Misteri 48 (Part 5)
"Jadi lokasi orang itu ada disini. Hhaha. Cukup strategis juga untuk bersembunyi.." pikir Imo yang berhasil melacak dimana lokasi persembunyian Mr. Black
Maka di hari selanjutnya, Imo pun pergi ke tempat itu sendirian. Ia tidak mau mengambil resiko dengan mengajak yang lainnya karena mereka semua wanita, resikonya akan lebih besar bila ia gagal nanti. Setelah sampai di tempat persembunyian Mr. Black, ia masuk melalui jendela kayu di samping gedung yang cukup besar itu.
"Sial.. Jadi dulunya ini tempat pembuatan tekstil ya, sekarang udah nggak dipakai.. Banyak banget benang rajutan tekstil yang berserakan. Tapi dari mana orang itu bisa menemukan tempat seperti ini ya? Hmm.." batin Imo.
Ia menyusuri setiap ruangan yang ada disana. Ia membawa senter sebagai alat penerangan, dan juga tas yang selalu melekat di pundaknya itu.
"Ini ruangan terakhir di tempat ini. Sepertinya, mereka ada disini.." pikir Imo. Ia lalu membuka pintu ruangan itu.
"Loh.. Kok gampang banget dibuka? Nggak kayak pintu ruangan lain. Jangan-jangan..?" batin Imo ketika membuka pintu itu.
Lalu ada beberapa kayu jatuh dari atas di tempat Imo berdiri. Imo lalu menghindari itu. Namun ada satu kayu yang mengenai bahunya.
"Sial.. Bahuku.. Jadi dari dalam pintu ini ada tali tekstil yang menarik kayu-kayu itu saat dibuka. Saat tali itu putus, topangan kayu pun roboh dan kayu-kayu itu jatuh. Hmm.. Pintar juga si Mr. Black itu.." pikir Imo.
Ia lalu kembali masuk ke ruangan itu. Kali ini ia lebih waspada, melihat jebakan sebelumnya yang cukup berbahaya. Ia menyusuri ruangan itu, dan masuk ke salah satu ruangan kecil di sudut kiri. Ketika ia masuk, ia melihat ada Mova dan Rica disana. Mova dan Rica berteriak, namun karena mulut mereka di lakban, Imo tidak tahu apa yang mereka berdua katakan. Maka Imo pun masuk kesana perlahan-lahan. Mova menatap ke arah kanan berkali-kali sambil melirik kesana, Imo yang tahu maksudnya, lari langsung ke dalam. Ia tidak terkena kayu yang bergelantungan dari arah kirinya itu.
"Lagi-lagi memanfaatkan tali bekas tekstil, lalu memotongnya. Sehingga kayu itu bergelantungan dengan tali tambang yang menggantungnya.." batin Imo.
Ia dengan sergap langsung mendekati Mova dan Rica. Tapi ketika berlari, ia tidak sadar kalau ada beberapa paku payung yang berserakan di lantai itu. Maka ia menginjak beberapa paku payung itu.
"Sial.. Untung aku pakai sepatu yang cukup tebal alasnya.." pikirnya.
Berhasil mendekati Mova dan Rica, ia lalu melepas lakban di mulut mereka berdua. Begitu juga melepaskan ikatan tali di tangan mereka.
"Kalian nggak papa kan?" tanya Imo.
"Iya, kita nggak papa. Ngomong-ngomong kamu siapa?" tanya Mova.
"Aku Imo. Aku temen Stella, Melody, dan lainnya.."
"Ohh.. Kenapa bisa tahu kami disini?"
"Ntar aja jelasinnya. Yang penting sekarang kalian keluar.."
"Gimana caranya? Tempat ini banyak jebakannya.." keluh Rica.
"Iya juga sih.." kata Imo.
"Eh, kalian udah makan?" tanya Imo.
"Tadi pagi udah dikasih makan. Siang ini belum.." jelas Mova.
"Yaudah nih, makan dulu roti buatan Ibuku. Lumayanlah buat ganjel perut. Hhehe.." kata Imo sambil mengeluarkan roti dari dalam tasnya.
Mova dan Rica memakan roti itu. Sementara Imo masih memikirkan bagaimana cara mereka keluar dari tempat itu.
"Kalau telepon polisi, kurang lebih 20 menit mereka baru bisa sampai. Itu terlalu lama. Tapi kalau lewat jendela itu, terlalu tinggi. Sial.." pikir Imo.
"Apa kalian berdua berani keluar dari jendela itu?" tanya Imo sambil menunjuk ke salah satu jendela.
"Turun ke bawah? Pakai apa? Berani aja sih.." ucap Rica.
"Baguslah. Pakai tali tambang, aku bawa di tas. Udah siap-siap dari rumah tadi. Hhehe.."
"Yaudah ayo cepet. Sebelum Mr. Black dateng kesini.." ajak Mova.
Imo memecahkan kayu yang menjadi tutup di jendela itu. Lalu mengikatkan tali tambangnya ke jendela yang sekatnya terbuat dari besi itu.
"Udah nih. Kayaknya kuat kok. Tapi cepet ya turunnya, kalian duluan.." kata Imo.
"Iya.." kata Mova.
Mova pun lalu turun melalui tali itu. Dan ia sudah sampai ke bawah dengan selamat. Kini giliran Rica. Disaat Rica turun..
"Ternyata kalian mau melarikan diri ya? Hhahaha.. Jangan harap.." teriak Mr. Black.
"Sial.. Kenapa di saat seperti ini.." batin Imo.
"Rica, kamu cepet turun!" perintah Imo.
"Iya.." kata Rica. Ia turun ke bawah secepat mungkin.
Sementara Mr. Black berjalan mendekati mereka, Imo melempar paku payung dari dalam tasnya ke lantai. Itu membuat langkah Mr. Black sedikit lambat karena memilih jalan yang aman. Kini jarak mereka semakin dekat, hanya sekitar 10 meter. Imo melihat ke bawah, Rica sudah sampai di bawah.
"Kalian cepet pergi dari sini, kembali ke sekolah dan beri tahu yang lainnya. Tapi jangan kembali kesini lagi.." teriak Imo dari atas.
"Kamu sendiri gimana?" teriak Mova.
"Hhaha.. Nggak usah khawatirin aku, aku bisa jaga diri sendiri.." jawab Imo.
Mova dan Rica lalu berlari pergi dari tempat itu. Mr. Black berlari keluar dan mencoba mencegah mereka. Imo lalu menarik tali tekstil yang ada di dekatnya, dan pintu ruangan itu tertutup.
"Apa? Sial.." kata Mr. Black.
"Hhe.. Jebakan yang kau gunakan lumayan, aku hanya menggunakan trik bodoh mu itu.." jelas Imo.
"Jadi anak itu sudah tahu tiap fungsi dari tali tekstil disini. Kapan dia menyadarinya?" pikir Mr. Black.
"Bocah, apa kau pikir dengan mencegahku keluar dari ruangan ini, kau sudah aman? Hhaha.. Jangan bodoh!" teriak Mr. Black.
"Dia betul. Justru aku yang terancam karena dia udah lebih lama disini dan tahu tempat ini lebih terperinci dari aku. Tapi apa boleh buat, aku udah ambil resiko ini dari awal aku kemari. Sekarang apa yang harus aku perbuat? Ada berapa jebakan lagi disini?" pikir Imo.
Ia lalu melihat tali-tali yang berserakan di ruangan itu. Melihat dari ujung ke ujung.
"Hah? Tali itu? Hhe.. Jadi begitu.." batin Imo.
"Apa yang kau pikirkan bocah bodoh? Kematianmu sudah dekat, berdoalah. Mungkin ini hari terakhir kamu bertemu keluarga dan teman-teman perempuanmu itu.. Hhahaha.." ucap Mr. Black.
"Apa kau bilang? Kau mau membunuhku? Coba saja kalau bisa.." gertak Imo.
"Sialan kau bocah..!" teriak Mr. Black.
Mr. Black lalu berlari ke arah Imo sambil membawa kayu ditangannya.
"Tepat di bawah kipas di atap itu, ya betul.." pikir Imo.
Imo tersenyum dan melihat langkah serta tubuh Mr. Black, lalu melihat ke kipas yang ada di atap itu.
"Sekarang..!" pikir Imo.
Dan ia memotong tali tekstil yang di ikat di dekat kursi tempat duduk Mova tadi. Maka kipas di atap itu terjatuh..
"Apa? Sialan.." teriak Mr. Black.
Bruuukk. Suara kipas itu jatuh dari atas.
"Apa kena?" pikir Imo.
"Kurangajar.. Aku terkena jebakanku sendiri.." ucap Mr. Black sambil memegangi kaki kanannya yang kejatuhan kipas besar itu.
"Heh.. Jadi kena kaki saja ya? Padahal aku mengharapkan kepalamu.." kata Imo.
"Bocah.. Bagaimana bisa kau tahu kalau tali itu yang di ikatkan ke kipas di atap? Padahal banyak sekali tali tekstil yang berserakan di lantai ini.." tanya Mr. Black.
"Ketika kau melepas ikatan tali di tangan Mova, aku melihat ada tali yang terikat di besi dekat kursinya. Pertamanya aku tidak sadar tali untuk apa itu, setelah aku melihat dari ujung ke ujungnya, ternyata kipas besar yang menimpamu itulah jebakannya. Dengan kata lain, semua jebakan yand kau pasang disini itu murahan dan mudah ditebak.." jelas Imo.
"Kurangajar sekali anak ini.." batin Mr. Black.
"Dan dengan kaki mu yang terluka itu, aku punya tambahan waktu untuk keluar dari ruangan ini.." tambah Imo.
"Hhahahaha.. Apa kau pikir bisa semudah itu lari dariku yang bahkan polisi saja tidak bisa menangkapku ini? Tapi aku akui, kaulah orang pertama yang bisa mengungkap jebakanku sampai sedetail ini. Namun, jangan terlalu senang dulu sebelum kau melihat apa yang ada di saku kiri ku ini.." jelas Mr. Black.
"Hah? Apa itu? Sial, pistol? Dari mana kau dapatkan pistol itu?" tanya Imo.
"Tidak sembarang orang boleh memiliki pistol. Harus ada izin dan sebagainya untuk itu. Tapi, orang ini.. Apa mungkin ia polisi?" batin Imo.
"Aku mendapatkan ini dari salah satu polisi yang mencoba menangkapku, namun gagal. Maka aku ambil pistol dan perlengkapannya.." kata Mr. Black.
"Sial.. Sekarang nyawaku benar-benar terancam.." batin Imo.
"Hhahaha.. Apa yang akan kau rencanakan sekarang bocah jenius? Tidak mungkin kau bisa lebih cepat dari peluru di pistolku ini.. Hhahaha.." ucap Mr. Black.
"Pistol yand dia pegang nggak salah lagi, itu jenis pistol revolver. Kapasitasnya 6 peluru, bisa ditembakkan single atau langsung double. Bentuknya yang ringkas pasti ringan. Tapi tinggal berapa peluru di pistol itu? Itu masalahnya.." pikir Imo.
"Hhahaha.. Ini sudah terlalu lama, aku akan membunuhmu sekarang bocah..!" kata Mr. Black.
"Tunggu! Masih ada berapa peluru di pistol milikmu itu?" tanya Imo.
"Dasar bodoh! Aku tidak akan menjawab pertanyaan konyol seperti itu.." teriak Mr. Black.
"Aku tahu, pistol mu itu pasti hanya menyisakan satu peluru saja kan?" tanya Imo lagi.
"Hhahahahahaha.. Tidak masalah berapa peluru yang tersisa di pistol ini, yang jelas itu cukup untuk membunuh mu disini..!" kata Mr. Black.
"Stella, Melody, dan lainnya.. Apa yang akan kalian lakukan kalau kalian ada di posisiku saat ini? Hmm.." pikir Imo.
Imo tidak pernah membayangkan kalau ia akan mati di hari itu juga. Ia masih ingin hidup, karena masih banyak hal yang harus ia lakukan.
"Eh.. Tunggu dulu.. Ketika mau menyerangku tadi, ia memegang kayu besar itu dengan tangan kiri. Artinya ia sebenarnya kidal. Dan bila sekarang ia memegang pistol itu dengan tangan kanannya, ada kesempatan sekitar 2 detik sebelum dia menembakku. Hmm.. Kalau begitu, tidak masalah 2 detik asalkan aku selamat.." pikir Imo.
Ia lalu mengambil sesuatu dari tasnya.
"Hey bocah! Apa yang kau lakukan? Akan kubunuh kau sekarang juga..!" teriak Mr. Black.
"Aku hanya mengambil handuk ini.." kata Imo sambil menunjukkannya.
"Hhahaha.. Apa kau pikir dengan benda seperti itu, bisa menyelamatkanmu dari pistol ku ini?" gertak Mr. Black.
"Kita lihat saja nanti.." kata Imo.
"Baiklah, akan ku uji keberanianmu itu. Hhaha.."
"Huh.. Baiklah. Akan kulemparkan kayu ini ke arahnya sebagai pengalih, dan saat itu aku akan keluar dari sini.." pikir Imo.
"Akan ku bunuh kau sekarang bocah!" teriak Mr. Black.
"Sekarang!" teriak Imo.
Imo melempar kayu yang cukup besar di sampingnya ke arah Mr. Black, maka secara reflek ia menghindar. Di saat itu, Imo keluar dari jendela secepat mungkin. Mr. Black yang memindahkan pistolnya ke tangan kirinya lalu menembak Imo, namun telat. Ia seudah keluar. Maka Mr. Black pun melihat ke bawah dari jendela, ia lalu kaget..
Dan bukk. Suara wajah Mr. Black terkena pukulan Imo yang tangan kanannya sudah dipasangi keling atau besi yang biasa dipakai di tangan untuk tawuran.
"Sial.. Anak itu memukul mata dan wajahku hingga berdarah.." teriak Mr. Black.
Imo lalu langsung turun dengan cepat. Ia merosot dari atas dengan tangannya yang sudah di pakaikan handuk, sehingga tangannya tidak lecet saat terkena tali tambangnya itu. Ia lalu langsung berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu.
"Ternyata sebelumnya anak itu sudah menyiapkan besi keling itu di bawah pinggiran jendela ini. Ia melempar kayu ke arahku untuk mengalihkan perhatianku, dan ia juga tahu kalau aku ini kidal. Maka ia berani ambil resiko ini. Dan handuk itu, ia gunakan untuk melapisi tangannya saat turun dengan cepat dari tali tambang tebal ini. Kurangajar.. Semuanya sudah ia pikirkan.. Anak itu akan menjadi target terakhirku setelah aku mendapat target utamaku.. Tunggu saja bocah.." pikir Mr. Black.
~ To be continued ~
Copyright: relatable48.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar