JKT48 NOVEL SEASON III #8
Title : Experience Of Jewel
Genre : Tragedy, Friendship, Inspiratif, Melodrama.
Story by : Chikafusa Chikanatsu
Ini Merupakan Kisah Fiktif.
2 Hari kemudian ...
Hari hari dimana Direktur Pelangi Entertainment idam idamkan kini datang juga. Disebuah ruang seminar, gedung Pelangi Entertainment, para peserta dengan angan angan tinggi serta wajah yang begitu antusias dikumpulkan menjadi satu. Siapa sih yang tidak mau ikut berperan menjadi bintang di perusahaan ternama tersebut. Akicha, Shiva serta Ayana duduk saling berdekatan. Perasaan gelisah terus menghantui Ayana, Ia menunggu Haruka saat itu, namun tak kunjung hadir. Ayana yakin, Haruka akan hadir dalam casting tersebut, sebab, keinginan lebih menyeramkan dari harta sekalipun.
Shiva menoleh pada kakaknya, Akicha, Ia memegang erat tangannya untuk menghilangkan rasa gugup yang menyelimutinya. "Kakak pasti bisa." Ucapnya.
"Kenapa kamu bisa begitu yakin?" Balas seseorang. Shiva menoleh pada orang yang memotong ucapannya, Ia terkejut senang bahwa orang itu adalah Sonya, teman seperjuangan Shiva saat Audisi waktu itu. Shiva beranjak dari kursi dan memeluk Sonya, Ia begitu rindu dengannya. "Apa kabar?" Tanyanya. Kedua bola mata Shiva menjelajahi sekeliling. "Dimana Shania, Cleo dan juga Jeje? Aku juga ingin bertemu dengannya." Tambahnya.
Mendengar pertanyaan terakhir dari Shiva membuat hati Sonya terluka, Ia sadar, diantara yang lain, hanya dialah yang belum bisa memenuhi angan yang lain. Keinginannya yang kedua setelah menjadi dancer, yakni Aktris, namun Sonya masih butuh waktu untuk memenuhi angan yang itu. "Mereka sudah sibuk dengan bidang yang lain. Hanya aku yang masih terus mengejarnya." Jawab Sonya.
Shiva jadi tidak enak hati. "oh, gitu. jadi, kita akan kembali berjuang bersama dalam Casting ini." Shiva menoleh pada Akicha. "Dia adalah kakak kandungku, Akicha."
Lantas Sonya tercengang mendengarnya. "kakak kandung? Aku kira kamu menyebutnya 'kakak' hanya untuk menghormati umur yang lebih tua. Jadi ..."
"Ceritanya panjang, kalau ada waktu akan aku jelaskan padamu dan yang lainnya." Potong Shiva.
Sebelumnya, memang Shiva pernah bercerita bahwa Ia hidup seorang diri, maka dari itu Sonya mendadak keheranan setelah tau bahwa sebenarnya Shiva mempunyai saudara kandung.
Akicha beranjak dari kursinya, Ia menghampiri Sonya. "Namaku Akicha, Senang berkenalan denganmu." Katanya dengan senyumnya. Sonya membalas seyumnya. "Aku juga."
"Dan aku Ayana, Aku harap kita bisa berteman baik." Kata Ayana.
"Tentu." Jawabnya.
Sebelum sesi Casting dimulai, Direktur Pelangi Entertainment akan menyampaikan sepenggal pidatonya pada para peserta. Ia berhadapan langsung dengan ratusan peserta. Dalam pertemuannya kali ini, Direktur ingin semuanya mengerti apa dari sebuah perjuangan dan juga mimpi.
"Bisakah aku minta perhatiannya sebentar. Direktur akan menyampaikan sedikit arahan pada kalian. Mohon didengar baik baik." Ucap kata pembawa acara.
Direktur berjalan kedepan, Ia memandangi para peserta dengan sungguh sungguh. Ia sempat melempar senyum dan kemudian mulai membuka mulutnya.
"Ketika seseorang sudah mulai menua, Ia akan mengkhawatirkan hal sekecil apapun, Baik itu masalah sepele atau mungkin masalah yang serius. Begitupun dengan apa yang aku rasakan pada kalian, di umurku yang sudah menginjak 46 tahun, aku mulai sadar bahwa aku mulai mencemaskan orang orang yang pernah aku bimbing di perusahaan ini. Yang muda tentu akan tua, dan yang tua pasti pernah merasakan masa muda. Akupun sama seperti kalian, aku mempunyai mimpi yang tinggi, dan aku sudah menggapai mimpi itu sekarang. Berbagai suka dan duka pasti terjadi dalam sebuah perjuangan. Maka dari itu aku merasakan betul apa yang kalian rasa, bagaimana jika kegagalan menghantui kalian, atau mungkin betapa senangnya saat diri kalian lulus." Kata Direktur.
Sebelum Direktur malanjutkan omongannya, Ia berjalan kedepan untuk lebih dekat dengan para peserta. Ia menaikkan tangan kanannya keatas. "Melalui tangan ini, aku bisa menggenggam dunia dengan semangat. Aku bukan tipe orang yang suka mendengarkan nasehat orang lain, aku keras kepala, dan aku seorang pemberontak. Maka dari itu aku mempunyai banyak musuh dikalangan orang banyak. Lantas mengapa saat ini aku bisa berdiri tegak dihadapan kalian? Karena aku lebih mempercayai diri sendiri ketimbang orang lain. Begitupun dengan kalian, Jika kalian ingin meraih mimpi yang tinggi, maka kalian harus percaya dan mengacuhkan kritikan kritikan yang muncul. Hari ini merupakan hari dimana kalian mempertaruhkan kepercayaan kalian pada angan yang kalian idam idamkan."
Seorang peserta berdiri dan memandang Direktur. Menurutnya, Ia tidak sependapat dengan ucapannya barusan. Ia menatap angkuh pada Direktur. "Aku pernah membaca buku, dan penulis buku yang aku baca merupakan penulis terkenal dan dikagumi banyak orang. Dalam buku tersebut menyebutkan, jika seseorang ingin sukses, maka dengarkanlah kritikan kritikan dari orang sekitar. Namun kali ini, aku mendengar kalimat yang berbeda. Bisa Anda jelaskan?"
Pertanyaan orang itu membuat semua peserta begitu antusias mendengar jawaban Direktur. Ini seperti perang sebuah prinsip. Direktur itu hanya bisa membalas senyum padanya, Namun, Direktur itu berniat balik bertanya padanya. "Sebelumnya, aku ingin bertanya padamu. Tindakan dan juga perkataan, mana yang kamu lebih percaya?"
"Tindakan." Jawabnya singkat.
Direktur mulai menjelaskan. "Ada kalanya seseorang memang harus menerima kritikan untuk memperbaiki kesalahannya, itu benar, menang benar. Namun, untuk menerima kritikan itu sendiri seseorang harus melihat situasi. Tidak semua kritikan itu akan bersifat baik nantinya, daripada mengandalkan sebuah kritikan yang diucapkan oleh orang lain yang masih diambang ketidakpastian, lebih baik mempercayai diri sendiri. Aku yakin bisa melaluinya, aku pasti sanggup dan aku ... Akan meraihnya melalui tangan ini." Ucapnya dengan penuh emosional.
Semuanya kagum mendengarnya, lagi lagi Direktur itu bisa membuat semuanya percaya bahwa sesuatu yang dikerjakan harus penuh dengan kepercayaan masing masing.
Beberapa saat kemudian, Setelah salam pembukaan selesai oleh Direktur Pelangi Entertainment diruang seminar, Rica menemui Direktur di ruangannya. Rica terlihat sungguh bergelora, gondok, hatinya meluap luap. Rica telah menerima kekecewaan darinya, setelah sebelumnya memang Rica sudah benar benar terpilih sebagai pemeran utama dalam Film tersebut, namun keputusan tersebut ditarik kembali oleh Direktur.
"Apa aku tidak salah dengar? Jadi, Anda telah membanding bandingkan diriku dengan para pemula disana? Ini sungguh tidak adil." Kata Rica.
Direktur membalasnya. "Seorang pembisnis melakukan keputusan dengan cara menandatangani sehelai kertas berisi sebuah kontrak, lantas kita belum pernah melakukan hal itu, jadi aku berhak mengubah keputusan tersebut."
Rica tidak mau kalah, Ia berusaha membuat omongannya dipertimbangkan. "Walaupun kita tidak pernah melakukan penandatanganan kontrak, tapi apa anda lebih mempercayai orang yang bahkan bisa dikatakan amatiran diluar sana dibanding dengan diriku yang sudah mendapat banyak pernghargaan?"
"Kelebihan mu membuat keserakahan timbul, aku takut jika kamu menerima kekecewaan dikarenakan ketamakanmu. Orang yang berbaik hati mempersilahkan orang lemah mendahuluimu, maka harga diri serta kelebihanmu akan diakui keberadaannya oleh orang lain. Apa kamu mengerti maksud dari ucapanku?" Kata Direktur menasehati Rica.
Rica semakin melawan, bagaimanapun Rica sungguh kecewa dengan langkah yang diambil oleh Direktur. Rica begitu antusias untuk bisa menjadi pemeran utama dalam film tersebut, sebab menurutnya film itu benar benar langka serta jalan cerita yang diambil sungguh jarang. Rica akan memanfaatkan keharuman namanya melalui Film tersebut. "Aku masih belum mengerti dengan Ucapanmu, namun yang pasti, aku tidak akan tinggal diam jika sampai aku tidak ikut berperan dalam Film itu. Anda yang sudah menaruh harapan dan menjunjung tinggi kelebihanku sejak lama, maka Anda mesti harus terus memakaiku. Aku permisi dulu." Kata Rica sembari mengakhiri percakapan mereka. Direktur yang mendengar ocehan Rica hanya bisa tertawa tipis.
Sebelum Rica melewati pintu keluar, Rica menjumpai Melody yang sepertinya Direktur memanggil Melody ke ruangannya. Tatapan sinis Rica melonjak memandang Melody, Sedangkan Melody hanya mengacuhkan keberadaan Rica dan terus berjalan menghampiri Direktur.
"Aku sudah disini, Ada perlu apa anda memanggilku?" Kata Melody.
"Duduklah." Kata Direktur mempersilahkan Melody duduk berhadapan dengannya.
"Seperti yang kamu lihat barusan, dan kenyataannya pun sepertinya aku memang harus mengulang Casting untuk Film itu. Aku bukannya tidak mengakui atau menghormati keahlianmu, hanya saja aku ingin membuat sesuatu yang beda. Aku harap kamu bisa menerima keputusanku ini." Kata Direktur.
Melody hanya bisa tersenyum memakluminya. "Tidak apa apa. Aku tidak mempermasalahkannya, hanya saja, bagaimana anda akan menghadapi aktor atau aktris yang lain? Seperti wanita yang barusan saja keluar dari ruangan anda." Tanya Melody menyindir keberadaan Rica.
Direktur menghela nafas. "Sesuatu yang sudah menjadi tempatnya bertahun tahun memang sulit untuk digusur, aku akan terus menjelaskannya dikemudian hari. Lagipula aku bukannya tidak akan memakai dirinya, yang kulakukan hanyalah mengulang Casting tersebut." Jawab Direktur.
Suatu kebetulan ketika Melody hadir disitu, sebab tujuan Direktur memanggil Melody bukanlah untuk menyampaikan keputusan perihal ulangan Casting. Namun ...
"Masuklah!" Perintah Direktur pada seseorang dari balik pintu ruangannya.
Melody keheranan, Ia menoleh ke arah pintu. Wanita yang berada dibalik pintu itu masih cukup muda, wajahnya simetris, ukuran tinggi badannya membuat siapa saja Iri akan sosoknya, alisnya tipis, matanya agak sipit, wajahnya yang manis membuat orang geram untuk mencubit cubit pipinya. Wanita itu menghampiri Direktur dengan penuh hormat.
Direktur akan mulai memperkenalkan wanita barusan pada Melody. "Mulai sekarang, dia yang akan memimpin jalannya proses pembuatan Film, dari mulai tahap produksi hingga jadwal penayangan."
Wanita itu mulai bersuara. "Nama lengkapku Rena Nozawa, aku akan membimbing proses jalannya suatu produksi Film. Namun sebelumnya, aku perlu beradaptasi dengan keluarga Pelangi Entertainment. Aku pun masih belum terlalu menguasai bahasa Indonesia sepenuhnya, aku mohon bimbinggannya." Kata Rena pada Melody dengan senyumnya.
Direktur menambahkan Biodata dari Rena pada melody. "Dia baru 2 tahun berada di Indonesia. Dan dia merupakan putri bungsu ku. Aku sudah semakin menua sehingga aku mulai mengeluh menjalani perusahaan sebesar ini, maka dari itu aku memperkerjakan putri ku sendiri. Dia masih bersekolah, jadi akupun meminta bantuanmu untuk saling membimbing satu sama lain."
Melody manggut manggut dari balik wajah heran serta rasa kejutnya akan putri dari Direktur sendiri. "aku mengerti."
Melody berjalan jalan mengelilingi ruangan gedung Pelangi Entertainment bersama dengan Rena. Tempat utama yang Melody kunjungi yakni, ruang produksi. Melody menoleh pada Rena. "Ini merupakan ruang produksi sebuah Film. Sebenarnya, masih ada 2 ruangan lagi yang seperti ini. Banyaknya Film yang akan diproduksi membuat perusahaan ini membangun 3 rumah produksi di gedung yang sama. Sutradara beserta para kru nya menghuni ruangan ini." Kata Melody menjelaskan.
Rena menggangguk. Sebelum Melody melanjutkan ruangan yang lain, Rena mulai membicarakan hal pribadi pada Melody. "Sepertinya hubunganmu dengan Ayahku berjalan cukup dekat. Jarang sekali Ayah mempercayai yang bukan keluarganya untuk menyerahkan tugas ini." Kata Rena berlebihan, seolah olah Rena masih meragukan kepercayaan Melody untuk membimbing Rena.
Melody masih bisa bersabar mendengar perkataan Rena dengan hanya membalasnya dengan senyum. Mereka melanjutkan kunjungannya keruangan lain. Kini Melody mengajak Rena untuk melihat lihat ruangan Penulis.
Melody kembali menjelaskan. "Dan ini ..."
Rena Memotong omongan Melody. "Ini ruangan penulis. Berbagai naskah dikerjakan disini. Naskah berperan sangat penting dalam berjalannya sebuah Film."
Melody menjadi salah tingkah, tujuannya menjelaskan setiap ruangan yang ada, namun sepertinya Rena sudah menguasai hampir setiap bagian dari Production House.
Rena menyadari kecanggungan Melody akan tindakannya barusan. Rena pun menjadi tidak enak hati, bagaimanapun Melody yang saat ini menjadi pemandu bagi Rena. Tidak enak rasanya mengambil tugas dari seorang pemandu. "Aku minta maaf. Mulutku ini terkadang memang suka banyak bicara."
Melody ngedumel dan memperjelas tindakan Rena. "Cerewet." Katanya dengan nada rendah.
Rena mendengar ocehan Melody barusan. "Cerewet?" Tanyanya, sebab Rena memang belum menguasai bahasa yang sering digunakan masyarakat pada umumnya atau gaul.
"Oh, bukan apa apa." Jawab cepat Melody yang seketika menjadi salah tingkah akibat ulahnya sendiri.
Kebawelan Rena kembali kambuh, Ia pun berniat kembali menanyai kehidupan pribadi Melody. "Apa kamu punya adik? atau mungkin kakak? Berapa umurmu? Kapan kapan apa aku boleh mengunjungi kediamanmu?"
Melody menghela nafas. Dengan berat Melody menjawab. "Aku mempunyai adik, golongan darahku O, dan aku lahir pada tahun sembilan dua. Apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan?"
Rena menggangguk. "Apa kamu punya pacar?"
"Tidak." Jawab singkat Melody.
"Kalau begitu, seperti apa pria idamanmu?" Tanyanya kembali.
"Laki laki."
Rena mendengus panjang. "Semua pria itu laki laki. Maksudku, seperti apa postur tubuhnya, tinggi, berotot, pintar atau mungkin semacamnya."
Melody mulai geram sambil memegang kepalanya, Ia sudah tidak tahan berada disamping Rena. "Begini saja, mari kita selesaikan pekerjaan ini dulu, setelah itu, kamu boleh menanyai apa saja denganku."
"Oke! Siap Mbak Melody." Teriaknya.
Melody terkejut serta heran. "Mbak? Kamu tahu darimana kata itu?"
"Dari tetangga rumahku. Dia bilang jika aku melihat wanita yang lebih tua dariku maka aku harus memanggilnya 'Mbak'." Sahut Rena.
Melody memancarkan wajah yang dongkol. "Baik, terserah apa katamu."
Melody mengoceh dengan nada pelan. "Kalau bukan karena perintah Direktur, Aku mungkin sudah menyerah kali ini. Dengan sifatnya yang sekarang, Apa mungkin dia bisa mengatur perusahaan sebesar ini?" Keluhnya.
Suatu hari Dhike mengunjungi gedung Pelangi Entertainment untuk bertemu dengan teman temannya, Dhike tidak sendirian, Ia mengajak Ayu. Tujuan Dhike berkunjung hanya satu, yakni menunjukkan kesehatan Ayu pada temen temannya. Sebab, Dhike tidak lupa dengan apa yang sudah mereka lakukan untuk Ayu saat dirumah sakit. Dhike tidak lupa mambawa buah tangan berupa buah buahan.
"Hai, Stell, Ve." Panggil Dhike yang menemui Stella, Ve diruang rekaman. Disebelah Dhike, Ayu hanya bisa menyapa dengan senyuman.
"Ikey!" Teriak Ve memeluk Dhike. Ve menoleh pada Ayu. "Bagaimana keadaanmu? Kamu terlihat sudah sehat. Berarti apa boleh aku mencubit pipimu itu?" Guraunya.
"Jangankan mencubit, menggigit juga tak apa." Sahut Ayu setengah tertawa.
Stella berjalan menghampiri Dhike. "Aku senang kamu datang mengunjungi kami kemari." Kemudian Stella menoleh ke arah Ayu. "Dan juga ... Selamat atas kesembuhanmu."
Ayu hanya bisa terdiam tersenyum. Kenyataannya, Ayu masih belum bisa hidup tenang, suatu saat hal yang tidak diinginkan akan tiba.
Dhike melihat kanan kiri mencari keberadaan Melody. "Si Mel kemana?"
"Aku dengar barusan bahwa Ia menjadi pemandu anak dari Direktur untuk menjelaskan tiap ruangan di gedung ini." Kata Ve.
Stella menyerobot. "Direktur pasti sungguh menyanyangi Melody. Ia menyerahkan pekerjaan itu padanya. Dimana para asistennya?"
Dhike menjelaskan dan memahaminya. "Siapa sih yang tidak suka dengan sosok Melody. Aku pun merasa nyaman berada didekatnya, sifatnya yang keIbuan membuat hati tentram."
Tiba tiba saja Ayu merasakan pusing yang sungguh kuat dikepalanya, sanking sakitnya Ayu bahkan sempoyongan. Pandangannya sedikit demi sedikit merabun, Ayu menggeleng geleng kepalanya agar pandangannya jelas. Ve yang melihat tingkah Ayu merasa keheranan. "Ada apa?" Tanyannya.
Ve menoleh pada Stella, Dan Stella hanya bisa mengangkat kedua bahunya.
Dhike menetap Ayu dari dekat, Ia sungguh panik. "Apa yang kamu rasakan?" Tanya Dhike.
"Kepalaku sungguh pusing. Aku ingin pulang saja." Keluh Ayu.
Dhike cepat cepat berpamitan dengan Stella dan juga Ve. "Aku minta maaf, sepertinya aku harus mengantar Ayu pulang. Sampaikan saja salamku pada Melody."
Dhike memberi buah tangan pada Stella. "Makanlah buah ini agar kalian tetap sehat." Tambahnya.
Dhike merangkul tubuh Ayu yang setengah sempoyongan. Ve memandang Iba kehadiran Ayu. "Sungguh kasihan, apa dia belum sembuh total? Umurnya masih sangat muda, masih banyak kegiatan yang seharusnya Ia lakukan."
"Akupun kasihan dengan Dhike. Kecemasannya pada Ayu membuat hidupnya tidak pernah nyaman. Aku bahkan ingin mengajaknya masuk ke dunia Hiburan, tetapi melihat keadaannya yang sekarang membuat ku berpikir dua kali." Kata Stella.
Bersambung ...
Follow kami di Twitter @JKT48fanfiction
Jika kalian mempunyai Pertanyaan bisa kirimkan ke alamat Email Parahesitisme@gmail.com
Web http://jkt48novel.wix.com/jkt48fanfiction
Copyright © JKT48 NOVEL
0 comments:
Posting Komentar