“ Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa Nabilah tiba-tiba masuk ke dalam rumah? “ pikirku dalam hati.
Melody pun turun dari sepedaku. Dia berterima kasih atas tumpangan tadi. Kemudian meninggalkan aku dan menuju kerumahnya. Sesekali dia menoleh kearahku dengan senyuman manisnya. Sungguh mempesona...
Aku pun segera pulang karena hari sudah mulai petang. Sebenarnya aku pengen mampir ke rumah Nabilah, sekalian mau tanya ada masalah apa.
***
Keesokan harinya, seperti biasa, aku menjemput Nabilah. Entah kenapa wajah Nabilah menjadi agak murung dan jarang bicara. Aku mencoba untuk tidak bertanya dulu. Toh biasanya di jalan bakalan cerwet lagi.
Tapi dalam perjalanan menuju sekolah bahkan sampai pada tujuan, dia tidak secerewet biasanya. Malah aku yang jadi cerewet tanya ini itu. Itu berjalan hingga sampai di gerbang sekolah. Saat turun aku bertanya, namun sepertinya dia tidak mendengar atau dia pura-pura tidak mendengar?
Waktu istirahat kusempatkan ke taman sekolah. Aku melamun memikirkan Nabilah. Dari kejauhan ada yang memanggil namaku. Oh, suara lembut itu. Aku yakin pasti Melody. Setelah agak mendekat, benar itu Melody.
“Kenapa kamu ngelamun? “ tanya Melody
“Ah, ngga kok Mel, tadi aku kepikiran Nabilah” jawabku
“Cie yang lagi...
“Bukan itu, dia terlihat agak murung hari ini”potongku
Aku meminta tolong Melody untuk menayakan kepada Nabilah. Karena mungkin kalau sesama cewek kan tidak terlalu risih. Dia pasti mau menolong. Melody sudah cantik, baik hati dan hmmmm, entahlah. Hey, kenapa ngliatin aku kayak gitu. Eh, ngga ko Mel. Kenapa aku jadi nglamunin Melody ?
***
Sekitar jam 6 pagi, kudengar ada yang memanggil namaku dari depan rumah. Aku segera menghampiri suara itu. Tidak biasanya Melody kerumah jam segini? “pikirku heran. Kulihat dia membawa bingkisan kado.
“Apa itu Mel?” tanyaku heran
“Ini kado buat kamu San.” jawabnya pelan
“Hah, aku kan gak ulang tahun?” balasku
“Emang bukan hadiah ultah sih.”
“Trus apa? Ngapain tiba-tiba kamu ngasih aku hadiah Mel? Hehehehe..”
“Bukan dari aku kok.”
“Dari siapa?”
“Dari Nabilah, ini tanda perpisahan katanya.”
“Nabilah? Emang dia kemana? Kok aku baru tau?“ tanyaku kaget setengah mati
“Katanya sih keluar kota, pindah rumah.”
“Bercandanya gak lucu ah Mel,”
“Siapa yang bercanda?”
“Ah, pasti bohong! Aku gak percaya. Aku mau memastikan sendiri!”
Tanpa berpikir panjangaku langsung berlari sekuat tenaga menuju rumah Nabilah. Aku meninggalkan Melody seketika. Sepertinya dia mengejarku dan berteriak seperti memanggil namaku. Namun aku tak menghiraukannya. Karena aku ingin membuktikannya sendiri.
Entah berapa orang yang lari pagi aku lewati. Berapa kali aku mengusap mataku karena terkena debu. Dan berapa kali air keringatku menetes dari wajah. Bahkan aku tak sengaja menabrak orang. Sepertinya aku berlari lebih cepat dari orang yang bersepeda.
Dalam hitungan menit aku sampai di rumah Nabilah. Kulihat pintu gerbang ditutup. Namun aku coba membukanya. Kebetulan tidak digembok. Aku menuju pintu dan mengetuknya beberapa kali sambil memanggil nama Nabilah.
Jangankan ada jawaban dari dalam rumah. Suara burung yang tadinya bernyanyi kini tidak terdengar lagi. Aku mengatur nafasku setelah berlari tadi. Air keringat sesekali masih keluar. Ku baru percaya setelah membuktikannya.
Terasa dada ini sesak dan susah untuk bernafas. Entah ada apa denganku? Baru kali ini aku merasakan kehilangan. Kenapa penyesalan selalu datang diakhir? Ingin sekali aku berteriak dan menangis saat itu juga. Namun entah kenapa aku tidak bisa menangis.
Awan yang tadinya cerah berubah menjadi mendung. Air hujan pun turun dengan perlahan. Jatuh satu demi satu membasahi alam. Mungkinkan kesedihanku telah diwakilkan oleh hujan? Belum sempat aku mengungkapkan perasaanku.
Iksaaaaan..
Terdengar suara halus Melody ditelingaku. Aku pun menoleh ke belakang. Ternyata dia dari tadi mengikutiku sampai kesini. Dan baru saja sampai sambil membawa bingkisan tadi.
“Loh Mel, kok kamu?” tanyaku bingung
“Iya San,” jawabnya dengan nafas yang belum teratur
Kulihat dia agak basah. Mungkin karena hujan, walau tidak terlalu basah kuyub. Begitu juga denagn aku. Karena hanya gerimis saja di pagi itu.
Kita berteduh di depan teras rumah Nabilah. Melody memberikan bingkisan tadi kepadaku. Aku meraihnya dan membukanya. Ada sebuah jam tangan dan sepucuk surat.
“Mas, maafkan aku karena gak bilang dulu kalau mau pindah rumah. Sebebarnya kemarin udah pamitan sama keluarga Mas. Tapi aku melarang untuk beritahu dulu ke Mas Iksan. Kemarin pagi aku tidak cerewet kaya biasanya karena aku ingin saat terakhir ketemu Mas gak nyeselin. Hheheehe. Sebenernya aku suka sam Mas Iksan. Tapi aku sadar, aku ini cewek. Sudah lama aku memendam rasa ini. Dan hanya berani ungkapkan lewat surat ini. Memang aku gak secantik, sebaik, setulus dan sedewasa Mbak Melody. Kemarin aku juga melihat Mas pulang bareng sama Mbak Melody. Dan aku akui kalau saat itu cemburu. Makanya aku langsung masuk kerumah. Kayanya Mbak Melody lebih pantes deh sama Mas. Oh ya, jam tangannya dipakai terus ya? Biar setiap waktu inget aku. Hihihihhi. Dan kelincinya dirawat sampai besar ya? Aku gak akan nglupain kenangan bersama Mas Iksan. Terima Kasih atas semuanya ya Mas? Jangan lupain aku juga.”
Tanpa sadar air mataku menetes. Padahal tadi tidak bisa menangis. Gerimis tadi sudah mulai reda. Air hujan mulai hilang. Namun justru air mataku yang mengalir. Aku memakai jam tangan pemberian Nabilah. Terasa sapu tangan mengusap air mataku.
Ku memandang wajah Melody. Entah kenapa sepertinya dia juga terlihat sedih. Dari pandangannya terlihat berbeda. Aku tersenyum pada Melody walau bercampur dengan ekspresi sedih. Dia membalas senyumku.
Aku memang bodoh tidak mengungkapkan dari dulu ke Nabilah. Disaat aku masih merasa kehilangan, justru saat itu seperti ada rasa terhadap Melody. Mungkin begitu juga dengan Melody. Semua terlihat dari sikapnya kepadaku.
Tapi aku masih sangat sayang sekali sama Nabilah. Memang sih, Nabilah nyuruh aku sama Melody. Tapi...
Aku masih bingung sekali dengan semua ini. Haruskah aku menanti Nabilah? Atau memilih Melody yang sudah pasti saat ini?
Iksan Kurniawan
@nustqiew
0 comments:
Posting Komentar