Langkahku perlahan
memasuki ruang UGD. Tanganku berkeringat,detak jantungku berdegup
cepat, dalam bibirku terdapat gempalan air liur yang akumainkan dan
menelannya menghilangkan rasa khawatirku. Aku tidak bisamenggambarkan
raut wajah Sonya. Skema wajahnya hilang dalam rasa cemasku.
Sebuah gorden manghalangiku melihat tepat dimana Sonyaberbaring. Aku ragu kakiku terasa di paku oleh sebuah paku yang terbuat dari bajakuat. Tapi sekuat hati aku harus tetap melihat keadaanya, keadaan yang bagikusangat menusuk hatiku. Kakiku mulai meranjak mendekati tempat tidur Sonya yangterhalang oleh gorden itu. Sesaat aku berhenti. Berhenti terpaku melihatnya,tubuhnya terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat, hanya rahang kepalanya sajayang masih tetap. Pipinya yang dahulu berisi kini habis di makan oleh penyakitganas itu. Kududukan tubuhku di sebuah kursi kecil di sebalah tempat tidurnya,tanganku menyentuh kulitnya yang kering dan sedikit keriput.
“Hai… apa kamu baik-baik saja ?” ujarku.Ku mencoba menggenggam telapak tangannya
“Kamu masih ingat ngak saat kita di taman tadi ? saat kamu memarahi ku, karenaaku diam tidak menjawab perkataanmu. Kamu tahu ? Itu aku sedang membayangkan tentangkita. Tentang masa depan kita. Aku dan kamu, kita bisa menikah di suatu tamanyang penuh dengan anggrek putih. Bungaitukan kesukaan kamu kan ? Lalu aku membayangkan kita bisa memiliki seorangputri. Putri cantik seperti kamu. Tapi kenapa bayi itu mirip dengan kamu ?kenapa bayi itu tidak mirip denganku. Tubuhmu itu sangat gemuk di bayangankuseperti panda bahkan pipimu-pun sangat besar seperti bakpau. Tapi tidak apalahjika bayi itu mirip denganmu, dia masih memiliki senyummu yang bagiku sangatindah”
tak sadar air mataku jatuh.
Tiba-tiba sebuah gerakan dari genggaman tangan Sonya. Jarijemarinya meremas lemah, aku tersentak merasakan getaran dari tangannya. Ku ubahposisiku lebih mendekati dirinya,mencoba berbicara dan berharap dia bisatersadara dari tidur lamanya. Wajahku dengan wajahnya hanya berjarak beberapacentimeter saja, tanganku mencoba mengelus rambut panjangnya yang berserak diatas bantal putih.
“Sonya ? Apa kamu dengar aku ?” tanyaku lemah
tidak ada respons dari Sonya, tapi aku tetap mencoba berbicara dengannya jikakehendak Tuhan datang pasti itu adalah mukjizat yang di kasih untuk dirinya “Sonya.Apa kamu mendengarku ? Apa kamu merasakan aku ada di sini ? Tolong jawab Sonya?” ulangku bertanya pada dirinya
lagi-lagi tidak jawaban darinya, aku lemah tubuhku terduduk kembali ke kursidimana aku duduk sebelumnnya. Aku tahu ini cukup tidak mungkin mengharapkanwanita yang kucintai bisa kembali seperti dahulu, seperti awalku bertemudengannya. Tetapi, aku juga sangat menginginkan itu terjadi jika memang diahanya bisa bersamaku untuk sebentar saja dan dia harus pergi meninggalkanku akupasti akan ikhlas untuk melepas kepergiannya.
“Jika kamu ingin pergi menemui tempat terbaikmu pegilahSonya. Aku akan tegar untuk menjalani hidupku tanpamu walaupun itu terasa beratbagiku” suaraku basah, tanpa terasa air mataku terjatuh di telapak tangannyayang masih tetap ku genggam. Lagi-lagi dia memberikan aku sebuah isyarat jikamendegarkan aku dan kini dua matanya terbuka meskipun itu cukup lemah saat akumelihatnya.
“Sonya….” pekikku
matanya menerawang menjelajahi ruangan dingin ini lalu terhenti tepat di manamataku menatapnya. Setetes air mata terjatuh di sela-sela pelopak matanya danterjatuh di bantal putihnya. Tatapannya kosong, tidak ada suara yang keluardari bibirnya hanya sebuah senyuman yang terlintas di paras cantiknya. Genggamanyamencengkaram kuat di telapak tanganku, tapi aku terlalu tidak berdaya untukmembalas genggamannya aku hanya bisa membalas senyumnya.
Sesaat matanya terbelalak, nafasnya seakan tertahan di antarkerongkongannya. Sebuah alat penanda jantungberbunyi nyaring di telinga tergambar tiga garis kini berubah menjadi garisdatar, tidak menggambarkan sebuah garis berjikjak. Segera aku menekan sebuahtombol biru di dekat tempat tidurnya member tahu pada suster dan dokter yang berjaga. Mataku kembalifocus padanya, kini matanya telah terpejam. Aku mencoba membuyarkan prasangkaburukku akan kepergiannya maish berharap dia membuka matanya kembali.
Beberapa saat seorang suster dan dokter datang dan segeramelakukan sebuah tindakan. Dokter paruh baya itu mencoba mengasah alatberukuran cukup besar itu dan mencoba di taruh di tubuh Sonya, tubuh Sonyatesentak tetapi tidak ada respons. Dokter itu mengulanginya lagi mecoba mengasah alat itu lalu menaruhnya lagi pada tubuhSonya tapi lagi-lagi tidak ada respons. Wajah dokter itu datar, seperti keputusasaan. Dia memberikan sebuah isyarat pada suster di sebelahnya denganmenggelengkan kepalanya dua kali. Aku mengerti maksud dokter itu, dan kini akuhanya terdiam bagai sebuah patung saat tubuh wanita yang kucintai sudahtertutup sepenuhnya dengan selimut putih. Hanya air mataku saja yang masih bisaaku keluarkan, tidak bisa menerima dengan kehilangannya. Dia pergi tidakmeninggalkan sebuah kata-kata tapi hanya sebuah senyuman indah yang tergambarjelas dari bibirnya.
***
Aku berdiri disebuah papan nisan yang tertulis nama seseorang yang selama ini aku sayang. Aku terus bertahan untuk berdiri walaupun perasaan ini tidak mampu untuk menerimanya, kenapa harus dia orang yang sangat aku cintai. Sonya Pandarmawan. Wanita yang selalu hadir dalam kehidupankuselama satu tahun terakhir ini, diawanita yang sangat sempurna untukku walaupun kenyataannya kehidupannya tidaksempurna.
Ini adalah Cerita Sonya cerita dimana sebuah awal pertemuan yang di mulai dengan senyumannya, memberikan kebahagian dengan kesederhanannya dan mengisahkan kisahnya yang juga berkahir dengan senyuman.
Aku bersyukur Tuhan memeperkenalkanku padanya meskipun hanya menyisakan sebuah kenangan terindah dan kesedihanku. Aku bersyukur Tuhan telah mengirimkan dia yang telah membuat perasaanku menjadi hangat dan utuh dan membuatku hingga ujung kekelan saat bersamanya.
END
(Cerita ini hanya fiktif belaka. mohon maaf bila ada kesalahan dan selalu berpikirlah postive :) )
Sebuah gorden manghalangiku melihat tepat dimana Sonyaberbaring. Aku ragu kakiku terasa di paku oleh sebuah paku yang terbuat dari bajakuat. Tapi sekuat hati aku harus tetap melihat keadaanya, keadaan yang bagikusangat menusuk hatiku. Kakiku mulai meranjak mendekati tempat tidur Sonya yangterhalang oleh gorden itu. Sesaat aku berhenti. Berhenti terpaku melihatnya,tubuhnya terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat, hanya rahang kepalanya sajayang masih tetap. Pipinya yang dahulu berisi kini habis di makan oleh penyakitganas itu. Kududukan tubuhku di sebuah kursi kecil di sebalah tempat tidurnya,tanganku menyentuh kulitnya yang kering dan sedikit keriput.
“Hai… apa kamu baik-baik saja ?” ujarku.Ku mencoba menggenggam telapak tangannya
“Kamu masih ingat ngak saat kita di taman tadi ? saat kamu memarahi ku, karenaaku diam tidak menjawab perkataanmu. Kamu tahu ? Itu aku sedang membayangkan tentangkita. Tentang masa depan kita. Aku dan kamu, kita bisa menikah di suatu tamanyang penuh dengan anggrek putih. Bungaitukan kesukaan kamu kan ? Lalu aku membayangkan kita bisa memiliki seorangputri. Putri cantik seperti kamu. Tapi kenapa bayi itu mirip dengan kamu ?kenapa bayi itu tidak mirip denganku. Tubuhmu itu sangat gemuk di bayangankuseperti panda bahkan pipimu-pun sangat besar seperti bakpau. Tapi tidak apalahjika bayi itu mirip denganmu, dia masih memiliki senyummu yang bagiku sangatindah”
tak sadar air mataku jatuh.
Tiba-tiba sebuah gerakan dari genggaman tangan Sonya. Jarijemarinya meremas lemah, aku tersentak merasakan getaran dari tangannya. Ku ubahposisiku lebih mendekati dirinya,mencoba berbicara dan berharap dia bisatersadara dari tidur lamanya. Wajahku dengan wajahnya hanya berjarak beberapacentimeter saja, tanganku mencoba mengelus rambut panjangnya yang berserak diatas bantal putih.
“Sonya ? Apa kamu dengar aku ?” tanyaku lemah
tidak ada respons dari Sonya, tapi aku tetap mencoba berbicara dengannya jikakehendak Tuhan datang pasti itu adalah mukjizat yang di kasih untuk dirinya “Sonya.Apa kamu mendengarku ? Apa kamu merasakan aku ada di sini ? Tolong jawab Sonya?” ulangku bertanya pada dirinya
lagi-lagi tidak jawaban darinya, aku lemah tubuhku terduduk kembali ke kursidimana aku duduk sebelumnnya. Aku tahu ini cukup tidak mungkin mengharapkanwanita yang kucintai bisa kembali seperti dahulu, seperti awalku bertemudengannya. Tetapi, aku juga sangat menginginkan itu terjadi jika memang diahanya bisa bersamaku untuk sebentar saja dan dia harus pergi meninggalkanku akupasti akan ikhlas untuk melepas kepergiannya.
“Jika kamu ingin pergi menemui tempat terbaikmu pegilahSonya. Aku akan tegar untuk menjalani hidupku tanpamu walaupun itu terasa beratbagiku” suaraku basah, tanpa terasa air mataku terjatuh di telapak tangannyayang masih tetap ku genggam. Lagi-lagi dia memberikan aku sebuah isyarat jikamendegarkan aku dan kini dua matanya terbuka meskipun itu cukup lemah saat akumelihatnya.
“Sonya….” pekikku
matanya menerawang menjelajahi ruangan dingin ini lalu terhenti tepat di manamataku menatapnya. Setetes air mata terjatuh di sela-sela pelopak matanya danterjatuh di bantal putihnya. Tatapannya kosong, tidak ada suara yang keluardari bibirnya hanya sebuah senyuman yang terlintas di paras cantiknya. Genggamanyamencengkaram kuat di telapak tanganku, tapi aku terlalu tidak berdaya untukmembalas genggamannya aku hanya bisa membalas senyumnya.
Sesaat matanya terbelalak, nafasnya seakan tertahan di antarkerongkongannya. Sebuah alat penanda jantungberbunyi nyaring di telinga tergambar tiga garis kini berubah menjadi garisdatar, tidak menggambarkan sebuah garis berjikjak. Segera aku menekan sebuahtombol biru di dekat tempat tidurnya member tahu pada suster dan dokter yang berjaga. Mataku kembalifocus padanya, kini matanya telah terpejam. Aku mencoba membuyarkan prasangkaburukku akan kepergiannya maish berharap dia membuka matanya kembali.
Beberapa saat seorang suster dan dokter datang dan segeramelakukan sebuah tindakan. Dokter paruh baya itu mencoba mengasah alatberukuran cukup besar itu dan mencoba di taruh di tubuh Sonya, tubuh Sonyatesentak tetapi tidak ada respons. Dokter itu mengulanginya lagi mecoba mengasah alat itu lalu menaruhnya lagi pada tubuhSonya tapi lagi-lagi tidak ada respons. Wajah dokter itu datar, seperti keputusasaan. Dia memberikan sebuah isyarat pada suster di sebelahnya denganmenggelengkan kepalanya dua kali. Aku mengerti maksud dokter itu, dan kini akuhanya terdiam bagai sebuah patung saat tubuh wanita yang kucintai sudahtertutup sepenuhnya dengan selimut putih. Hanya air mataku saja yang masih bisaaku keluarkan, tidak bisa menerima dengan kehilangannya. Dia pergi tidakmeninggalkan sebuah kata-kata tapi hanya sebuah senyuman indah yang tergambarjelas dari bibirnya.
***
Aku berdiri disebuah papan nisan yang tertulis nama seseorang yang selama ini aku sayang. Aku terus bertahan untuk berdiri walaupun perasaan ini tidak mampu untuk menerimanya, kenapa harus dia orang yang sangat aku cintai. Sonya Pandarmawan. Wanita yang selalu hadir dalam kehidupankuselama satu tahun terakhir ini, diawanita yang sangat sempurna untukku walaupun kenyataannya kehidupannya tidaksempurna.
Ini adalah Cerita Sonya cerita dimana sebuah awal pertemuan yang di mulai dengan senyumannya, memberikan kebahagian dengan kesederhanannya dan mengisahkan kisahnya yang juga berkahir dengan senyuman.
Aku bersyukur Tuhan memeperkenalkanku padanya meskipun hanya menyisakan sebuah kenangan terindah dan kesedihanku. Aku bersyukur Tuhan telah mengirimkan dia yang telah membuat perasaanku menjadi hangat dan utuh dan membuatku hingga ujung kekelan saat bersamanya.
END
(Cerita ini hanya fiktif belaka. mohon maaf bila ada kesalahan dan selalu berpikirlah postive :) )
0 comments:
Posting Komentar