Este Regalo Especial Parati, Stella #4
Memasuki minguu pertama bulan November—sudah 48 hari Stella belum sadarkan diri—aku pun masih setia menantinya hingga sadar. Kemudian, pukul 24.01 WIB—tepat tanggal 3 November, ulang tahun Stella yang ke-18—tangan kananku yang memegang tangan kanannya bergerak-gerak, aku pun berusaha membuka mataku. Aku sontak kaget!! Melihat perlahan kedua mata bidadariku terbuka.. dan handphoneku bergetar-getar “03 November 2012 Cici Stella’s Birthday” itulah tulisan yang tertera di layar handphoneku—karena aku sengaja membuat reminder di handphoneku tentang ulang tahun Stella—aku merasa sangat bahagia saat itu pula. “aku mau berteriak, tapi masih pagi, kalo nggak teriak, rasanya hati ini tidak lega.. ah, rempong amat!” gumamku dalam hati.
“hmm.. ini Gunung ya??” kata Stella dengan nada yang kurang keras. “
iya, Cici.. ini aku..” jawabku sambil menangis bahagia.
“ini jam berapa, dan hari apa??” tanyanya keheranan.
"Jam 24.01 WIB, tepat hari ulang tahunmu yang ke-18!!” Jawabku.
“ya, ampun! Beneran ya?” jawabnya lagi sambil berusaha bangun.
“iya, kapan sih aku bohongin kamu?” kataku sambil menghapus air mata.
“kok kamu nangis? Sapa yang nyakitin kamu?” Tanya Stella sambil menghapus air mata di pipiku. Halus!! Tangan yang sudah lama tak kusentuh.. kini menghapus rasa rinduku dengan sentuhannya.
“nggak nangis kok, cumin kelilipan aja tadi.. perih banget” jawabku mengalihkan perhatiannya. Aku terpaksa berbohong supaya dia tidak meneteskan air mata.
“hiks, hiks..” Stella perlahan menangis bersamaan dengan hujan gerimis di pagi hari diluar RS. “Lho, lho.. bidadari kok nangis sih?” tanyaku.
“aku, aku, terharu.. ma kesetiaanmu..” ujarnya sambil tersenyum terisak-isak.
“Terharu?? Kok bisa??” tanyaku. “aku kerasa banget kehadiranmu di sisiku, tiap hari..” katanya masih sambil meneteskan air mata. “kamu ada ada aja deh.. oh, ya, Ffeeliz Cumplee 18th, Cici Stella Cornelia!! Longevidad, Dios Los Bendiga—Selamat Ulang tahun 18th, Cici Stella Cornelia!! Semoga panjang umur, Tuhan memberkatimu selalu—sambil ku berikan hadiah Jersey Team kesayangannya, AC Milan. Aku segera berdiri dari tempat dudukku untuk memberikan hadiah kedua yang langsung dari lubuk hatiku yang terdalam, ku pegang keuda sisi kepalanya dengan kedua tanganku, dan kucium keningnya yang tertupupi oleh poni. Kulihat ekspresinya wajahnya sedih bercampur senang. “muchas gracias.. arigatou gozaimasu.. matur nuwun sanget..” jawabnya. “si, el mismo, doitheshimasite, inggih sami-sami..” responku sambil menghapus air mata di keuda pipinya dengan menggunakan jempol tangan kananku. Kemudian aku menyuruhnya untuk kembali tidur dan beristirahat. “udah, kamu sekarang bobo, gih..” ucapku dengan mengelus-elus rambut panjangnya yang terurai lembut. Dia hanya mengganguk kepala sambil memerlihatkan senyuman manisnya. Saat itu waktu menunjukkan pukul 02.15 WIB. Aku pun segera pergi ke kamar kecil. Tiba-tiba langkahku tertahan, oleh suara lembut yang terlontar dari bidadari yang kehilangan sayapnya karena patah. Suara itu berasal dari belakangku.
“Gunung..” ucap Stella.
“Iya, Cici?” ucapku sambil menoleh ke arahnya.
“Kamu mau kemana?” tanyanya.
“ouh, cuman mau ke kamar kecil kok” jawabku pelan.
“oh, iya udah deh, jangan lama-lama” pinta Stella.
“aku hanya menganggukan kepala—aku berniat Sholat Tahajud untuk memohon kesembuhan bagi Stella—setelah mengambil air wudhu, aku beranjak kembali ke tempat Cici Stella dirawat, aku mengambil alat sholat yang berada di dalam tas. Kemudian aku menyegerakan Sholat. Aku mengerjakan sholat untuk kesembuhannya. Saking sedihnya, aku tak sanggup lagi untuk membendung air mataku. Satu persatu, air mata ini menetes, membasahi sajadah sholatku. Tadi. Setelah berdoa, aku pun kembali tidur sejenak, karena nanti pukul 03.45 WIB, Adzan Shubuh berkumandang. Kemudian tak terasa, Adzan pun berkumandang. Aku segera terbangun dan kembali mengambil air wudhu, dan kebetulan, aku bertemu dengan dokter yang merawat Stella yang juga sedang menuju ke Musholla.
“oh, hai, nak..” sapa dokter itu.
“selamat pagi, dok..” balasku.
“mau kemana kamu pagi-pagi begini?” Tanya dokter sambil merapikan baju koko-nya
“Saya mau ke Musholla, dok” jawabku dengan ramah.
“Oh, kebetulan saya juga menuju ke arah yang sama
“sekalian saja, sholat berjamaah, dek”. Kata Dokter.
Bersamaan dengan itu, iqomah pin berkumandang, dan kamis segera mempercepat langkah kaki kami menuju Musholla RSSA.
Setelah selesai sholat berjamaah, aku kembali ke kamar Stella, dan dia masih tertidur lelap, kulihat senyuman manis terpancar di wajah cantiknya, aku pun kembali tidur. Sekitar 60 menit kemudian—aku mengira-ngira awal jam saat akan tidur dan saat bangun—Suster membangunkanku, dan mengingatkan ku agar aku pergi ke sekolah. Aku saat itu tertidur di sisi ranjang Stella. Terdengar sayup-sayup suara perbincangan antara suster dan Stella—saat itu aku memang sulit dibangunkan—
“biar saya saja, sus yang membangunkan..” kata Stella.
“hmm.. baiklah kalau begitu, saya tinggalkan kalian berdua ya” ucap suster. Sejenak kemudian, terdengar suara langkah kaki sepatu dari suster itu.
“Gunung..” ku dengar seperti suara yang taka sing lagi bagiku, yaitu suara Stella yang hangat memecah kesunyian alam tidurku. Dia memanggil namaku sambil mengusap-usap rambutku.
“Gunung.. bangun.. sudah pagi.. kamu musti ke sekolah” ujar Stella.
“hmm..” gumamku sambil berusaha bangun.
“ayoo, bangun jagoan,, jangan tidur mulu, bangun gih” sambil merayuku.
“aaa.. bentar aja, 5 menit..” elakku.
“tak siram pake air lho..” candanya.
“hah.. !! iya, iya aku bangun..” langsung aku berdiri dari tidurku.
“hahaha kena deh, kamu..” Stella tertawa dengan bahagia.
Kami pun bercanda berdua sebelum aku berangkat ke sekolah—sebelumnya, aku terlebih dulu pulang untuk mandi dan sarapan—setibanya di sekolah, bel berbunyi. Aku segera berlari menuju ke kelas, kebetulan aku berbarengan dengan perempuan yang tidak pernah kutemui sebelumnya. Good morning aku ucapkan, aku agak dicuekin.. kulihat dia beralri menuju kelas XII B diujung
Koridor, dia memiliki ciri-ciri berambut panjang, berkulit putih, berwajah oriental—lebih ke Jepang—tingginya kira-kira sekitar 168Cm atau kurang 2cm untuk menyamai tinggiku. Sekilas kulihat namanya, Rena. Lalu aku menginjakkan kakiku di kelas. Disana sudah ada guru Bahasa Inggris yang cantik dan berambut panjang. Miss Anis, itulah namanya.
“Assalamuallaikum..” ucapku sambil mencium tangan kananya.
“Waalaikumsalam.." balas Miss Anis dengan ramah.
“Oii oii oii, Nung.. inget ada Cici lho!!” sahut Adit.
“Hahahahaha..” seluruh kelasku tertawa karena ucapan Adit.
Aku hanya bisa tertunduk malu.
“sudah, jangan ramai, ini masih pagi.. kamu, kembali ke tempat dudukmu sana” kata Miss Anis dengan halus. Aku segera beranjak dari tempatku berdiri di awal barusan menuju tempat dudukku yang terlihat kosong tanpa kehadiran sosok Stella Cornelia yang biasanya duduk bersamaku. Sepi rasanya tanpa kehadiran seorang Cici walaupun kelasku terkenal paling ramai dengan “kicauan” anak-anaknya, bagiku, kelas ini hampa dan kosong, tanpa adanya Stella. Suasana kelas yang ramai ini, kurasa hanya sepi. Bidadari yang setiap hari menemaniku, yang duduk tepat di sebelah kiriku, kini tiada. Ida masih belumbisa mewarnai hari-hariku di sekolah lagi seperti dulu. Aku hanya bisa menatap senuman manisnya lewat foto-fotonya di handphoneku, ada foto Stella dengan adikku, Achan, dan Jeje, ada pula foto dengan kakak-kakakku, Ve dan Melody. Beruntung aku mempunyai teman-teman yang perhatian terhadapku. Seperti, Adit, Iksan, Ja’far, Ivan, Hendra, Banani, Arka, Bima, Puguh, Etsa, dan Pandu. Mereka bergantian menghiburku, entah dengan cara mentraktirku bermain futsal, game online, atau hal-hal positif yang lainnya. Dan saat bel istirahat berbunyi, “it’s time to have break..” perutku menjerit kelaparan, baru saja aku akan mengajak Etsa menuju ke kantin, dia kemudian menepuk pundakku dari arah belakang “Nung ayo ke kantin.. laper gue” “ayo, gue juga kelaperan ini..” semabri aku bangun dari dudukku. “oi, guys kaga ada yang mau ke kantin bareng gue ma Etsa??” tanyaku. “gue ntar aje sob, pulang sekolah” kata Ja’far, diikuti dengan Ivan dan Iksan. Sementara sisanya mengatakan tidak dengan melambaikan tangan padaku maupun menggelengkan kepala.
Di perjalanan ke kantin, aku bertemu dengan perempuan yang tadi pagi ku temui. Langsung saja Etsa terpaku terpanah melihat sosok perempuan tersebut, dan langsung melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku secara tiba-tiba.
“eh, sob.. tau nggak sape tuh cewe??” Tanya Etsa sambil terus memandanginya yang sedang duduk berdua dengan adikku, Achan.
“yang mana??” tanyaku balik.
“yang itu, lho.. putih, tinggi, wajahnya kaya Jepang-Jepang gitu” ujar Etsa sambil menepuk-nepuk pundakku dengan mengarahkan jari tanganya menuju si Rena.
“ooh, yang itu, hmm.. Rena namanya, sob” jawabku sambil melirik kea rah Rena yang sedang menikmati makan siang bersama adikku yang biasa ku panggil, “ikan kecilku”
“widii.. cakep bener tuh, cewe, gue demen nih yang begini-begini” ucap Etsa dengan nada serius.
“Awas, ngiler lu sob, gue kaga ada ember nih” kataku bercanda.
“kaga, nyantai aja.. hahahaha..” ujar Etsa sambil tertawa.
Dalam sehari itu aku mulai bisa sedikit lepas dari ketergantungan akan sosok Stella. Dan hari itu pula banyak hal yang tak terduga terjadi. Seperti saat Beby terjatuh ketika latihan dance, dan segeralah Pandu menghampirinya untuk membantunya bangun, atau juga aksi Hendra mencoba menggoda atau bahkan merayu Shania dengan rayuan-rayuan gombalnya—kembali ke Etsa—Etsa kusarankan untuk berkenalan dengan Rena—dia adalah murid pindahan dari Jepang, yang merupakan adik sepupuku, Achan, Rena ikut orang tuanya berkerja di Jakarta sebagai Konsultan bisnis Indo-Jepang—kami pun pergi menghampiri mereka berdua yang sedang asyik bercanda dengan menggunakan bahasa Jepang. Kami pun memesan makanan, sembari menunggu makanan dating, aku berusaha memperkenalkan Etsa pada Rena, dengan cara berkata pada adikku, Achan, dan dia salurkan ke Rena menggunakan bahasa Jepang. Sebetulnya Rena sedikit bisa menggunakan bahasa Indonesia, tapi tentu saja tidak selancar orang Indonesia asli. Aku dan Ayana hanya bisa tertawa melihat tingkah si Etsa dan Rena yang bertolak belakang.. Etsa berusaha menunjukkan bahwa dia pandai dalam merayu wanita dengan bahasa Jepang, dengan bahasa yang tak kumengerti—bahkan Ayana juga tidak memahami bahasa yang digunakan oleh salah satu sahabatku ini—Rena hanya diam membisu sambil menoleh kea rah Ayana sesekali untuk membantunya menerjemahkan apa yang dimaksudkan oleh Etsa, Achan hanya bisa mengangkat kedua tangannya dengan raut wajah keherananan. Dan pada akhirnya makanan pun tiba, sejurus kemudian, aku meminta Achan untuk membantu si Etsa yang terihat mulai frustasi dengan usahanya.
“dek, kasian mereka, bantuin Rena gih..” pintaku sambil menggeser kursi di sebelah Achan, untuk berpindah tempat supaya lebih dekat dengan Achan.
“haha, iya juga sih, kak..” kata Achan sambil tertawa dengan tangan kanan menutupi mulutnya. Akhirnya pun komunikasi antara keduanya pun terkoneksi, kulihat tatapan diantara mereka seperti telah menunjukkan kesiapan masing-masing individu untuk menerima kerkuangan dan mempertahankan kelebihan masing-masing. “aku rasa mulai ada chemistry diantara keduanya” gumamku dalam hati. Tertawa, hanya itu yang bisa kulakukan, karena perlahan aku kembali teringat oleh sosok Stella, saat itu aku berbicara dengannya, berdua saja di Alun-alun kota, saat itu mungkin moment terindahku bersamanya, kutatap kedua bola matanya yang indah, ku pegang erat kedua tanganya ditemani matahari sore yang perlahan terbenam. Dan saat itu pula, kami saling berbagi cerita dan pengalaman—flashback to ‘Cinta Yang Terpendam dan Tak Tersampaikan’—tertawa bersama, bercanda bersama hingga makan malam bersama, ada 1 buah lagu yang selalu menemani ku dengan Stella saat itu, Lifehouse – You And Me itulah judul band dan lagunya yang cukup romantic menurutku. Ketika itu, kamu Dinner di tempat tak jauh dari alun-alun kota Malang. Walaupun saat itu bukan menu mahal yang aku berikan pada Stella. Stella juga memahami kondisiku saat itu. Karena aku juga bukan berasal dari keluarga papan atas. Saat makan malam, kami bercanda sampai-sampai aku tersedak karena terlalu sering tertawa, segeralah Cici menepuk-nepuk punggungku dengan halus dan kemudian memberikanku air putih. Tak lama kemudian, tersedakku hilang, dan Stella terlihat lega, dan senyuman mans terpancar dari wajah cantiknya.
“Nung.. bengong aja lu, sob!” kata Etsa sambil menepuk-nepuk pundakku.
“kakak..kakak Gunung..” sahut Achan.
Aku pun sekejap sadar dari mimpiku tadi, seolah itu benar-benar terulang kembali, tetapi di masa yang berbeda—dejavu—
“lho.. kok matanya berkaca-kaca, kak??” Tanya Achan.
“Apa?? Barusan aku menguap, jadi gini deh.. hehehe” elakku.
Teringat kenangan indah bersama Stella dulu, membuat pipi ini seolah siap untuk dibasahi air mata kerinduan akan kehadiran orang yang disayangi. Tetapi, tak lama kemduan, air mataku tak terbendung lagi, dan segera ku hapus bersamaan dengan bel masuk kelas. Aku dan Etsa segera pamit untuk kembali ke kelas—sebelum berkenalan dengan Rena, Etsa dan aku sempat menghabiskan makan terlebih dahulu—
“gimana nih, sob, Rena tadi??” tanyaku menggajak Etsa bercanda.
“haha, kawaii sugoii, sampe gue dapet nomer hapenya sob!” Sahut Etsa dengan penuh antusias.
“hahaha.. GJ, GJ! Great Job..” kataku member motivasi. kami pun tertawa sambil melakukan Toast.
Sesampainya di kelas, guru masih belum dating, tak lama kemudian dating guru piket. Beliau memberikan tugas, karena ada guru mata pelajaran yang bersangkutan, tidak dapat menghadiri pelajaran, dikarenakan ada urusan keluarga yang mendesak. Tugas yang diberikan pun ditulis di papan tulis oleh guru piket tersebut, dendan menggunakan spidol berwarna hitam. Tugas yang diberikan ialah, membuat cerpen atau novel. Minimal untuk cerpen adalah 5 lembar, dan lebih dari 1000 kata. Sedangkan untuk novel, minimal 15 lembar kertas A4..
Tunggu kelanjutan kisahnya ya~~
To Be Continue..
Gunung Mahendra
@GunungCornelia
0 comments:
Posting Komentar