan corak yang sama. Dibawah bulan besar yang indah mereka bertumpu dibawah tanah yang dilapisi rumput tebal ditaman. Suasa tenang serta pemandangan yang terbentang luas membuat hati terasa tentram, sangat cocok untuk berangan angan.
Hampir tidak ada suara apapun yang terdengar, yang ada hanyalah suara hembusan angin yang menerpa kulit. Keduanya tersenyum geli dengan pandangan kedepan, mereka sedang berangan angan. Kemudian Melody menoleh ke arah Dhike.
"Kamu lagi pikirin apa? Keliatanya penuh dengan kegembiraan."
Dhike tertawa geli. "Kamu dulu, apa yang kamu pikirkan?"
"Kalo aku ... Hmmm, Aku bersama dengan teman teman yang sangat aku sayangi, dan saat itu kami sedang bersama sama berada diatas hamparan salju yang tebal terbentang luas. Seumur hidupku, aku begitu penasaran dengan butiran putih kristal tersebut, aku ingin merasakan genggamannya. Aku berjalan menginjak tumpukan salju dengan lilitan kain tebal yang menyelimuti tubuhku, syal yang memutar tepat dileherku dan juga sarung tangan yang tebal, aku ingin merasakan itu semua. Bagaimana dengan mu? ceritakan."
"Aku ingin kembali seperti dulu lagi, dimana saat masa kecilku itu sungguh menyenangkan. Bersama keluarga dan juga dirinya. Aku ingin melihat senyumannya yang sungguh indah, entah kenapa setiap orang memandang dirinya jika sedang tersenyum, hati terasa ikut terbawa oleh kegembiraan nya. Dan ..."
Ucapan Dhike terhenti, pandangannya terkunci pada salah seorang yang ada dihadapannya. Ia memandang Ayu yang sedang bersama dengan Sendy berjalan menuju ruang asrama dari kejauhan, Ayu tidak menyadari keberadaan mereka. Melody pun melihat keberadaanya. Perban kecil yang ditempelkan dibelakang kepala Ayu tidak terlihat sangking jauhnya, Jika Dhike sampai mengetahuinya mungkin ia akan mencemaskannya.
Kemudian Dhike melanjutkan kalimat yang dipotongnya barusan sambil memandang Ayu.
"Dialah orangnya, teman bermain yang kupunya saat kecil hanyalah dia. Walau umur kami masih sangat muda, tetapi kami tau apa itu arti berbagi. Dulu dia tidak seperti yang sekarang ini, jika ia terluka ia tidak pernah menunjukkannya, sebisa mungkin ia pendam dan menahan rasa sakit tersebut. Ia tidak ingin kalau aku mencemaskannya. Bahkan, ia mengobati rasa luka tersebut dengan perban yang ia ambil sendiri. Disaat kedua orang tua kami berangkat bekerja, kami sering sekali kelaparan. Walau Ibuku sudah menyiapkan makanan dimeja, namun Ayu tidak pernah mau untuk menyentuhnya. Ia berkata, Makanan itu dibuat hanya untukku, ia tidak berani mengambil jatah ku. Walau Ibuku sudah berkata untuk berbagi, dia tetap saja menolaknya. Dan kemudian aku bertanya apa alasan ia menolaknya, lalu ia menjawab bahwa makanan yang dibuat oleh Ibuku ku itu hanya untuk dirimu, aku tidak mengerti dengan jawaban konyol nya itu. Dahulu kamar apartemen kami saling bersebelahan, disaat hari makan siang tiba, Ayu lebih memilih kembali ke apartemennya dan memakan makanan cepat saji yang dibelikan oleh Ibunya. Aku diam diam memasuki kamar apartemennya, dan air mataku tidak bisa hentinya keluar. Aku melihat ia menangis tersedu sedu sambil berkata bahwa ia juga ingin merasakan masakan yang dibuat oleh Ibunya sendiri, seperti diriku. Aku begitu ambruk memandanginya, ia masih sangat kecil tetapi ia sangat mengerti apa itu artinya kasih sayang. Aku berusaha sebisa mungkin menahan untuk tidak mendekapnya, aku tahu bahwa ia tidak ingin aku mencemaskannya. Aku kembali keapartemen ku lalu aku membuatkan omelet untuk dirinya. Dengan wajah polosnya ia tersenyum senang setelah aku membuatkannya, kami makan bersama dan senyuman itu muncul kembali dari wajahnya. Aku jadi mulai mengerti, bahwa ia sangat membutuhkan kasih sayang."
Mendengar semua yang Dhike ucapkan tentang masa lalunya membuat hati Melody tersentuh. Ia ingin menangis namun sebisa mungkin ia tahan. Betapa indahnya masa lalu yang dilalui mereka, penuh suka maupun duka. Namun mereka berusaha bersikap tegar, saling membantu dan juga memberi kasih sayang. Memang pantas bahwa hubungan mereka itu lebih dari sahabat sekalipun, Mereka Saudara yang tidak bisa dipisahkan.
Kemudian Dhike kembali mengingat harapan Melody barusan, ia menoleh dan menatap Melody kuat.
"Suatu saat nanti aku akan mengajakmu untuk melihat salju, bahkan merasakannya. Aku janji."
Melody tersenyum senang mendengarnya. "Berkat omongan dan pengalaman mu bersama Ayu, aku jadi tahu betapa pentingnya yang namanya kasih sayang. Terima kasih, aku telah dipertemukan sahabat seperti kalian semua."
Bersambung ...
Writer : Chikafusa Chikanatsu
Terima Kasih Yang Masih Setia Mengikuti Kisah Novel Ini.
Ayo Dukung terus Novel ini dengan MemFollow kami di Twitter @JKT48fanfiction
Jika kalian mempunyai Pertanyaan bisa kirimkan ke alamat Email Parahesitisme@gmail.com
Copyright © JKT48 NOVEL
Kelima jarinya mulai menggenggam gagang pintu, dan perlahan pintu tersebut ia ditarik. Kedua bola matanya menjelajah isi kamar, seperti dugaan nya, Cleo, Shania serta Sonya berada didalam. Semua mata memandangi Shiva, mereka penasaran mengapa Shiva baru nongol saat itu. Dengan wajah jengkel Shania mendekati Shiva.
"Kamu kemana aja? Aku sudah muak mendengar semua teman teman ku menghkawatirkan mu. Apakah memberi pesan lewat ponsel itu sulit? Sama sekali gak ada balasan."
"Aku minta maaf ..." Jawabnya santai.
Cleo bangkit dari sandarannya, ia menghampiri Shiva. "Sebelumnya kita merupakan satu tim, tim yang pernah berlatih bersama, tim yang mempunyai mimpi yang sama dan tim yang sama sama saling membantu dan menolong. Namun jika sikap mu seperti ini aku ragu mengucapkan kalimat yang terakhir. Apa kami boleh tau apa yang membuat mu menghindar?"
Shiva tunduk terdiam, ia sedang mendalami betul kalimat Cleo barusan. Namun dalam hatinya ia tidak setuju semua yang diucapkan Cleo. Shiva mulai menggerakkan bibirnya, ia akan memberitahu apa yang ada dipikirannya.
"Aku benci dengan kebersamaan. Setiap kebersamaan akan berakhir menyakitkan. Semua kenangan yang pernah kita lakukan bersama tidak akan pernah hilang dan akan terus bersarang dipikiran, aku gak suka itu. Dikehidupan ini, pasti ada awal dan akhir, seberapa banyak kenangan yang kalian miliki maka akan semakin menyakitkan jika orang yang kalian sayangi telah menghilang. Memang benar, kebersamaan membuat kita semakin kuat. Namun itu hanya awalnya saja, semakin kuat rasa kebersamaan kalian maka semakin kuat pula rasa sakit yang akan kalian rasakan bila orang yang kalian sayangi telah menghilang."
Cleo membalasnya. "Tetapi, didunia ini kamu gak bisa hidup seorang diri. Semua orang akan butuh yang namanya tolong menolong. Jika kamu mengalami masa sulit dan kamu gak tau harus berbuat apa, maka, temuilah teman mu. Itulah arti kebersamaan bagiku."
"Teman? Mungkin kalian akan lebih mudah mengucapkan itu, Karena kalian selalu bersama, kalian sederajat, kalian sama sama mempunyai posisi yang sama. Kalian hanya tau kehidupan yang seperti itu, kalian gak pernah mau mengetahui kehidupan yang lain, yang seperti aku jalani."
"Sudah cukup, memangnya kehidupan seperti apa yang kamu alami?" Tanya Cleo dengan nada paksa.
Tetesan air mata mulai terlihat dari wajah Shiva. Ia sedih bila mengingat kehidupan pahitnya.
"Hidupku penuh dengan Hinaan, prasangka buruk dan juga ejekan. Aku sudah tidak terlihat seperti manusia lainnya yang selalu dihormati, melainkan hanya sebuah patung figuran lawak yang selalu ditertawakan, direndahkan dan yang paling parah, yaitu menjijikan. Semua orang memandang ku seperti itu. Aku tidak pernah mau percaya pada siapapun kecuali pada diriku sendiri."
Kalimat Shiva memang sungguh emosional, semuanya mencerna kalimat yang diucapkan oleh nya. Kesabaran Sonya pun telah habis, ia juga ingin ikut berpendapat dan mengeluarkan apa yang ia pikirkan.
"Lalu bagaimana dengan kami? Apa kami terlihat begitu menjijikan bagi kamu? Aku sangat tidak suka dengan kalimat itu. Memang benar apa yang kamu ucapkan barusan, Manusia memang tidak ada yang sempurna, kita tidak bisa menebak isi hati manusia. Dari luar manusia bisa saja bersikap lembut dan baik, tetapi kita tidak akan pernah tahu isi hatinya. Akupun tidak akan pernah percaya pada yang lain sebelum aku percaya pada diriku sendiri. Kenyataan nya yang kamu ucapkan itu memang benar. Aku melihat dirimu dari luar, saat pertama kali kita bertemu kamu begitu lembut dan baik, kenyataan nya kamu pun sama saja. Hal yang paling aku tidak suka pada manusia yaitu, berprasangka buruk. Kamu sudah mengira bahwa kami sama saja dengan lain, yang selalu merendahkan, bukan begitu? Tapi boleh aku jujur? Aku tidak pernah sama sekali berpikiran begitu padamu. Itu saja, percaya atau tidak itu tergantung pada dirimu."
Sonya merasa kesal, ia mengakhiri percakapannya dan menuju tempat tidurnya, ia berbaring. Begitupun dengan Shania, ia berjalan keluar kamar asrama dengan wajah masam.
"Mau kemana kamu?" Tanyanya Cleo pada Shania.
"Aku ingin keliling melihat lihat suasana Gedung." Jawabnya dengan kesal.
Wajah Shiva masih menunjukkan kekusamannya. Kemudian Cleo berusaha menenangkannya dengan memegang pundaknya. Sebisa mungkin Cleo memaklumi keadaannya, walau ia masih belum terlalu paham akan kehidupan yang dialami Shiva, tetapi Cleo merasakan kesusahannya.
"Kita semua gak pernah berpikiran seperti yang kamu pikirkan barusan. Aku menghormatimu, yang lain juga begitu. Gak ada yang membencimu sedikitpun. Semua takut kamu tidak hadir hari ini, semua takut kalo kamu sedang sakit, semuanya sungguh mencemaskanmu saat kamu tidak ada tadi pagi. Kalau misalkan kami memang benar benar merendahkan mu, lalu untuk apa kami melakukan itu semua?" Ujar Cleo menjelaskan.
Shiva hanya terdiam, tidak ingin berbicara panjang lebar lagi. Mungkin menurutnya sudah cukup semua yang ia ceritakan pada teman temannya. Ia tidak ingin menceritakan kehidupan sebelumnya lagi, itu akan membuatnya semakin sedih.
"Aku capek, aku mau istirahat dulu." Keluhnya dengan berjalan menuju kasur dan berbaring disebelah Sonya.
Kemudian terlintas dipikiran Sonya untuk berbagi. Ia mengambil boneka Panda yang berada di pojok kasur, Lalu ia memberikannya pada Shiva yang sedang berbaring disebelahnya.
"Peluklah boneka itu. Aku biasa melakukannya saat aku merasa kesusahan."
Shiva memang ragu ragu untuk menerimannya. Namun ia tidak bisa menolaknya, Shiva memang terlihat memiliki hati yang lemah sejak lahir, walaupun ia mencoba untuk tidak lemah, namun percuma saja, Ia tidak tegaan melihat Sonya yang mengkhawatirkan dan memikirkannya. Perlahan Shiva mengambil boneka pemberian Sonya, kemudian ia peluk kuat kuat boneka tersebut. Sonya tersenyum memandangnya.
Terasa nyaman sekali. Sudah lama aku tidak merasakan kenyamanan ini. Walau hanya sebuah boneka, ini sungguh membuatku merasa tentram. Ini sungguh hangat, Aku harap yang aku peluk saat ini adalah orang tua ku.
Sendy masuk kedalam kamar tempat Ayu dirawat, Ia sempat terperangah melihat Ayu yang sudah gagah duduk dikasur sambil memainkan Ponselnya. Sendy segera mendekati Ayu seraya Berkata. "Ayu ... Kamu sudah sadar?"
Ayu menggangguk dengan senyumnya. Ia sangat senang melihat keberadaan Sendy, bagaimanapun kejadian waktu itu Sendy lah yang telah melindunginya, mungkin umur belia gampang sekali girang setelah mendapat pujian atau belaan. Yang dilihat Sendy saat itu hanya senyuman yang keluar terus menerus dari wajah Ayu. Senyumannya sungguh indah, membuat siapa saja jika melihatnya hati akan ikut gembira dan senang.
Namun senyuman Sendy tidak bertahan lama, ia mengkhawatirkan isi pesan Dhike yang berada diponsel Ayu. Ia lupa menghapusnya. Jika sampai Ayu mengetahuinya, mungkin Ayu akan merasa ganjil siapa yang telah menggeledah ponselnya yang sudah ia lindungi dengan password. Sendy mulai berbasa basi mendekati Ayu, Ia juga menaruh dagunya tepat dipundak Ayu. Ayu sempat terkejut dengan perlakuan Sendy, ia baru saja berteman, tapi kedekatan Sendy bisa dibilang berlebih. Tetapi disisi lain memang Ayu merasa senang, ternyata Sendy mempunyai watak yang lembut dan juga tidak malu malu untuk memulainya duluan. Ayu mulai menggeliat kegelian.
"Kenapa? Apa kamu merasa geli? Aku ini wanita, beda kalau aku ini pria. Mungkin wajah mu akan memerah." Ucap Sendy dengan Tawanya.
"Seperti inilah aku. Jadi kamu jangan sampai kaget bila tiba tiba saja aku memeluk mu. Oya, gimana, Apa kamu masih merasa pusing?"
Ayu menggelengkan Kepalanya, lalu ia menoleh kearah wajah Sendy yang berada dipundaknya. Jarak diantara pundak dengan leher cukup dekat, Jika Ayu menoleh ke arah Sendy mungkin meraka akan saling bertatap muka cukup dekat. Mereka saling menatap, Perasaan Ayu penuh dengan kegelisahan, jantungnya berdetak kencang naik turun, kedua matanya terbuka lebar, tubuh Ayu menjadi panas dingin, kedua tangannya gemetaran.
Melihat kegelisahan Yang Ayu Rasakan membuat Sendy mengambil tindakan, Dipegangnya telapak tangan Ayu dengan lembutnya agar perasaanya tenang.
"Kenapa telapak tanganmu berkeringat? Apa kamu demam?"
Ayu menggeleng kepala dengan cepat. "Nggak, Hanya saja ..."
"Maafkan aku ..." Potong Sendy tiba tiba.
"Tentang apa, kak?" Tanyanya heran.
"Aku masih belum bisa mengikutsertakan mu dalam Audisi, Namun aku akan masih berusaha."
Ayu menunduk masam. Tidak bersemangat. "Aku gak apa apa, kok. Mungkin ini takdir ku. Kakak sudah menyelamatkanku, Rasa kecewaku tiba tiba saja menghilang setelah apa yang kakak lakukan padaku. Aku sudah tidak mempermasalahkan itu. Walau aku tidak mengikuti Audisi itu, aku akan selalu menyemangati kakak. Mungkin lain kali aku akan mengikutinya." Ujarnya sambil tersenyum tipis.
"Nggak, kamu harus ikut. Apapun caranya. Kamu harus selalu ada disisiku, menemaniku. Aku juga sama sepertimu yang selalu kesepian. Aku tidak mempunyai siapa siapa, banyak sekali yang sudah jahat padaku. Aku ingin membalasnya, aku ingin tunjukan bahwa aku ini bukan seorang pengecut yang selalu direndahkan. Akan aku tunjukan pada mereka, akan aku buat mereka semua menunduk padaku. Akan aku buat mereka semua memohon padaku. Akan aku buat mereka menarik semua ucapannya."
Mendengar ucapan Sendy yang sungguh Emosional membuat Ayu panas, kesal serta emosi. Ayu sudah terbawa suasana. Ia sudah masuk dalam perangkap Sendy. Kerlingan Sendy menatap kuat mata Ayu dengan senyum tipisnya. Bagaimanapun ucapan Sendy barusan memang hanya untuk membuat Perasaan Ayu memanas, Ucapannya sengaja dibuat buat seolah olah ia mangalaminya, kenyataan nya, Sendy hanya ingin membangkitkan perasaan Ayu yang sempat ambruk dengan kalimat kalimat emosional yang sekiranya Ayu ucapkan saat dirinya kesusahan.
"Teruslah untuk tetap bersamaku. Kamu hanya tinggal ikuti semua ucapanku. Aku janji akan selalu melindungimu saat kamu kesulitan. Gimana?"
Ayu terdiam ragu. Air mata kesedihannya menetes dan mengalir hingga leher.
"Ingatlah semua perbuatan perbuatan setan yang telah teman teman mu lakukan padamu. Apa kamu hanya ingin tinggal diam dan selalu direndahkan oleh mereka? Apa kamu tidak ada pikiran untuk membalas nya? Buat mereka menunduk padamu dan memohon. Jangan lemah."
Ayu begitu emosional mendengar ucapan Sendy, kedua tangannya mengepal kuat. Kemudian perlahan lahan Ayu mulai menggangguk menyetujuinya.
"Ayo ikutlah dengan ku. Pakailah jaket tebal, udara malam hari begitu dingin."
Ayu menuruti apa yang diucapkan Sendy, ia menaruh ponsel nya dikasur dan kemudian mengambil jaket dari dalam tasnya yang berada dilantai. Diam diam Sendy mengambil ponsel milik Ayu, Sendy merasa lega, sepertinya Ayu menggunakan ponsel barusan hanya untuk bermain game saja, Sendy masuk kedalam inbox dan kemudian ia menghapus pesan dari Dhike. Setelah selesai, sesegera Sendy menaruh kembali ponsel tersebut dikasur.
Sendy membantu Ayu mengemasi barang barangnya. Setelah selesai ia memegang pundak Ayu lalu tersenyum.
"Aku akan mengurusi biaya administrasinya."
Udara pada malam hari begitu dingin, sekitar pukul sebelas malam. Disaat yang lain tertidur, justru Melody dan Dhike masih bersama ketika itu, mereka mengenakan jaket tebal dengan corak yang sama. Dibawah bulan besar yang indah mereka bertumpu dibawah tanah yang dilapisi rumput tebal ditaman. Suasa tenang serta pemandangan yang terbentang luas membuat hati terasa tentram, sangat cocok untuk berangan angan.
Hampir tidak ada suara apapun yang terdengar, yang ada hanyalah suara hembusan angin yang menerpa kulit. Keduanya tersenyum geli dengan pandangan kedepan, mereka sedang berangan angan. Kemudian Melody menoleh ke arah Dhike.
"Kamu lagi pikirin apa? Keliatanya penuh dengan kegembiraan."
Dhike tertawa geli. "Kamu dulu, apa yang kamu pikirkan?"
"Kalo aku ... Hmmm, Aku bersama dengan teman teman yang sangat aku sayangi, dan saat itu kami sedang bersama sama berada diatas hamparan salju yang tebal terbentang luas. Seumur hidupku, aku begitu penasaran dengan butiran putih kristal tersebut, aku ingin merasakan genggamannya. Aku berjalan menginjak tumpukan salju dengan lilitan kain tebal yang menyelimuti tubuhku, syal yang memutar tepat dileherku dan juga sarung tangan yang tebal, aku ingin merasakan itu semua. Bagaimana dengan mu? ceritakan."
"Aku ingin kembali seperti dulu lagi, dimana saat masa kecilku itu sungguh menyenangkan. Bersama keluarga dan juga dirinya. Aku ingin melihat senyumannya yang sungguh indah, entah kenapa setiap orang memandang dirinya jika sedang tersenyum, hati terasa ikut terbawa oleh kegembiraan nya. Dan ..."
Ucapan Dhike terhenti, pandangannya terkunci pada salah seorang yang ada dihadapannya. Ia memandang Ayu yang sedang bersama dengan Sendy berjalan menuju ruang asrama dari kejauhan, Ayu tidak menyadari keberadaan mereka. Melody pun melihat keberadaanya. Perban kecil yang ditempelkan dibelakang kepala Ayu tidak terlihat sangking jauhnya, Jika Dhike sampai mengetahuinya mungkin ia akan mencemaskannya.
Kemudian Dhike melanjutkan kalimat yang dipotongnya barusan sambil memandang Ayu.
"Dialah orangnya, teman bermain yang kupunya saat kecil hanyalah dia. Walau umur kami masih sangat muda, tetapi kami tau apa itu arti berbagi. Dulu dia tidak seperti yang sekarang ini, jika ia terluka ia tidak pernah menunjukkannya, sebisa mungkin ia pendam dan menahan rasa sakit tersebut. Ia tidak ingin kalau aku mencemaskannya. Bahkan, ia mengobati rasa luka tersebut dengan perban yang ia ambil sendiri. Disaat kedua orang tua kami berangkat bekerja, kami sering sekali kelaparan. Walau Ibuku sudah menyiapkan makanan dimeja, namun Ayu tidak pernah mau untuk menyentuhnya. Ia berkata, Makanan itu dibuat hanya untukku, ia tidak berani mengambil jatah ku. Walau Ibuku sudah berkata untuk berbagi, dia tetap saja menolaknya. Dan kemudian aku bertanya apa alasan ia menolaknya, lalu ia menjawab bahwa makanan yang dibuat oleh Ibuku ku itu hanya untuk dirimu, aku tidak mengerti dengan jawaban konyol nya itu. Dahulu kamar apartemen kami saling bersebelahan, disaat hari makan siang tiba, Ayu lebih memilih kembali ke apartemennya dan memakan makanan cepat saji yang dibelikan oleh Ibunya. Aku diam diam memasuki kamar apartemennya, dan air mataku tidak bisa hentinya keluar. Aku melihat ia menangis tersedu sedu sambil berkata bahwa ia juga ingin merasakan masakan yang dibuat oleh Ibunya sendiri, seperti diriku. Aku begitu ambruk memandanginya, ia masih sangat kecil tetapi ia sangat mengerti apa itu artinya kasih sayang. Aku berusaha sebisa mungkin menahan untuk tidak mendekapnya, aku tahu bahwa ia tidak ingin aku mencemaskannya. Aku kembali keapartemen ku lalu aku membuatkan omelet untuk dirinya. Dengan wajah polosnya ia tersenyum senang setelah aku membuatkannya, kami makan bersama dan senyuman itu muncul kembali dari wajahnya. Aku jadi mulai mengerti, bahwa ia sangat membutuhkan kasih sayang."
Mendengar semua yang Dhike ucapkan tentang masa lalunya membuat hati Melody tersentuh. Ia ingin menangis namun sebisa mungkin ia tahan. Betapa indahnya masa lalu yang dilalui mereka, penuh suka maupun duka. Namun mereka berusaha bersikap tegar, saling membantu dan juga memberi kasih sayang. Memang pantas bahwa hubungan mereka itu lebih dari sahabat sekalipun, Mereka Saudara yang tidak bisa dipisahkan.
Kemudian Dhike kembali mengingat harapan Melody barusan, ia menoleh dan menatap Melody kuat.
"Suatu saat nanti aku akan mengajakmu untuk melihat salju, bahkan merasakannya. Aku janji."
Melody tersenyum senang mendengarnya. "Berkat omongan dan pengalaman mu bersama Ayu, aku jadi tahu betapa pentingnya yang namanya kasih sayang. Terima kasih, aku telah dipertemukan sahabat seperti kalian semua."
Bersambung ...
Writer : Chikafusa Chikanatsu
Terima Kasih Yang Masih Setia Mengikuti Kisah Novel Ini.
Ayo Dukung terus Novel ini dengan MemFollow kami di Twitter @JKT48fanfiction
Jika kalian mempunyai Pertanyaan bisa kirimkan ke alamat Email Parahesitisme@gmail.com
Copyright © JKT48 NOVEL
0 comments:
Posting Komentar