Este Regalo Especial Parati, Stella #2
“Henshiin, keluar dari kepompong, dan menjadi kupu-kupu yang cantik.. perkenalkan, aku Ghaida Farisya!” dia memperkenlakan diri dengan penuh semangat. Aku hanya bisa menahan tawa ketika menyaksikan tingkah Banani dan Arka melihat si Ghaida memperkenalkan diri dengan penuh keceriaan. Banani dan Arka seperti meleleh bagaikan sebongkah es di kutub yang disinari oleh matahari secara intensif dan berlebihan. “woow..” sahut Arka dan Banani kompak sambil bertepuk tangan. Sesaat kemudian, suasana kelas hening.
“krik..krik..krik..” sahut Adit.
“Mizone..Mizone..Mizone..2rb..2rb” imbuh Pandu.
“yang aus.. yang aus..” tambahku.
Kemudian suasana kelas kembali ramai, tetapi yang menjadi hantu pertanyaan yang sedari tadi menggangu pikiran dan benakku yang berkumandang di telingaku pula, “kenapa, bu Wati sangat sabar dan enjoy hari ini?” gumamku dalam hati sambil terus memandang Stella. Kulihat Stella dan Ghaida hanya tersenyum melihat tingkah laku anak-anak kelas XII-A. “hmm..Stella..” panggil bu Wati. “iya, bu?” jawab Stella dengan sopan dan nada bicara yang halus menentramkan hati.
“apa kamu juga punya salam perkenalan?” Tanya Bu Wati.
“hmm.. ada, bu. Kalo Jinkhokusai.” Jawabnya dengan senyum.
“Stella! Jinkhokusai itu salam perkenalan dalam bahasa Jepang kan?” tanyaku antusias.
“iyaa..” jawabnya singkat sambil tetap menebar senyum.
“wahaha.. semangat banget lu, sob??” sahut Ivan.
“tau nih anak.. hahaha..” imbuh Iksan.
Lalu, guru menyuruh anak-anak untuk kembali tenang, agar perkenalan ini cepat selesai, karena kini sudah memasuki jam pelajaran ke-2!
“Dengan senyum.. aku akan menaklukkan dunia.. hai, namaku Stella Cornelia!” sambil melambaikan tangan kanannya dan kemudian melihat ke arahku. Kebetulan tempat dudukku 1 block dengan semua teman dekatku. Di mulai dari bangku dekat pintu hingga tengah. Dan aku juga duduk dengan Nashrul—karena Nashrul sedang mengikuti program pertukaran pelajar di Jakarta, tempat duduknya di sebelah kiriku pun kosong, dan tak ada yang menempati—
“baiklah anak-anak sekalian. Perkenalan sudah dilaksanakan. Bagi Stella dan Ghaida, silahkan memilih tempat duduk sesuka kalian”
“terima kasih, bu” jawab mereka berdua kompak, sambil bersiap berjalan mencari tempat duduk yang kosong. Ghaida berjalan menuju ke tempat duduk yang kosong di sebelah Shanju—Shania. Nama aslinya. Dia adalah salah satu perempuan yang menjadi idola di kelas, Banani sebenarnya mempunyai rasa terhadap gadis berambut panjang ini, dan dia berasal dari Solo dan pindah ke Kota Malang mengikuti ayahnya yang bekerja di Kota Bunga ini. Tetapi, Shania masih ingin menyendiri dulu, dan sebenarnya, Shania sudah mengetahui perasaan Banani terhadapnya, dan Shania pun juga membalas perasaan gamer yang suka memainkan games seperti Devil May Cry, Resident Evil, COD, dan Prototype—tepat tempat duduk Arka dan Banani, berada di belakang tempat duduk Shanju yang ada di kedua dari depan. Sementara aku duduk di deretan sayap di sisi kanan kelas. Tiba-tiba Stella dating menghampiri. “eh, hai, boleh nggak aku duduk disini? Tempat yang lain udah penuh tuh..” tanyanya dengan suara halus dan tegas yang membuat dadaku terasa berdetak kencang, dan 1 hal yang aku perhatikan ketka dia datang menghampiriku, pipinya tampak seperti sebuah bakpau ketika tersenyum padaku. Sungguh manis dan cantik sosok Stella di pandanganku.
“eeeh, ii..ii.. iya, si.. si.. silahkan, duduk aja nggak apa-apa” jawabku dengan sedikit grogi. Sementara itu di belakangku ada Hendra dan Adit.
“ehem..ehem.. yang lagi kasmaran” goda Hendra.
“jangan lupa PJ ya sob..” imbuh Adit.
“waduh, duh.. jadian aja belum tentu udah minta PJ!!” sahutku.
“ngingetin doing.. lagian, hutang lu di gue belum lunas lho” tambah Adit.
“iya..iya.. gue inget! Ntar istirahat gue lunasin dah! Jawabku dengan perasaan bercampur bingung.
Belum sempat aku menjulurkan tangan untuk mengajak berkenalan, guru memimpin. Kami pun kembali fokus ke pelajaran. Waktu terasa begitu cepat saat ku berada di sisi Stella. Kami berkenalan, mengobrol bersama, mengerjakan soal-soal sebuku berdua dan bercanda walau hanya sedikit-sedikti saja, kemudian jam menunjukkan pukul 09.15 WIB. “saatnya istirahat dimulai..” bunyi narrator yang menjadi bel di sekolahku. Para zombie pun mulai keluar dari sarang masing-masing, dan berkeliaran menuju pusat pembagian dan transaksi makanan—Kantin—di saat kelasku hanya terdapat beberapa anak saja. Aku pun keluar kelas sejenak, untuk menghirup udara segar diluar, karena di saat dalam kelas waktu pelajaran Matematika berlangsung, kepalaku sempat didera pusing. Tak lama aku berada diluar, Stella dan Ghaida kulihat keluar pintu kelas dan aku berfikir, pasti mereka hendak pergi ke kantin.
“Stella!” panggilku.
Dia menoleh ke arahku, dan kulihat kibasan rambutnya, seperti di iklan komersial TV.
“iya?” tanyanya.
“eeh.. boleh ngomong bentar nggak?” tanyaku meminta kepastian.
“hmm.. boleh kok.” Jawabnya dengan senyum manis.
“Yess!! Akhirnya ada waktu” gumamku di dalam hatiku.
Sedang enak-enaknya akan mengobrol berdua, Ivan, Iksan, dan Ja’far menarik tanganku dan mengajakku ke kantin. “ayo ke kantin, bro! keburu masuk ntar! Sahut Ivan. “eeh, Stella ntar aja ya ngobrolnya..” imbuhku sambil berlari pergi menjauhinya yang berdiri tepat di depan pintu kelas. Stella pun terlihat sedikit marah ketika ku tinggalkan pergi ke kantin. Tak lama kemudian, kami sampai di kantin, Ivan dan Iksan melihat pada titik pandangan perspektif yang sama, yaitu seorang gadis bertinggi 148 cm, berambut panjang, berkulit putih, dan memiliki gigi yang khas. “woy!! Pada bengong aja! Ayo cepet pesen makanan dulu!” Sahutku. “bentar, bray. Lagi seru nih..” kata Iksan. “iya, Nung bentar” imbuh Ivan membela Iksan. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala “hadehh.. kalo udah liatin cewek cantik.. padahal gue juga sih” gerutuku. Aku pun iseng-iseng ikut melihat perempuan yang sedang duduk di depan Stan no. 8 di kantin—di kantin terdapat 10 Stan yang berdiri berjajar membentang dari awal masuk pintu kantin hingga ujung corridor kantin—“hmm.. sob, kayanya gue kenal tuh cewek! Itu si Nab.. Nab.. sapa ya lupa aku..” kataku “Nabilah, Bray!” sahut Ja’far dengan nada pelan. “Nah.. itu dia! Nabilah..!” kemudian Nabilah menoleh ke arahku dan teman-temanku. “kamprett.. suara loe kedengeran sampe sana!” kemudian Ivan dan Iksan segera badan dan menundukkan kepala karena malu. Aku yang di awal berdiri, langsung duduk! Ja’far yang baru datang sambil membawa sepiring nasi, dengan lauk, hanya menggaruk-garuk kepala dengan kanannya “ada apa, guys?” kok pada kaya abis liat kepala sekolah lewat sambil marah-marah aja” Tanya Ja’far. “udah, lu diem aja kampret!!” kataku. Nabilah hanya melontarkan senyuman manis melihat tingkah kami berempat. Aku hanya mendengar secara sayup-sayup “mereka berempat ngapain ya? Kok rada gak jelas gitu.. hahahaha” kata Nabilah. Aku baru sadar, jika disana ada Beby, Cindy, Sonya, dan Ayana. Mereka adalah anggota Osis yang tergolong paling kawaii—cantik—. Beby, gadis bertinggi 160 cm, berkulit sawo matang tapi manis ini jago sekali dalam hal dance. Dan dia jadi Leader Dance di komunitas Dance sekolah. Di bawah komandonya, sekolah kami meraih cukup banyak gelar di semua semua kompetisi Dance. Dia memiliki rambut panjang dan memiliki wajah yang cukup manis juga, sementara Sonya, biasa dipanggil ‘Panda’, diambil dari nama marganya, Pandarmawan. Dia adalah kekasih dari kakak sepupuku Dhen. Sonya adalah gadis yang doyan makan. Tapi hal itu tidak mengubah haluan cinta Kakak sepupuku pada Sonya.
“yang putih, kecil, rambutnya panjang and kaya orang China, itu sapa, Gun?? Tanya Ja’far. “rambutnya rada ikal and imut-imut tuh, Far?” tanyaku. “bukan! Yang satunya!” sergah Ja’far. “ouh yang itu, yang wajahnya oriental chinesse itu? Itu Cindy Gulla, adik kelas kita, tetangga barunya Pandu. And dia itu sodaranya Ray, sob. Anak baru, pindahan dari Bandung kemarin lalu. Katanya sih rumahnya deket rumah Beby juga,” jelasku. “kelas berapa, Gun?” sahut Iksan. “kelas..” aku berusaha mengingat, meskipun membutuhkan waktu yang agak lama. “1 jam kemudian..” kata Ivan menirukan suara narrator pada serial animasi Spongebob Squarepants. “bentar, gue lupa, dia kelas berapa n kelas apa!!” kataku. “2 jam kemudian..” tambah Ivan. “saking lamanya.. Narat..” belum selesai Ivan melanjutkan kata-katanya, aku mulai ingat “Cindy Gulla tuh kelas XI A! sekelas ma Beby, Jeje, Ayana!” kali ini suaraku tidak sekeras tadi, karena bodoh sekali bila aku melakukan hal konyol itu untuk kedua kalinya! Di depan umum pula!
“Hei, sob.. Ayana tuh yang mana sih?” Tanya Iksan dengan nada penasaraan.
“Yang imut-imut, wajahnya campuran Arab-Jepang, banyakan Arab nya sih kalo menurut gue.” Jawabku.
“ouh. Yang disebelah kanannya Nabilah itu ya?? Tanya Iksan lagi.
“yuppz!” jawabku singkat.
“kayanya hati gue mulai di copet nih.” Sahut Iksan.
“enak aja loe! Ayana adek gue! Mau lu apain??” sentakku.
“sabar, sob. Bukan Ayana, Nabilah noh..” Ucap Iksan.
“hmm..” gerutuku.
“gue juga sih, Gun. Hatiku dirampok ma Nabilah” sahut Ivan.
Sejak saat itu usaha Iksan dan Ivan mendapatkan hati Nabilah, yang menjadi idol di sekolah kami, terus berlangusung. Sementara aku tetap pada sosok Stella. Setelah selesai makan, kami langsung kembali ke kelas. Kami bertemu dengan Jeje—Jeje ialah adik kelasku. Sudah lama kami berteman, sudah sejak kelas 3 SD! Dan dia juga sudah menganggapku sebagai kakaknya sendiri. Gadis putih berambut panjang, dan memiliki hidung yang khas ini, bertinggi 154 cm, yang setara dengan tinggi Achan—Ayana Syahab—dan juga bidadari idamanku, Stella Cornelia—
“kak Gunung..” sapa Jeje sambil melambaikan tangan dan menuju kearah kantin.
“oh, hai, Je” balasku.
“sapa, sob??” Tanya Ivan sambil memandangi arah perginya Jeje.
“Adik gue..” jawabku singkat.
“banyak amat adik lu??” Tanya Ivan keheranan.
“banyak apaan?? Orang cuman 2!!” balasku.
Sesampainya di kelas, Stella tiba-tiba menahan laju langkahku, dengan memegang pergelangan tangan kananku. Itu padahal aku hanya tinggal duduk saja.
:Eh.. di cariin Ayana tadi..” katanya.
“oh, iya.. muchas gracias.. eh, kamu kok kenal Ayana juga??” tanyaku.
“iya dong, kita berdua kan 1 group kalo latihan dance.. ma Jeje, Kak Melody and Kak Ve..” cerita Stella.
“lho.. bisa kenal kakakku and adikku juga ya.. wew” kataku sedikit heran.
“haha.. aku kan juga 1 group sama mereka berempat kalo latihan, oh ya, kakakmu itu ada 2 ya??” Tanya Stella sambil memandang mataku.
“iya.. Kak Melo and Kak Ve..” jawabku dengan senyum.
Belum sempat Stella ingin melanjutkan pembicaraan denganku, pelajaran pun berganti dan akan segera dimulai. Bahasa Indonesia. Selama 4 jam pelajaran, aku dan Stella berulang kali bergantian menjawab pertanyaan dari bu guru Bahasa Indonesia. Bu Kun, itulah panggilan beliau.
Saat itu, aku merasa sangat nyaman, setiap hari waktuku di sekolah kuhabiskan bersama dengannya, tak peduli apapun yang dikatakan orang mengenai kami, kami bercanda, mengobrol, bersaing di pelajaran, khususnya Bahasa Inggris, bercerita, dan menggambar hampir selalu bersama. Hingga Guru-guru yang melihat kami, menyangka kami sudah berpacaran atau juga sudah lama menjalin hubungan, karena keakraban kami berdua. Teman-temanku pun sering memaksaku untuk menyatakan perasaanku terhadap Stella. Tapi, aku takut, jika Stella menolakku, karena aku pernah di tolak oleh seseorang yang lain di masa lalu, dan hal itu adalah hal yang menyakitkan. Shania, Ghaida, Beby pernah berkata padaku, jika Stella juga menyukaiku. Dan merekomendasikanku untuk segera menyatakan perasaanku padanya. Hal itu selalu saja ku anggap sebagai angin lalu. Karena ku masih trauma terhadap masa laluku dulu. Setiap hari ku lalui hari dan waktuku penuh dengan warna dengan kehadiran sosok Stella Cornelia. Hari demi hari, rasa mulai tumbuh di hati yang kesepian ini, tuk mengobati hati yang terluka karena goresan luka masa lalu yang kelam. Pikiranku tertutupi oleh awan hitam penderitaan pun perlahan lenyap. Sungguh bidadari yang menawan! Dengan rambut panjang terurai dengan poni yang menggetarkan hati sungguh gadis yang sangat istimewa untukku. Ku hanya bisa bermimpi aku bisa memilikinya. Setiap pelajaran Bahasa Inggris, kami berdua selalu saling bersaing untuk mendapatkan nilai tertinggi. Teman-teman di kelas pun selalu mengatakan ataupun juga merekomendasikan kami untuk segera berpacaran. Aku mau saja berpacaran dengan Stella, tapi, yang menjadi tanda tanya besar adalah, mungkinkah merpati seperti dia mau dengan seekor tikus sepetiku?? tetapi, tiba-tiba saat sudah masuk hari-hari sekolah kehadiran Stella seolah menghilang dari pandangan mataku. Setiap hari ku hanya duduk sendiri di ruang kelas tanpa kehadiran Stella. Ku sering melamun jika Stella ada di samping kiri tempat duduku, bila saat pelajaran berlangsung. Selalu terbayang manisnya—yang anak-anak bilang mirip dengan sosok artis, Titi Kamal—sekitar 5 hari, ku hanya duduk sendirian, sesekali teman dan sahabatku menghibur, supaya tak terlalu memikirkan Stella. Tiap hari, nilaiku mulai menurun, terutama waktu pelajaran Bahasa Inggris. Pelajaran yang paling berkesan bagiku. Bisa bersaing dengan gadis secantik Stella, berebut jawaban, berlomba menjawab soal dengan cepat, dan hal positif lainnya. Kenangan itu seakan menjadi abu yang tertiup angin, makin lama, makin hilang. Kehadiran Stella, memang memotivasiku, dulu, aku malas, bandel, dan sekarang, aku berubah menjadi lebih baik, sejak adanya Stella yang menemani hari-hariku. Lagu 3 Doors Down yang berjudul “Here Without You” selalu berkumandang di telingaku, saat ku gunakan Headset—aku meminjam handphone milik temanku, Ivan, untuk mendengakan lagu itu. Aku meminjam handphonenya beserta Headset—ku pandangi foto Stella ketika bersama dengan Achan di suatu Event. Tidak hanya itu, ada fotonya beserta kedua kakakku dan Jeje juga. Pose mereka berbeda-beda, ada yang hanya Stella dan Kak Melody, atau Stella, Sonya, dan Kak Ve. Dan ada pula foto Stella bersama Jeje di saat mereka pergi berbelanja. Mereka berpose di didepan sebuah papan iklan promosi. Mataku mulai berkaca-kaca, dadaku terasa terjadi goncangan kegelisahan, sesak rasanya dada ini, sehingga ku sulit untuk menghembuskan nafasku dengan lancar, pikiranku terasa seperti berada di sebuah tempat gelap dan tak ada sepercik cahaya pun yang menemaniku saat itu. Jurang keputusasaan telah menantiku, ombak kegelisahan menampar wajahku, kegelapan mentertawaiku, tak ada teman yang menemaniku di saat ku terjungkal di sebuah hutan kepedihan, tempat gelap, sepi dan berisi bisikan negative yang memekakkan kedua telingaku. Mata ini tak sanggup lagi untuk menghadang derasnya air terjun mata ini. Ku telah tenggelam kedalam samudera kegelisahan dan kesedihan. Kerinduan akan Stella selalu menghantui setiap mimpiku, bayang-bayang wajahnya tak mau pergi, sekalipun aku telah berusaha melupakannya. Teman-temanku sebenarnya mengetahui kenapa Stella tidak pernah lagi hadir di kelas beberapa hari ini. Tetapi, setiap kutanyakan hal tersebut—yang berkaitan dengan kehadiran Stella—jawaban mereka berbeda-beda, tetapi tetap dalam konteks yang sama. Yaitu, Hidding Somethin’.
“sabar ya, sob. Ntar pasti Stella masuk, kok..” kata-kata itu menjadi makanan bagi lubang telingaku dan menjadi santapan lezat untuk gendang telingaku yang kemudian berlari menuju otakku, untuk menerjemahkan bahwa kalimat yang mereka ucapkan, adalah omong kosong! Kata-kata itu terus terulang setiap hari, sekalipun aku tidak menanyakan hal yang berkaitan dengan Stella. Sulit hati ini untuk melepas sosok Stella. Dan aku yakin, dia memiliki rasa yang sama.
Aku pun terkadang pulang sambil meneteskan air mata—bukan karena mataku kemasukkan debu—membayangkan wajah Stella, apalagi di saat ‘Audio Player’ ku memutar lagu favoritnya, antara lain, Adele – Some One Like You, 30 Seconds To Mars – King And Queens dan From Yesterday. Kami berdua sering menyanyikan ke tiga lagu tersebut, di saat istirahat, ataupun sepulang sekolah, diiringi petikan gitar dari Lead Guitar bandku, LionBlues, Ivan. Aku pun juga pernah membawakan sebuah lagu special untuknya, The Reason. Single milik band asal Amerika Serikat, Hoobastank. Lagu itu aku bawakan bersama bandku LionBlues—kami beranggotakan 4 orang, Yaitu, Adi, Amirul aku dan Ivan—2 Orang temanku ikut menjadi bagian bandku LionBlues, Adi berposisi sebagai Bassist, dan Amirul sebagai Vocalist. Mereka berdua adalah kedua sahabat baikku. Tapi kami berbeda kelas. Mereka berdua di kelas XII B. Pensi itu berlangsung beberapa minggu lalu, saat Stella masih bisa menemuiku. Saat itu Aku bertindak sebagai Drummer—memang pada dasarnya aku adalah seorang Drummer, meskipun skillku masih belum sempurna saat itu, dan Vokal tentu saja di ambil sendiri oleh Amirul.
“This song is special for you..” jawabku singkat sambil mengarahkan pandanganku kepada Stella yang tengah berdiri di lantai 2 depan kelasku, bersama dengan Achan dan Jeje. Kulihat dia tersenyum malu ketka ku ucapkan 6 kata itu. Sejurus kemudian, aku menuju ke posisiku sebagai Drummer. Setelah 03.52 detik durasi lagu tersebut kami nyanyikan, kami mendapat sambutan meriah dari para audience yang meramaikan pensi saat itu, mulai dari Guru, teman-temanku, sampai Kepala Sekolah. Kami merasa sepeti berada di sebuah panggung besar, sebagai band yang telah terkenal, sepeti Linkin Park, GnR, Nirvana, U2, Dream Theater. Nama band kami di elu-elukan saat itu, kakiku terasa gemetar melihat antusiasme penonton, seakan tak percaya. Dadaku terasa berdegup kencang dan akan meledak. Keringat mulai bercuruan di setiap sisi kepala. Benar-benar kenangan yang indah. Terkadang aku dan Stella duduk berdua dan bernyanyi bersama di sebuah taman di dekat kota, sambil memandangi indahnya bulan di malam hari, ataupun menatap senja di sore hari yang melambaikan tangan akan kepergiannya. Tapi, ketika di taman, hanya ada aku dan Stella saja.Itu semua merupakan kado termanis, apabila di salah satu hari-hariku yang kuhabiskan bersama Stella, terselip hari ulang tahunku. Aku terus berusaha menahan air mataku supaya tidak terlinang. Tetapi untung saja selalu ada kedua kakakku yang siap menampung semua keluhan dan keresahan hati ini, yaitu Kak Melody dan Kak Ve. Mereka berdua selalu ada untukku di saat suka, maupun duka.
Minggu pagi, 16 Desember 2012. Aku sedang menulis lirik mengenai hilangnya Stella dari kehidupanku, tiba-tiba kakak pertamaku datang menghampiriku yang sedang duduk dia atas sofa yang terletak di ruang tamu. Dengan membawa sebungkus makanan ringan.
“ngapain kamu, Dek?” Tanya Kak Melody sambil menjulurkan tangan kanannya yang memegang Snack dan hendka menawariku.
“oh, Kak Melo, ini kak, lagi bikin lirik lagu..” jawabku sambil menoleh padanya dan mengambil isi snack yang sedang di pegangnya.
“ada yang mau jadi composer nih yaa??” goda kak Melody dengan senyuman manisnya—1 hal yang paling aku suka tentang kakakku yang berumur 2 tahun lebih tua dariku ini adalah, senyumannya! Karena tiap dia tersenyum ataupun tertawa, kedua mata indahnya selalu ikut tertutup—
“ah, nggak kak. Cuman curahan hati doang.” Kataku sambil melanjutkan menulis lirik itu.
“sini, kakak liat..” Kak Melody langsung merampas selembar kertas yang tengah aku tulis dengan pensil dan berisi kata-kata puitis dan mengandung majas tentang peraasaanku terhadap Stella.
“wah, kakak maah, balikin dong!! Belum kelar nih!!” sahutku. “haha, ayo sini ambil kalo bisa..” jawab kak Melody sambil menyembunyikan lembaran kertas lirik di belakang punggungnya. “balikin, kak! Ntar nggak kelar-kelar nih!” mohonku. “ouh, tidak bisa. Anterin kakak ketemu Wayne Rooney, Mesut Oezil n ke Old Trafford dulu” candanya. “ngimpi, kak! Duit dari mana??” jawabku sambil tertawa. “dari hatimu.. hahahaha” sahut kakakku yang manis ini dengan tertawa. “emang hatiku ini bank, apa?? Kalo bank buat nabung cintanya Stella, mungkin bisa” kataku dengan tertawa pula. “Stella?? Ciiee.. yang lagi kasmaran.. oh, ya. Stella anak dance di sekolahmu itu kan?? Yang rambutnya pake poni”. Kata Kak Melody. “iyaa, kak! Kok bisa tau??” tanyaku heran. “ya iyalah. Orang aku juga sering dance ma dia juga kok” jawab Kak Melody sambil menjulurkan sedikit lidahnya di sisi kanan mulutnya. Karena di saat itu aku sedang tidak ingin membahas masalah Stella, aku pun segera mengganti topik pembicaraan.
“kak, kak! Ada MU noh!” sahutku sambil menunjuk ke arah Televisi
“mana, dek??” kemudian, kak Melo segera mengalihkan pandanganya ke Tv.
“haha. Kesempatanku buat ngambil kertasku!” gumamku.
Belum sempat Kak Melody berlari menuju ke arah ruang tv, tiba-tiba handphonenya berbunyi.
“Glory, Glory, Man United..”
Kak Melody langsung mengangkat telfon itu, dan itu adalah telfon dari Beby—Kak Melo, kenal dengan Achan, Jeje, Stella, Sonya, Cindy, Nabilah, Ghaida dan Shanju—ternyata dia di ajak ikut latihan Dance. Di sekolahku.
“dek, kakak keluar dulu ya..” kata kak Melody sambil bersiap untuk pergi.
“kemana, kak??” tanyaku penasaran.
“ada latihan dance di sekolahmu, kakak di ajak.” Jelas Kak Melody.
“oh, iya deh. Hati-hati di jalan, kak” jawabku sambil melambaikan tangan kananku.
“oke, dek. Kakak pergi dulu, Assalamuallaikum” terlihat Kak Melo tengah terburu-buru, karena latihan di mulai pukul 10.05 WIB, sementara jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.55 WIB.
“Waalaikumsallam..” balasku.
Tak lama kemudian, Pandu mengirimiku pesan singkat—sms—dia berkata bahwa dia mulai menjatuhkan pilihan untuk cintanya kepada sosok Beby! Aku pun tertawa seketika. “bisa juga nih anak suka ma cewek” gumamku dalam hati. Belum ada 3 menit, Bangkit juga mengirimiku sms. “duuh, kampret!” gumamku. “pasti bentar lagi kalo nggak Hendra, Adit” ucapku dengan nada sedikit kesal.
“kang Gunung, di sekolah ada Cigull ya?” Tanya Bangkit.
“Cigull?? Sapa tuh, sob??” ujarku memutar balikkan pertanyaanya.
“Cindy Gulla..” balas Bangkit.
“oalah, dia. Kirain siapa. Ada. Kenapa emang??” tanyaku lagi.
“Kaga apa-apa, kang. Cuman nanya. Hehe, oh iya, dia itu cewekku lho” katanya membalas smsku.
“busset, lama kaga ada kabar, tiba-tiba jadian lu!” balasku.
“haha.. iya dong. Bangkit Andika Cahya gitu”. Balasnya dengan terdapat ekpresi senyum di akhir kalimat.
“hadehh.. ya udah deh, congratz ya sob” balasku.
“thanks, kang!” jawabnya singkat.
Setelah itu, aku tidak membalas sms Bangkit, lalu, aku mulai membalas sms dari Pandu. “suka ama Beby ya?” tanyaku penasaran. “tembak daah, sebelum di gebet orang lain” imbuhku dalam pesan singkat itu. “tembak?? Udah telat bang.. orang ane udah jadian ma Beby kemarin. Hahaha” ku baca sms dari Pandu dengan tertawa juga. “wakakaka.. iya aja dah. Congratz ya!” langsung aku meletakkan HPku setelah membalas sms dari Bangkit dan Pandu. Tak lama, hapeku berbunyi lagi “That I just want you to know.. I found the reason for me, to change who I used to be, a reason to start over new. And the reason is you..” deru handphoneku dengan ringtone dari Hoobastank. “waduuh.. belum 5 menit nulis, sekarang telpon! Sopo maneh iki??—siapa lagi ini??—dan ternyata benar dugaanku. Ternyata Hendra yang menelpon. “halo? Ngapain lu telpon gue? Lagi banyak pulsa loe?” tanyaku dengan nada bercanda. “bentar, sob. Ini penting banget!” jawabnya dengan nada serius. “penting-penting.. pasti ujung-ujungnya, ente ngomong, ‘gue udah jadian ma Shanju’” jawabku kesal. “sebenernya sih di awal niatnya gitu.. tapi bukan itu masalahnya!” jawabnya. “hadeehh.. terus apaan??” kami terus melakukan pembicaraan dari telfon itu. Dan ada kabar yang mengejutkanku. Sesaat seperti oksigen tak lagi beredar di bumi, rasa dadaku sesak seperti ditusuk oleh sebuah pedang oleh pasukan Jepang saat perang dunia II di Iwo Jima. seolah ku tak bisa bernafas mendengar kata-kata dari Hendra. Tak kusangka, sesuatu terjadi dengan Bidadariku..
Gunung Mahendra
@GunungCornelia
0 comments:
Posting Komentar